Agar program-program pengembangan destinasi wisata tercapai, Pemerintahan Joko Widodo diminta terlebih dahulu melakukan penyelamatan Wilayah Adat.
Seperti di Sumatera Utara, Jokowi hendaknya bersegera menyelamatkan wilayah dan Masyarakat Adat Kawasan Danau Toba (KDT). Sehingga proses pengembangan destinasi wisata yang dibanggakan pemerintah itu bisa berjalan baik.
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menyatakan, untuk KDT paling tidak ada sejumlah perusahaan perusak lingkungan yang harus dihentikan terlebih dahulu.
Staf Advokasi Pengurus Besar Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (PB AMAN) Sinung Karto mengungkapkan, Masyarakat Adat Batak sudah lebih dulu ada jauh sebelum NKRI terbentuk. Mereka sudah tinggal dan mengelola wilayah adat di KDT itu.
Masyarakat itu, lanjutnya, hidup dari wilayah adat seperti hutan kemenyan hingga saat ini. Hutan adat berisi hutan kemenyan yang dikelola dengan lestari. Pengelolaan lewat kearifan lokal leluhur Batak ini menjadi penyangga air untuk Danau Toba.
Akan tetapi atas dalih program reboisasi pada era Orde Baru, kemudian munculnya konsesi PT Inti Indorayon Utama yang kini bernama Toba Pulp Lestari, di atas wilayah-wilayah adat yang berisi perkampungan, makam leluhur, lahan pertanian hingga hutan kemenyan.
“Itu semua diklaim sebagai hutan negara dan konsesi Hutan Tanaman Industri PT TPL oleh Kementerian Kehutanan. Tanpa sepengetahuan Masyarakat Adat,” bebernya.
Akibatnya, wilayah adat terbaik milik Masyarakat Adat beralih fungsi. Makam leluhur dan lahan pertanian diratakan oleh perusahaan.
Ketua AMAN Tano Batak, Roganda Simanjuntak mengungkapkan, atas kondisi itu, pihaknya menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di Jakarta, pada Senin 12 Agustus 2019.
Puluhan anggota AMAN Tano Batak mengenakan pakaian adat, memalu alat-alat music tradisional Batak. Juga menyampaikan tuntutan-tuntutan.
Roganda Simanjuntak menuturkan, hutan adat seperti hutan kemenyan dihancurkan oleh pemegang ijin untuk diganti dengan tanaman eucalyptus sebagai bahan baku pulp milik PT TPL.
“Tidak sedikit juga Masyarakat Adat yang dikriminalisasi, sedikitnya ada 50 orang warga adat. Karena aktivitas bertani dutuduh menduduki hutan negara, merusak tanaman milik perusahaan,” tuturnya.
Seperti, pada Juli 2019 lalu, lanjutnya, lima orang Masyarakat Adat Huta Tor Nauli, di Kecamatan Parmonangan, Kabupaten Tapanuli Utara mendapat surat panggilan dari Polres Tapanuli Utara akibat pengaduan pihak PT TPL. “Mereka dituduh menduduki kawasan hutan negara,” ujar Roganda.
Sebetulnya, kata dia, pihaknya mengapresiasi program Presiden Joko widodo untuk mengembangkan destinasi pariwisata Danau Toba.
Sebab, program itu juga diharapkan bisa meningkatkan kunjungan wisatawan serta meningkatkan kesejahteraan warga.
“Akan tetapi jika perusahaan-perusahaan perusak kawasan Danau Toba masih ada, bisa dipastikan program pariwisata tersebut gagal,” ujar Roganda Simanjuntak.
Oleh karena itu, Roganda Simanjuntak bersama Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Wilayah Tano Batak, mendesak pemerintah segera menghentikan intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat adat.
Mereka juga menyerukan agar aktivitas PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) di wilayah Adat mereka segera dihentikan.
“Kami meminta, selamatkan hutan kemenyan dari klaim hutan Negara dan konsesi PT TPL. Segeralah cadangkan hutan adat di Tano Batak,” tuturnya.
Beberapa perusahaan perusak lingkungan, yang sangat menyengsarakan masyarakat adat, lanjutnya, harus segera dihentikan.
Roganda menyerukan, agar perusahaan Keramba Ikan PT Aquafarm Nusantara yakni Regal Springs Indonesia yang telah mencemari Danau Toba segera dicabut ijinnya.
“Juga, hentikan program pembangunan infrastruktur dan investasi di kawasan Danau Toba yang merampas wilayah adat,” pungkasnya.(JR)