Pro kontra pembahasan omnibus law memang aneh. Meski sedang viral dan ramai diperbincangkan publik, ternyata banyak sekali masyarakat, terutama pihak-pihak yang turut dibahas dalam Omnibus Law itu tidak mengetahui persis apa saja isi dan draft-nya.
Hal itu juga diakui oleh Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, saat menjadi pembicara mengenai Omnibus Law pada Rapat Kerja Nasional I Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (Rakernas I GAMKI), yang digelar di Hotel Garden Palace, Surabaya, pada 30 Januari 2020 hingga 02 Februari 2020, di Kota Surabaya.
Timboel Siregar yang juga Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia (Sekjen OPSI) itu menyampaikan, hingga terjadinya hingar bingar pro kontra pembahasan Omnibus Law itu, sejumlah masukan dan juga kritikan yang diberikan masyarakat, terutama dari elemen buruh atau pekerja, seperti tertiup angin begitu saja. Bagai tak ada respon.
“Jujur saja, hingga saat ini masyarakat Indonesia tidak tahu apa saja isi sebenarnya dari Omnibus Law yang sedang dibahas itu. Buruh atau pekerja misalnya, tidak pernah mengetahui dan mendapatkan draft asli Omnibus Law. Entah kalau pihak-pihak tertentu bisa mendapatnya dengan gamblang. Nah ini aneh. Dari tata cara pembahasan saja, soal draft RUU Omnibus Law, tak transparan. Banyak keanehan,” ungkap Timboel Siregar.
Timboel Siregar merinci, untuk cluster tenaga Kerja, yakni proses Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja dalam omnibus law itu, komunikasi pemerintah tidak jelas. Isu pasal-pasal yang akan direvisi, yang beredar di media sosial (medsos) sedemikian banyak dan tidak pasti.
Kajian filosofis, sosiologis, yuridis dan sebagainya, lanjutnya, dalam pembuatan naskah akademik UU Cipta Lapangan Kerja itu tidak tahu dari mana asal muasalnya. “Naskah akademiknya belum ada,” ujarnya.
Sehingga, mekanisme omnibus law yang akan merevisi pasal-pasal tertentu di Undang-Undang hingga landasan filosofis hadirnmya UU Omnibus Law itu tereliminir.
Padahal, pemerintah menargetkan pembahasan RUU itu cepat selesai. Dari 79 Undang-Undang dengan 1.244 pasal yang disebut pemerintah, lanjut Timboel, terdapat hanya 4 persen dari 1.244 pasal itu yang disebut mengulas ketenagakerjaan.
“Jadi, sangat jelas, pelibatan masyarakat dalam pembahasan RUU Cipta Lapangan Kerja itu relatif rendah,” ujar Timboel.
Nah, dia mengingatkan, potensi penolakan terhadap UU Omnibus Law akan kian besar. Bahkan, jika dipaksakan untuk diundangkan, akan membuat sia-sia. “Sebab potensi judicial review ke Mahkamah Konstitusi juga tinggi,” ujar Timboel.
Di tempat yang sama, Direktur Pusat Studi Hukum dan Teori Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Umbu Rauta menyampaikan, dari persfektif ilmu perundang-undangan, omnibus law dapat dipahami sebagai suatu rancangan undang-undang atau bill yang mencakup lebih dari satu aspek, yang digabung menjadi satu undang-undang.
Di Indonesia, lanjut Umbu Rauta, pada hakikatnya UU Omnibus Law merupakan teknik percepatan pembentukan Undang-Undang yang mencakup beragam materi.
“Penggunaan omnibus law dilatarbelakangi alasan tertentu yang mendesak. Secara normal, pembentukan Undang-Undang dilakukan secara terpisah atau dalam satuan,” ujarnya.
Dia mengingatkan, Omnibus law bukanlah jenis peraundang-undangan baru, tetapi berupa Undang-Undang saja. Kedudukan dan materi muatannya diatur dalam jenis hierarki perundang-undangan.
Seharusnya, dikatakan Umbu Rauta, agar membawa dampak positif, omnibus law itu semestinya untuk akselerasi proses legislasi. Kemudian, legislator tidak mengubah atau mencabut UU secara parsial. Omnibus law juga bertujuan melakukan simplifikasi legislasi atau regulasi, sehingga tercipta efisiensi dan efektivitas pembangunan dan percepatan ekonomi.
Saat ini, untuk omnibus law yang sedang dibahas di Indonesia, ada dampak negatif, karena tidak adanya dukungan politik dari DPR dan masyarakat. “Terutama dukungan politik dari masyarakat,” ujarnya.
Kemudian, ego sektoral kementerian, lembaga non kementerian dan Pemerintah Daerah (Pemda) masih sangat tinggi.
Dia mengingatkan, tata cara proses pembuatan undang-undang atau regulasi telah diatur secara hukum dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011. Kemudian, juga ada Putusan Pengadilan di Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dari informasi yang disebarkan oleh pemerintah, lanjut Umbu Rauta, munculnya omnibus law itu dilatarbelakangi niat melakukan akselerasi perekonomian, investasi dan penciptaan lapangan pekerjaan dan menurunkan jumlah pengangguran.
Ada 11 cluster yang menjadi segmen bahasan di RUU Omnibus law itu, yakni penyederhanaan perizinan, persyaratan investasi, ketenagakerjaan, pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan lahan, investasi dan proyek pemerintah, kawasan ekonomi.
Sedangkan jumlah UU yang menjadi obyek perubahan ada sebanyak 81 Undang-Undang, dengan jumlah pasal mencapai 1240 pasal. “Itu semua berimplikasi terhadap materi muatan pada 81 Undang-Undang yang eksisting tersebut,” ujar Umbu Rauta.
Perlu dipahami, lanjutnya, pembuatan Omnibus Law sebagai undang-undang itu dengan proses pembentukannya yang harus mengacu pada Undang-Undang Peraturan Perundang-undangan (PPP) yaitu UU Nomor 12 Tahun 2011.
“Pembentukan Omnubus Law harus memperhatikan asas formil dan meteriil. Asas Formil itu wajib melakukan asas keterbukaan, mulai penyusunan naskah akademik dan juga rancangan undang-undangnya,” ujar Umbu Rauta.
Lagipula, Omnibus Law berdampak pada eksisnya udang-undang yang sudah ada. Apakah akan diubah atau malah dilakukan pencabutan.
Oleh karena itu, perlu kehati-hatian dalam membuat dan membahas UU Omnibus law. “Karena UU itu delegated legislation. Hindarilah legislative or executive override. Juga, implikasi omnibus law terhadap Peraturan Pemerintah, Perpres, Permen, Perda, Perkada, semua butuh waktu penyesuaian. Bisa tergelincir pada ketidakjelasan semangat dalam Undang-Undang Induknya,” jelas Umbu Rauta.
Memang, lanjutnya, proses politik pembentukan UU tidak selalu memuaskan semua kepentingan. Potensi kerugian konstitusional melalui pengujian materil dan formil ke Mahkamah Konstitusi (MK) akan dilakukan.
Seharusnya, menurut Umbu Rauta, dalam cluster Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (UUCLK) yang oleh banyak orang diplesetkan menjadi Undang-Undang Cilaka, mestinya memberikan jaminan keseimbangan antara kepentingan investasi dengan perlindungan buruh atau pekerja.
Umbu Rauta mengingatkan, untuk ketenagakerjaan Indonesia, harus dipastikan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) para pekerja sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999. Secara rinci, hak itu berkenaan dengan kesejahteraan pekerja Indonesia, seperti pasal 38 yang menjamin hak atas pekerjaan yang layak, hak memilih pekerjaan, hak atas upah yang adil sesuai prestasi untuk kelangsungan hidup keluarganya. Pasal 39, hak mendirikan serikat pekerja. Pasal 41 berisi hak atas jaminan sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak, serta untuk perkembangan pribadinya secara utuh.
Sedangkan kewajiban dan tanggung jawab pemerintah dalam Undang-Undang HAM itu, jelas disebutkan di Pasal 71 yakni pemerintah wajib dan bertanggungjawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur di dalam UU HAM, peraturan-perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang HAM.
Pada pasal 72, kewajiban dan tanggung jawab pemerintah meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan Negara dan bidang lain.
Sementara itu, Wakil Kepala Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Komjen Pol Dharma Pongrekun yang juga menjadi salah seorang narasumber di Rakernas I GAMKI itu, menyampaikan, Indonesia butuh keseimbangan antara pencapaian puncak ekonomi dan kesejahteraan masyarakat dengan berbagai regulasi yang dibuat.
“Dalam kerangka melindungi bangsa, Negara dan persatuan Indonesia. Keseimbangan itu perlu dilakukan,” ujar Komjen Pol Dharma Pongrekun.
Pertumbuhan dan pertambahan penduduk Indonesia, lanjutnya, berimplikasi pada banyak sektor. Termasuk menjamurnya berbagai modus kejahatan di berbagai elemen. Terutama lewat jalur siber atau media sosial.
“Sebab, pengaruhnya langsung, dan begitu mudahnya mempengaruhi pola piker, sikap dan perilaku masing-masing anggota masyarakat. Ini juga harus diwaspadai dan ditangani, untuk menjamin keseimbangan perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk dalam mengembangkan anak-anak muda yang menjadi tenaga kerja terbesar di Indonesia,” jelasnya.
Negara, lanjutnya, lewat aparaturnya, berkewajiban memberikan jaminan-jaminan itu dengan regulasi-regulasi yang sudah diketuk bersama oleh pemerintah dengan masyarakat melalui wakil rakyat di Senayan.
Sedangkan, Sekretaris Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) Kementerian Ketenagakerjaan, Andriani menegaskan, pemerintah telah berupaya memikirkan betul kepentingan dan kesejahteraan pekerja Indonesia di dalam perancangan omnibus law cluster Ketenagakerjaan.
“Kita mau pastikan mengakomodir investasi yang diharapkan dari luar negeri maupun dalam negeri bagaimana menciptakan lapangan kerja,” kata Andriani.
Andriani mengatakan, aspek pekerja yang ingin diakomodir oleh pemerintah melalui regulasi baru tersebut yakni bagaimana menjaga nasib baik para pekerja yang memiliki pekerjaan, calon pekerja maupun purna kerja yang ingin mendapatkan pekerjaan baru.
“Pekerja ada yang kategori sudah bekerja, akan bekerja atau sudah tidak bekerja tp mau bekerja. Kita mau menjamin siapapun yang sudah bekerja tidak kehilangan pekerjaannya. Kita juga harapkan calon pekerja butuh pekerjaan maka pekerjaan itu sudah ada. Yang bekerja apabila sudah selesai dan mau butuh pekerjaan maka dia bisa cepat dapat pekerjaan,” imbuhnya.
Jika para pekerja dan usia kerja bisa aktif bekerja, maka dampak yang akan berpengaruh adalah pada peningkatan nilai ekonomi di dalam negeri.
“Karena dengan ini kami yakin akan terjadi pertumbuhan ekonomi,” jelas Andriani.
Andriani juga menanggapi tengang isu yang berkembang di masyarakat tentang pemberlakuan upah per jam bagi pekerja. Andriani menyatakan bahwa isu itu tidak seutuhnya sesuai dengan yang dipikirkan oleh pemerintah dalam pembahasan Omnibus Law itu.
Mantan Direktur Pengupahan Kemenaker itu menyatakan bahwa upah per jam itu ditargetkan untuk para kaum pekerja yang memiliki mekanisme pembayaran per jam. Banyak sektor pekerja yang menganut upah per jam, antara lain pekerja atau guru seni dan sebagainya.
“Kita lalai karena selama ini kita fokus pada pekerja formal, tapi pekerja itu ada yg nelayan, ada pekerja seni, masa media dan bekerja jam-jaman itu banyak. Misal di sanggar guru tari yang dibayar per 3 jam, itu sudah pekerja jam-jaman dan bagaimana perlindungan bagi mereka,” jelas Andriani.
Sementara untuk upah bulanan seperti pekerja formal, ia menyatakan bahwa kebijakan itu masih tetap berlaku yakni pemberlakuan upah minimum (UMP).
“Jadi yang udah upah per bulan ya nggak dijadikan per jam. Jadi kita tambahkan aturan yang pekerja yang (memiliki mekanisme upah) per jam itu juga untuk lindungi dia,” ujarnya.
Pemerintah, lanjutnya, khususnya Kementerian Ketenagakerjaan sangat fokus bagaimana menciptakan lapangan kerja yang luas namun diisi oleh para pekerja dalam negeri yang memiliki daya saing pasar kerja yang bagus. Salah satu indikatornya adalah peningkatan keterampilan atau skill serta pengetahuan atau knowledge.
“Jangan sampai lapangan kerja tercipta tapi tenaga kerja kita tidak bisa mengisi akan tetapi malah manusia-manusia dari negara lain.Kemenaker konsen bagaimana para pekerja bisa memiliki skill yang mampu mengisi pasar kerja,” pungkas Andriani.(JR)