Pelaksanaan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika Melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai Pelaksanaan Asas Dominus Litis Jaksa, rawan disalahgunakan.
Selain itu, penerapannya yang hanya dilakukan Jaksa juga semakin membuka peluang terjadinya penyalahgunaan Keadilan Restoratif itu.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Gerakan Nasional Anti Narkotika (Granat) Henry Yosodiningrat.
Menurut mantan anggota Komisi III DPR ini, pelaksanaan restorative justice khusus perkara penyalahgunaan narkotika hanya akan jalan di tempat, jika yang melakukannya cuma oleh Kejaksaan sendiri.
Karena itu, Jaksa Agung Burhanuddin diminta untuk mengajak dan bersama-sama dengan Kepolisian untuk menjalankannya, serta dibarengi dengan pengawasan yang ketat.
“Itu sih bagus saja, asal dijalankan dengan baik, benar dan harus ada pengawasan terhadap para pelaksana di bawahnya. Juga harus berkoordinasi dengan Kapolri. Supaya ada kebersamaan, agar Kapolri juga menerapkan hal yang sama di Institusi Polri,” tutur Henry Yosodiningrat, ketika dihubungi wartawan, Selasa (09/11/2021).
Henry menyebut, Kejaksaan Agung harus bersama-sama dengan Kepolisian Republik Indonesia dalam melakukan penanganan narkotika.
“Jangan nanti begitu berkas perkara sampai kepada Jaksa, P21, Pelimpahan, eh ternyata secara materiil orang itu adalah Pengguna. Padahal dari Penyidik naik ke atas, karena orang enggak mampu misalnya, malah dimainkan oleh oknum Penyidik, dan dikenakan pasal sebagai Pengedar,” tuturnya.
Karena itu, lanjutnya, perlu keseimbangan antara Penyidik Kepolisian dengan Kejaksaan dalam penerapan rehabilitasi bagi pengguna narkotika.
“Kalau pasalnya dari bawah, yaitu dari Penyidik memang sudah pengedar, Jaksa mau enggak mau harus menuntut Pidana. Artinya, baik di tingkat Penyidikan maupun di tingkat Prapenuntutan, dua-duanya ini harus diawasi. Dan mesti dikenakan sanksi yang tegas apabila mereka melakukan kenakalan-kenakalan,” sebut Henry Yosodiningrat.
Selain itu, katanya, regulasi terkait narkotika sangat perlu diperkuat. Bukan hanya penindakan bagi pengedar narkoba, namun juga harus diperkuat dengan pencegahan penyalahgunaan narkotika.
“Jadi harus menggunakan politik hukum. Upaya pencegahan penyalahgunaan narkoba dengan penguatan legislasi. Artinya berbagai peraturan di semua regulasi yang terkait mesti ditata dengan sedemikian rupa untuk penguatan upaya cegah,” imbuhnya.
Selain itu, Henry Yosodidingrat juga mengatakan, anggaran untuk melakukan rehabilitasi bagi pengguna narkotika mesti disediakan oleh Negara.
“Surat Edaran Jaksa Agung harus dengan pararel dengan pihak Kepolisian. Dan juga, Negara harus menyiapkan anggaran untuk biaya rehab,” ujarnya.
Kemudian, dia mangatakan, Mahkamah Agung (MA) juga harus sejalan dengan Badan Narkotika Nasional (BNN) dalam memfasilitasi tempat rehab bagi pecandu narkoba.
“Pengadilan ini juga harus pararel dengan BNN dan Pemerintah. Dengan Negara supaya menyediakan fasilitas rehab yang banyak. Selama ini kan alasannya, kalau Hakim menghukum Terdakwa untuk menjalani rehab, namun dalam pelaksanaannya atau eksekusinya susah. Karena tidak cukup tersedia tempat rehab,” tandas Henry Yosodiningrat.
Sebelumnya, Jaksa Agung Republik Indonesia Prof Dr Sanitiar Burhanuddin mengeluarkan dan menetapkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 tentang Penyelesaian Penanganan Perkara Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika melalui Rehabilitasi dengan Pendekatan Keadilan Restoratif sebagai pelaksanaan asas Dominus Litis Jaksa. Pedoman ini berlaku sejak 1 November 2021.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan, maksud ditetapkannya Pedoman tersebut sebagai acuan Penuntut Umum guna optimalisasi penyelesaian penanganan perkara narkotika.
“Untuk optimalisasi penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa, yakni sebagai pengendali perkara,” kata Leonard Eben Ezer Simanjuntak, dalam siaran persnya, Minggu (07/11/2021).
Leonard menjelaskan, latar belakang dikeluarkannya pedoman itu adalah memperhatikan sistem peradilan pidana yang saat ini cenderung punitif (hukuman berat).
Hal itu tercermin dari jumlah penghuni Lembaga Pemasyarakatan yang melebihi kapasitas atau over crowding. Yang ternyata sebagian besar merupakan narapidana tindak pidana narkotika.
Isu over crowding telah menjadi perhatian serius masyarakat dan Pemerintah sebagaimana dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2020-2024 dalam rangka perbaikan sistem hukum pidana melalui pendekatan keadilan restoratif.
Oleh karenanya, lanjut Leonard, diperlukan kebijakan kriminal yang bersifat strategis, khususnya dalam penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika.
Salah satunya melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang selanjutnya disebut UU Narkotika.
Melalui reorientasi kebijakan penegakan hukum, kata Leo, dalam pelaksanaan tugas dan wewenang kejaksaan di bidang penuntutan dilakukan melalui optimalisasi lembaga rehabilitasi.
Lebih lanjut, mantan Wakil Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Barat (Wakajati Pabar) ini, Jaksa selaku pengendali perkara berdasarkan asas dominus litis, dapat melakukan penyelesaian perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi di tahap Penuntutan.
Leonard mengatakan, penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi, merupakan mekanisme yang tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan keadilan restoratif.
“Dengan semangat untuk memulihkan keadaan semula. Yang dilakukan dengan memulihkan pelaku tindak pidana penyalahgunaan narkotika yang bersifat victimless crime,” ujarnya.
Leonard melanjutkan, penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi dilakukan dengan mengedepankan keadilan restoratif dan kemanfaatan (doelmatigheid), serta mempertimbangkan asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
“Asas pidana sebagai upaya terakhir atau ultimum remedium, cost and benefit analisis dan pemulihan pelaku,” katanya.
Diketahui, Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 terdiri dari 9 BAB. Dengan ruang lingkup meliputi prapenuntutan, penuntutan, pengawasan, pelatihan dan pembiayaan penyelesaian penanganan perkara tindak pidana penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi, dengan pendekatan keadilan restoratif sebagai pelaksanaan asas dominus litis jaksa.
“Pada saat Pedoman ini mulai berlaku, tersangka yang disangkakan melanggar Pasal 127 ayat 1 UU Narkotika yang perkaranya belum dilimpahkan ke pengadilan, penanganan perkaranya dilakukan berdasarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021,” ujar Leonard.
Dengan adanya pedoman tersebut, lanjutnya, Jaksa Agung Republik Indonesia berharap, para Jaksa Penuntut Umum (JPU) agar dapat sebaik-baiknya menjalankan tugas dengan penuh rasa tanggung jawab, serta tidak melakukan perbuatan tercela dalam penerapannya.
“Jaksa Agung akan menindak tegas setiap oknum kejaksaan yang mencoba mencederai maksud dan tujuan dikeluarkannya pedoman tersebut,” pungkas Leonard Eben Ezer Simanjuntak.(Nando)