Perempuan Nelayan dan Nelayan Tradisional mendesak presiden Jokowi menghentikan proyek reklamasi pantai, seperti reklamasi di teluk utara Jakarta.
Mereka meminta bekas Gubernur Provinsi DKI Jakarta itu mencabut Keppres Nomor 52 Tahun 1995 dan Perpres Nomor 54 tentang penataan ruang Jabodetabekpunjur.
Ketua Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Arieska Kurniawaty menyampaikan, masyarakat juga meminta reperda RZWP3K dihentikan.
“Upaya itu tidak partisipatoris. Regulasi-regulasi tersebut membuka keran reklamasi yang akan meminggirkan dan merampas kehidupan nelayan, termasuk perempuan,” ujar Arieska, Jumat (29/01/2016).
Menurut dia, Teluk Jakarta telah berada dalam situasi kritis dengan ditandai kematian ikan yang terus-terusan berulang. Padahal, lanjut Arieska, ikan dan sumber daya laut lainnya merupakan sumber kehidupan dan mata pencaharian bagi masyarakat pesisir.
“Proyek-proyek reklamasi juga dapat berdampak pada bencana ekologis yang mengancam keberlangsungan hidup manusia. Pemerintah seharusnya berusaha merevitalisasi dan memulihkan kondisi demi berlangsungnya kehidupan masyarakat Nelayan maupun masyarakat umum lainnya,” ujar dia.
Alih-alih memulihkan kondisi, menurut Ketua DPW Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Jakarta M Taher, pemerintah sebaliknya malah menjual kehidupan masyarakat pesisir melalui proyek reklamasi.
Menurut Taher, dengan diteruskannya reklamasi yang salah satunya adalah dengan Proyek Giant Sea Wall, tentunya akan menjadikan beban Teluk Jakarta bertambah buruk.
“Hal ini akan diperparah dengan penurunan muka tanah yang tinggi, sehingga memperparah bencana bajir yang akan dialami masyarakat,” ujar Taher.
Diakui Taher, meskipun mengalami situasi yang sama, namun dampak yang berbeda dirasakan oleh perempuan di wilayah pesisir Jakarta. Akibat peran gendernya, perempuan harus berpikir dan berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Reklamasi menjadikan kehidupan rumah tangga nelayan semakin terhempit.
“Sehingga banyak perempuan pesisir yang bekerja secara serampangan, ditambah dengan beban kerja domestik banyak perempuan yang harus bekerja lebih dari 18 jam sehari. Hal ini tentu membahayakan kesehatan reproduksi perempuan,” ujarnya.
Kini, lanjut dia, lebih dari 700 orang perempuan dan laki-laki yang tergabung didalam Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta mendesak presiden menghentikan reklamasi.
Penghentian itu harus dimulai dengan melakukan audit menyeluruh terhadap proyek-proyekreklamasi, khususnya Reklamasi Teluk Jakarta.
Menurut Taher, penghentian reklamasi Teluk Jakarta akan menjadi prasasti pemerintah Jokowi yang telah meniscayakan takdir Indonesia menjadi Poros Maritim.
“Karena selama ini proyek reklamasi merupakan tindakan memunggungi laut, tanpa mempedulikan kesejahteraan dan hak-hak nelayan serta masyarakat pesisir,” ujarnya.
Kemudian, menurut dia, langkah restorasi penting dilakukan oleh pemerintah pusat melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.
“Langkah itu untuk segera menghentikan bencana ekologis yang mengancam kehidupan, tidak hanya masyarakat pesisir Teluk Jakarta tetapi juga peradaban manusia,” pungkas dia.(NDO)