Pakai Jas Putih, Para Dokter Geruduk Istana Negara, “Kami Pejuang Rakyat, Bukan Hamba BPJS!”

Pakai Jas Putih, Para Dokter Geruduk Istana Negara, “Kami Pejuang Rakyat, Bukan Hamba BPJS!”

- in NASIONAL
605
0
Kami Dokter Pejuang Rakyat, Bukan Hamba BPJS!

Ratusan dokter dari berbagai daerah yang tergabung dalam Dokter Indonesia Bersatu (DIB) menggelar unjuk rasa di depan Istana Negara, (Senin, 29/02/2016). Dengan mengenakan jas warna putih—ciri khas dokter—serta membawa sejumlah spanduk dan poster bertuliskan tuntutan mereka, para dokter ini meminta adanya reformasi pada sistim Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Selain melakukan orasi,  di spanduk yang digelar juga terdapat tuntutan mereka antara lain, “Kami Adalah Dokter Pejuang! Pelayan Rakyat! Bukan Hamba BPJS!”, “Kenapa pegawai BPJS asuransinya bukan BPJS!”.

Aksi unjuk rasa para dokter itu dimulai pukul 09.00 WIB. Dalam orasinya, salah seorang dokter yang ikut berunjuk rasa, dr Agung menyampaikan, upaya mereka melakukan unjuk rasa itu adalah untuk menuntut adanya perbaikan nyata dalam dunia kesehatan.

“Selama ini, JKN dijadikan hanya sebagai alat politik,” ujar dr Agung.

Agung menegaskan, yang para dokter inginkan adalah perbaikan kualitas JKN. “Ini bukan soal penghasilan kami, ini lebih pada kualitas JKN,” pungkas Agung.

Para dokter membawa spanduk. Mereka juga berorasi mengecam JKN yang ternyata tak seperti yang dibayarkan. Kabarnya, banyak tunggakan pembayaran JKN ke rumah sakit. Akibatnya penghasilan dokter pun tertahan.

Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan, sepertinya para dokter merasa terancam dengan kehadiran JKN yg dioperasionalkan oleh BPJS Kesehatan. Apakah memang benar JKN dan BPJS menjadi penghambat kesejahteraan para dokter?

“Menurut saya program JKN yang dioperasionalkan BPJS Kesehatan bukanlah penghambat kesejahteraan para dokter. Kalaupun para dokter saat ini berdemo mengeluhkan tentang kesejahteraannya maka sebenarnya pokok masalahnya bukan hanya JKN itu,” ujar Timboel dalam siaran persnya.

Paling tidak, menurut Timboel, ada tiga persoalan utama yang harus diselesaikan, yakni, pertama, terkait tarif INA CBGs yang diatur dalam Permenkes Nomor 59 Tahun 2014. Tarif itu, menurut Timboel, belum sesuai dengan harga keekonomian di Rumah Sakit-Rumah Sakit, khususnya RS Swasta.

Sebenarnya, kata dia, ada 14 rekomendasi hasil pembicaraan Kemenkes dan seluruh stakeholder terkait tarif seperti asosiasi RS, Farmasi, dan sebagainya yang hingga saat ini belum juga di-follow up.

“Salah satu rekomendasi itu adalah peninjauan ulang besaran tarif INA CBGs pada Rumah Sakit swasta, renumerasi dokter, dan dokter spesialis, serta besaran tarif obat. Belum ditindaklanjutinya rekomendasi tersebut hingga saat ini tentunya menimbulkan permasalahan bagi kalangan RS swasta, dokter dan pasien atau peserta BPJS,” ujar Timboel.

Bahkan, lanjut dia, hingga kini banyak pasien yang harus mengeluarkan biaya sendiri (out of pocket) ketika berobat. Hal inlah yang biasa disebut dengan cost sharing.  “Dalam tarif INA CBGs tersebut sebenarnya sudah termasuk renumerasi dokter dan dokter spesialis,” kata Timboel.

Menurut ketentuan Pasal 24 ayat 1 Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang SJSN, sebenarnya tarif INA CBGs harus dirundingkan oleh BPJS Kesehatan dan Asosiasi Rumah Sakit Wilayah. Nah, lanjut Timboel, hasil perundingan itulah nantinya dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan. Termasuk di dalamnya negosiasi tentang renumerasi dokter dan dokter spesialis.

“Namun yang terjadi saat ini, Kemenkes secara sepihak menentukan tarif tersebut tanpa melibatkan pihak Asosiasi Rumah Sakit,” ujarnya.

Oleh karena itu, sudah seharusnya pemerintah merevisi kembali Permenkes Nomor 59 tahun 2014 dengan memberikan kesempatan kepada BPJS Kesehatan dan Asosiasi Rumah Sakit untuk bernegosiasi menentukan tarif termasuk renumerasi para dokter.

“Bila pemerintah tidak mau merevisi Permenkes Nomor 59 tersebut, saya mengusulkan agar Permenkes itu di-judicial review ke Mahkamah Agung dengan dalil Permenkes itu sudah bertentangan dengan pasal 24 ayat 1 Undang Undang Nomor 40 Tahun 2004. Saya mendorong DIB melakukan judicial review ini,” ujarnya.

Kedua, masalah renumerasi dokter ini juga terkait keterbukaan manajemen Rumah Sakit kepada para dokter. Selama ini, menurut Timboel, rumah sakit mengatur sendiri tentang renumerasi dokter. Seharusnya, manajemen RS mengajak para dokter di-RS-nya untuk membicarakan tarif yang diberikan epada para dokter.

“Pemerintah harus bisa mendorong manajemen rumah sakit untuk terbuka kepada para dokter terkait renumerasi para dokter,” ujar Timboel.

Ketiga, terkait mahalnya biaya pendidikan dokter, apalagi dokter spesialis. Pemerintah harus meninjau kembali biaya pendidikan dokter maupun spesialis.

Jadi, lanjut Timboel, sesungguhnya permasalahan yang dikemukakan DIB dalam aksi unjuk rasa yang digelar itu adalah permasalahan di tingkat regulasi dengan pemerintah dan juga di internal Rumah Sakit itu sendiri, bukan dgn BPJS Kesehatan.

“Kalaupun JKN dan BPJS Kesehatan dipersalahkan oleh Dokter Indonesia Bersatu atau DIB, maka sebenarnya hal itu harus diarahkan pada tuntutan yang tepat,” pungkas Timboel.(JR-1)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kunker Virtual, Jaksa Agung Burhanuddin Ingatkan Jajarannya Tingkatkan Profesionalitas dan Optimalkan Publikasi Kinerja

Jaksa Agung Republik Indonesia, ST Burhanuddin, mengingatkan kepada