PARTAI POLITIK DALAM PILKADA DKI JAKARTA
Oleh: Andaru Satnyoto*
“He who cannot draw on three thousand years is living from hand to mouth” (Johann Wolfgang von Goethe 1749 – 1832)
Terjemahan bebas:” Jika kita tidak memahami masa lalu hingga 3000tahun lalu, kita akan kesulitan dalam hidup (masa kini dan k e depan”).
Kutipan diatas mengingatkan akan pentingnya kita belajar sejarah; pengalaman empiris dan historis dalam melihat perkembangan masyarakat termasuk perkembangan politiknya . Dengan berkaca pada sejarah, pada pengalaman empiris dan historis tersebut, kita dapat melihat situasi lebih jernih dan ikut berkontribusi dalam kehidupan politik, ikut berpartisipasi dalam membangun kebaikan bersama, membangun Indonesia yang kuat dan demokratis. Termasuk kontribusi kita dalam hal membangun Ibu Kota Republik Indonesia, DKI Jakarta.
Memang tidak terelakkan, bahwa Politik di Ibu Kota Jakarta, khususnya persiapan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung atau Pilkada DKI Jakarta 2017, sekarang ini demikian dinamis, intens dan seolah bergejolak. Isu yang riuh ini tidak terlepas dari manuver Gubernur petahana (incumbent) Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang menyatakan maju menjadi Calon Gubernur dalam Pilkada 2017 mendatang. Gubernur DKI Jakarta Ahok saat ini didampingi oleh Wagub Jarot Syaiful Hidayat didukung oleh PDI Perjuangan semestinya akan diusung oleh PDI Perjuangan yang memiliki cukup kursi (28 kursi) dukungan di DPRD DKI Jakarta atau lebih 22 kursi minimla yang dibutuhkan.
Majunya Ahok sebagai calon independen konon (seperti yang kita lihat di berbagai media massa) dilatarbelakangi oleh beberapa hal antara lain: pertama, menghargai relawan Teman Ahok yang bersusah payah mencari dukungan mengumpulkan KTP warga DKI untuk maju calon independen. Kedua, Teman Ahok meminta pendamping juga dari independen sekalipun Jarot Syaiful Hidayat yang dari PDI Perjuangan , harus keluar dari partai, maju bersama Ahok sebagai independen. Ketiga, Teman Ahok cenderung tidak mempercayai bahwa PDI Perjuangan bersedia mengusung Ahok sehingga beresiko Ahok tidak dapat maju sebagai Gubernur. Keempat, tampaknya Ahok mempertimbangkan bahwa dengan maju melalui partai lebih mahal ketimbang maju melalui independen. Bahkan Ahok sempat menyebut lebih 100 milyar rupiah dana diperlukan untuk maju melalui jalur usungan partai politik.
Keadaan dan sikap majunya Ahok sebagai cagub DI Jakarta 2017 demikian menimbulkan reaksi keras yang beragam antara lain: Pertama, sikap dan cara majunya Ahok sebagai cagub sebagai upaya deparpolisasi, dalam pengertian usaha untuk mengecilkan dan mengurangi atau bahkan menghilangkan peran partai politik. Kedua, Bahwa biaya pencalonan gubernur atau kepala daerah untuk partai politik di DKI Jakarta tidak ada, oleh karena itu Ahok dianggap melakukan kebohongan dan berupaya menjelek-jelekan partai politik. Karena pengalaman membuktikan bahwa partai politik yang mengusung Jokowi Ahok pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, justru yang bersusah payah mencari dana untuk keperluan kampanye dan kerja bersama pengurus partai politik pengusung dari level pusat hingga ranting, khususnya PDI Perjuangan.
Suasana politik di DKI Jakarta dalam satu tahun ke depan tentu akan terus dinamis dan berubah. Namun satu hal penting bahwa partai politik menghadapi suatu tantangan untuk membuktikan bahwa keberadaannya sejalan dan dibutuhkan masyarakat. Kondisi ini tidak terlepas dari pengalaman empiris dan historis (sejarah) pada masa lalu.
Pengalaman masa lalu, selama Orde Baru selama kurun waktu sekitar 30 tahun, secara sistematis pemerintah / penguasa Presiden Suharto melalukan deparpolisasi dalam arti yang sebenarnya seperti dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bahwa deparpolisasi berarti pengurangan jumlah partai politik (dalam kehidupan kenegaraan). Partai politik pada masa Orde Baru hanya dua yaitu Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang sering dikenang sebagai partai PDI Banteng segilima, dan Partai Persatuan Pembangunan atau Partai Ka’bah dan satu Gologan Karya mewakili unsur karya masyarakat dalam pemilihan umum. Penguasa juga melakukan proses depolitisasi melalu kebijakan massa mengambang (floating mass) yang memisahkan partai dengan massa rakyat. Partai politik praktis hanya berhubungan dengan rakyat lima tahun sekali pada waktu pemilihan umum.
Sedangkan sebaliknya Golkar yang dianggap representasi pemerintah memiliki kaitan langsung dengan rakyat dan bertugas melindungi dan mewakili kepentingan masyarakat. Dengan jaminan atau argumen bahwa Golkar yang merupakan golongannya pemerintah tidak akan mungkin menjerumuskan (Bahasa Pak Harto njlomporongke rakyat). Hal ini juga dilengkapi trauma masyarakat atas keikutsertaan pada partai politik (afiliasi PKI) yang kemudian ditindas, dibunuh dan dipenjarakan bahkan tanpa pengadilan. Pada masa Orde baru, penulis sebagai aktifis yang juga terjun ke masyarakat, di desa-desa atau kecamatan seringkali kita mendengar ungkapan, “Mas di sini di kecamatan ini, tidak ada politik, semua desa di sini, semua Golkar, jangan main-main politik di sini”. Ini yang sepertinya kelihatan pernyataan biasa, sesungguhnya bagian dari depolitisasi massa rakyat. Berpolitik kalau tidak ikut pemerintah adalah sengasara, sensistif dan menyulitkan semua pihak. Bersama pemerintah berarti seseorang itu harus ikut Golkar. Inilah yang disebut sebagai depolitisasi argumen.
Oleh karena itu pengalaman berpartai atau berpolitik atau tepatnya partisipasi rakyat dalam politik yang bebas barulah timbul setelah runtuhnya Orde Baru, pada masa atau Era Reformasi ini. Pengalaman partisipasi politik yang bebas, yang asli, yang “genuine” ini, terutama dalam partai politik muncul setelah pada masa pemerintahan Habibie 1998-1999 melakukan keterbukaan dan membebaskan berdirinya partai politik. Beragamnya partai politik belakangan mulai dikritisi karena menimbulkan suasana kurang stabilnya politik atau sekedar kegaduhan politik. Disamping itu dalam proses pengelolaan negara baik pusat maupun di daerah ternyata di mata masyarakat partai politik dianggap terlibat dalam berbagai kasus korupsi, kolusi dan nepotisme yang dihantam pada waktu reformasi 1998. Demikian pula muncul isu-isu bahwa untuk ikut seleksi dan diputuskan terlibat dalam suatu kepemimpinan politik seperti kepala daerah dan lain-lain, partai politik minta mahar dan sebagainya. Hal-hal inilah yang kemudian menimbulkan dan memperkuat suasana anti partai politik.
Jadi, dikaitkan dengan politik di atas khususnya pada Pilkada DKI Jakarta, yang terjadi sebenarnya bukannya deparpolisasi tetapi lebih pada depolitisasi. Berpolitik tidak harus ikut partai politik. Bahkan ada yang menyebut berpolitik tanpa partai politik. Ada suasana yang dibangun lebih pada suasana anti partai politik. Partai politik tidak ada gunanya bagi rakyat. Partai politik menjadi parasit bagi kepentingan rakyat dan sebagainya. Inilah tantangan utama partai politik. Tantangan utama bagi partai politik dalam Pilkada DKI sesungguhnya bukan Ahok, tetapi gerakan anti partai politik. Hal ini tentu secara prinsipil bertentangan dengan konstitusi kia UUd 1945 , sebagai wujud kontrak bersama seluruh masyarakat, seluruh rakyat dalam mengatur negara, yaitu bahwa partai politik merupakan lembaga pengelola / pilar demokrasi negara dan lembaga pengelola politik kesejahteraan / anggaran dan pengelola politik kenegaraan melalui rekrutmen pemimpin / pejabat negara di lembaga-lembaga negara baik langsung atau tidak langsung, melalui mekanisme kepemimpinan lima tahunan, yang ditentukan berdasarkan rezim pemilu demokratis, langsung , umum, bebas, rahasia, jujur dan adil (luber jurdil).
Untuk itu , partai politik harus mampu menjadi memiliki kesadaran terdepan dalam membangkitkan semangat rakyat untuk memperjuangkan kepentingannya. Meminjam istilah Bung Karno, gunanya partai politik adalah menjadi obor, menjadi suluh keasadaran massa tentang politik, tentang kemerdekaan, tentang kesejahteraan rakyat. Partai politik harus mampu menjadi pemimpin massa rakyat, partai politik harus menjadi teladan massa rakyat. Partai politik harus memiliki pengaruh atau berwibawa di depan massa rakyat. Hal ini hanya bisa terjadi kalau partai politik mampu hidup bersama rakyat, mampu menyelami hatinya rakyat (Bung Karno, Risalah Indonesia Merdeka, 1933). Partai politik dalam hal ini kader-kader partai politik harus mampu menjadi teladan, menjauhi sikap elitis, sikap menjauhi rakyat, tidak peka terhadap kebutuhan rakyat, dan korupsi.***
***Penulis adalah Dosen FISIPOL UKI Jakarta, punya pengalaman dan terlibat kegiatan partai politik, dalam pemilihan legislatif dan konsultan pilkada langsung di Indonesia.