Sejumlah pejabat mendapatkan gaji yang gede. Seperti Staf Khusus (Stafsus) Presiden, dan juga Komisaris Utama PT Pertamina, Basuki Tjahaya Purnama (BTP) alias Ahok, yang disebut membawa pulang uang mencapai Rp 3,2 miliar lebih setiap bulannya.
Bukan hanya itu, setiap pejabat di negeri ini dikenal cepat kaya raya. Ketua Dewan Pimpinan Daerah Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia Provinsi DKI Jakarta (DPD GAMKI DKI Jakarta), Jhon Roy P Siregar mengatakan, untuk menuju kemakmuran ekonomi, sebaiknya berjibaku menjadi pejabat. Dengan segala cara.
“Itu yang terjadi di Republik Indonesia ini sekarang ini. Coba, adakah pejabat Negara dan pejabat pemerintahan, maupun institusi dan pimpinan perusahaan plat merah yang tidak kaya raya? Sangat jomplang dengan kondisi masyarakat. Kalau teman-teman aktivis mengatakan, mereka itu pejabat odong-odong. Pengen dapat duit gede, kekuasaan, tetapi kerjaan gak jelas,” tutur Jhon Roy P Siregar, di Jakarta, Senin (25/11/2019).
Mantan aktivis Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI) ini menyebut, bukan hanya Stafsus Presiden dan Komisaris Utama PT Pertamina seperti Ahok yang dapat durian runtuh dengan gaji gede.
“Setiap pejabat di instansi hukum terutama, semuanya berebutan jadi pejabat. Buat apa? Yak an supaya dapat duit gede. Lihat saja di Kepolisian, Kejaksaan, Hakim dan lain sebagainya. Semua pengen kayak an. Kalau gaji pokok sih kecil,” ujarnya.
Jhon Roy P Siregar mengatakan, kondisi Indonesia saat ini, tak ubahnya bagai masa kegelapan bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Terutama, masyarakat yang dikategorikan kelas menengah ke bawah.
Soalnya, kesulitan-kesulitan hidup, perekonomian yang berat, dan lapangan kerja yang tidak memadai, adalah keseharian yang tidak dapat dihindarkan oleh masyarakat. Di sisi lain, lanjut Siregar, tampak para pejabat berleha-leha, berfoya-foya dan meraup uang yang tak kecil.
“Ini yang oleh sebagian pengamat publik sebagai kondisi Negara dikuasai oleh oligarki, ya oligarki keblinger. Tak tahu diri, dan tak mau tahu dengan kondisi masyarakat. Mereka semakin mempertajam ketimpangan ekonomi dan ketimpangan sosial. Hati-hati loh, dari fakta-fakta sejarah dunia, jika dalam kondisi begitu, masyarakat bisa marah dan berontak loh. Rakyat lapar itu paling bisa ngamuk dan berontak,” tutur Siregar.
Siregar menyoroti Stafsus Presiden yang digaji Rp 51juta ditambah plus-plus lainnya. Itu sangat tidak pantas. Apalagi, yang stafsus itu kebanyakan dari kalangan tha have dan aktivis.
“Negeri ini tidak tahu seperti apa tugas dan kewajiban stafsus seperti apa. Kerja itu harus terukur kan. Dari kerja itulah dapat upah. Nah, stafsus itu layak gak digaji gede? Kayaknya enggak,” ujar Jhon Roy P Siregar.
Yang lebih mencengangkan lagi, upah seorang Komisaris Utama PT Pertamina, Ahok. Berdasar laporan kinerja keuangan Pertamina pada 2018, disebutkan jika kompensasi untuk manajemen yang berupa gaji dan imbalannya untuk 17 direksi dan komisaris mencapai 47,23 juta dollar AS atau setara Rp 671 miliar per tahun. Jika Rp 671 miliar dibagi kepada 17 orang direksi dan komisaris, maka tiap orang menerima Rp 39 miliar setahun atau Rp 3,25 miliar per bulan.
Gaji direksi dan komisaris mengalahkan gaji dan tunjangan Presiden Jokowi senilai Rp 62,74 juta per bulan. Hal itu sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 tahun 2000 tentang Gaji Pokok Pimpinan Lembaga Tertinggi Negara dan Keputusan Presiden Nomor 68 Tahun 2001.
“Sekarang, Komisaris Utama di PT Pertamina itu apa saja sebenarnya kerja dan tugas tanggungjawabnya? Sebanding ga dengan upahnya? Dan lucunya, Pak Ahok pun tahu itu. Tak ada simpati dan empati ke masyarakat. Mestinya, dia bilang dong, gajinya itu untuk rakyat semuanya. Serahkan ke rakyat. Dia kan sudah kaya raya,” tutur Siregar lagi.
Yang lebih menimbulkan pertanyaan lagi, lanjut Jhon Roy P Siregar, pejabat-pejabat di Polri itu hampir semuanya kaya raya dan memiliki aset yang banyak.
Menurut Jhon Roy P Siregar, sudah bukan rahasia umum, orang yang berkarir di Kepolisian, saat ini kebanyakan untuk ngumpulin uang, kekayaan dan kekuasaan. “Coba deh, sebanding gak gajinya dengan kerjanya? Banyak perkara tidak jalan di sana. Dari permainan seperti itulah dapat duit gede,” ungkapnya.
Dia menantang Kapolri Idham Azis dan Kapolda Metrojaya Irjen Pol Gatot Eddy Pramono untuk membuka semua sepak terjang perwiranya. Juga kinerjanya.
“Mereka makin sombong dan makin kaya raya, para pencari keadilan makin kering, diisap hingga tulang belulang, kasusnya pun tak tuntas. Keadilan diselewengkan. Coba aja dibongkar semua,” sarannya.
Di dunia aktivis, lanjut Siregar, jika ada aktivis mendadak kaya raya, punya aset banyak, tanpa jelas kerjanya, tentulah harus dipertanyakan asal muasal uangnya. Hal yang sama terjadi di level pejabat pemerintahan, instansi hukum, pejabat Negara. Sebab, pejabat pun nomenklatur gajinya sudah jelas.
“Tak mungkin bisa punya aset miliaran, punya mobil mewah, dan punya uang sebegitu banyak. Kalau hanya mengandalkan gaji. Cek deh, apa ada bisnis halal lainnya yang dia punya? Jika tidak ada, ya udah semuanya dari hasil rampok dan meras aja kali,” ungkap Siregar.
Karena itu, harus ada upaya untuk menindaktegas para pejabat yang sering menyelewengkan kekuasaan dan jabatannya yang bertujuan memperkaya diri sendiri dan kelompoknya. “KPK harus tegas. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara atau LHKPN itu harus ditelusuri. Dibuka dan diproses,” sarannya.
Jika kondisi ini tidak disikapi, Jhon Roy P Siregar khawatir, massa rakyat itu sendiri yang akan bergerak dan melakukan tindakan-tindakan di luar batas kemanusiaan mereka. “Emangnya masyarakat itu buta? Tidak melihat? Tidak merasakan langsung? Masyarakat tidak diam loh,” pungkas Jhon Roy P Siregar.(Nando)