Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) diminta untuk tidak memaksakan pengesahan Rancangan Undang Undang Penyiaran menjadi Undang Undang, sebab pembahasan substansi dalam rancangan itu belum kelar.
Direktur Eksekutif Lembaga EmrusCorner Emrus Sihombing mengatakan, ada indikasi bahwa proses legislasi RUU Penyiaran akan dipaksakan. Menurut dia, salah seorang Wakil Ketua DPR menyampaikan akan tetap memparipurnakan RUU Penyiaran meski Badan Legislasi tidak melakukan rapat pleno.
“Padahal, persoalan substantif dalam isi RUU Penyiaran tersebut belum tuntas,” tutur Emrus Sihombing, Rabu (31/01/2018).
Emrus menyampaikan, persoalan substantif tersebut menyangkut pengelolaan frekuensi dengan Single Mux (SM) yang sarat dengan kelemahan.
Bahkan, kata dia, Wakil Ketua DPR tersebut seolah sudah mengklaim bahwa mayoritas fraksi telah sepakat memilih SM sebagai operator siaran digital.
Menurut kajian Lembaga EmrusCorner (LEC), lanjut dia, Single Mux (SM) sebagai operator siaran digital menemukan setidaknya ada delapan kelemahan.
Pertama, berpotensi menjadi alat kekuasaan oleh suatu rezim pemerintahan dengan mengendalikan infrastruktur frekuesi penyiaran.
“Ini sangat kontradiktif dengan semangat demokrasi sebagai hasil perjuangan gerakan reformasi,” ujarnya.
Kedua, penyelenggaraan layanan multipleksing penyiaran digital yang mengelola frekuensi dan infrastruktur digital dalam suatu konsorsium tunggal.
“Ini bisa menimbulkan perilaku benar sendiri. Penyelenggara siaran diposisikan hanya “manut” saja. Tentu ini merugikan rakyat karena sulit mendapat program acara yang bermutu,” kata Emrus.
Ketiga, mux operator menyewakan kanalnya kepada kepada lembaga penyiaran dan content provider yang eksisting. Dengan demikian hubungan antara pengelola operator dengan lembaga penyiaran dipastikan tidak setara.
Keempat, sangat berpotensi menciptakan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat karena terjadi posisi dominan karena menguasai seluruh proses produksi penyiaran (frekuensi dan infrastruktur) yang dapat membatasi ruang gerak lembaga penyiaran.
Kelima, harus membangun infrastruktur digital baru yang dapat melayani seluruh lembaga penyiaran melalui pembiayaan APBN atau pinjaman luar negeri.
“Ini sangat tidak tepat waktu di tengah negeri ini masih mengandalkan pinjaman luar negeri dalam APBN,” ujar Emrus.
Keenam, seluruh frekuensi dikelola secara terpusat dengan menggunakan sistem Multi Frequency Networks (MFN).
“Ini sangat tidak baik dalam upaya kita semua untuk menyajikan siaran yang bermutu,” ujarnya.
Ketujuh, bisa menjadi ancaman bagi demokrasi di Indonesia karena pengelolaan teknologi frekuensi secara sentralistik.
Kedelapan, sangat tidak adaptif menghadapi perkembangan teknologi penyiaran televisi masa depan yang pesat karena setiap penyediaan teknologi baru memerlukan dana melalui mekanisme APBN atau pinjaman luar negeri yang sarat dengan kepentingan politik ketergantungan dan biaya birokrasi yang tidak sedikit.
Emrus menegaskan, semua hal itu tidak perlu terjadi bila mana ada kesadaran politik DPR bahwa lembaga penyiaran yang eksisting terus menggunakan frekuensi miliknya yang saat ini digunakan untuk melakukan siaran digital dengan menggunakan Single Frequency Networks.
Selain itu, lanjut dia, memparipurnakan RUU Penyiaran tanpa melalui rapat pleno di Badan Legislasi berpotensi menabrak tiga peraturan terkait yaitu (1) UU tentang Tatacara Penyusunan UU, (2) UU MD 3 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD, dan (3) Peraturan DPR RI tentang Tata Tertib.
“Jangan dipaksakan dong,” punkas Emrus.(JR)