Nelayan dan masyarakat pesisir merasa belum mendapatkan perlindungan dari negara. Karena itu, dalam rangka Hari Nelayan 2018, pemenuhan jaminan konstitusional mereka kembali disuarakan.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Susan Herawati menuturkan, dari pelbagai persoalan yang dihadapi nelayan dan masyarakat pesisir, negara tampak tidak mau peduli. Karena itu, dia mendesak negara hadir bagi warganya.
“Kiara meminta Pemerintah untuk tetap hadir memberikan perlindungan dan menjamin hak konstitusional masyarakat pesisir,” ujar Susan Herawati, dalam siaran persnya, Sabtu (07/04/2018).
Dia pun mengingatkan, Pemerintah wajib mengimplementasikan amanat Undang-Undang No. 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam.
“Selain itu, Pemerintah harus memastikan hak-hak konstitusional masyarakat pesisir terpenuhi,” ujar Susan.
Secara khusus, dalam momentum kali ini, Kiara mengingatkan, setiap tanggal 6 April, seluruh masyarakat pesisir yang terdiri dari nelayan, perempuan nelayan, pembudidaya ikan, petambak garam, pelestari ekosistem pesisir dan masyarakat adat pesisir, di pelbagai kawasan di Indonesia merayakan hari nelayan.
Perayaan ini dilakukan sebagai penegasan bahwa nelayan dan seluruh kelompok masyarakat pesisir di negeri ini memiliki kedaulatan untuk mengakses dan mengelola sumber daya kelautan dan perikanan yang melimpah di perairan Indonesia.
Sumber daya kelautan dan perikanan merupakan sumber protein sekaligus sumber kesejahteraan bagi puluhan juta masyarakat yang tinggal di 12.827 desa pesisir di Indonesia.
Pusat Data dan Informasi KIARA (2017) mencatat, jumlah desa pesisir di Indonesia sebanyak 12.827 desa dari 78.609 desa yang tersebar di seluruh Indonesia. Setidaknya, ada 8.077.719 rumah tangga perikanan yang hidup dan mendiami kawasan desa pesisir serta menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.
Dijelaskan dia, jika satu rumah tangga terdiri dari 3 orang, maka ada lebih dari 25 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan.
“Namun, jika satu rumah tangga terdiri dari 5 orang, maka ada lebih dari 40 juta orang yang tinggal di kawasan pesisir dan menggantungkan kehidupannya terhadap aktivitas perikanan,” tuturnya.
Secara umum, dia merincikan, permasalahan serius yang dihadapi masyarakat pesisir yang dapat diklasifikasikan dalam tiga kategori utama.
Pertama, permasalahan yang bersumber dari alam; kedua,permasalahan kerusakan alam yang disebabkan oleh manusia baik secara langsung maupun tidak langsung; dan ketiga, permasalahan sosial ekonomi politik.
Dalam konteks relasi dengan negara, lanjutnya, masyarakat pesisir terancam harus berhadapan dengan proyek-proyek pemerintah berupa reklamasi, pertambangan pesisir, dan pariwisata yang mengakibatkan masyarakat pesisir tergusur dari ruang penghidupannya tanpa ada perlindungan yang pasti atas keterikatannya dengan wilayah pesisir dan laut.
“Menghadapi berbagai persoalan tersebut di atas, masyarakat pesisir membutuhkan kehadiran negara untuk melindungi, memberdayakan, sekaligus menjamin hak-hak konstitusionalnya,” ungkap Susan Herawati.
Namun, sampai saat ini negara tidak hadir untuk melindungi masyarakat pesisir di Indonesia.
Susan menjelaskan, absennya negara dapat dilihat dari tiga hal, pertama, penetapan Peraturan Daerah (Perda) Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil (RZWP3K) yang belum mempertimbangkan dan memasukan kepentingan masyarakat pesisir.
Kiara mencatat, per Januari 2018 ada delapan provinsi yang memiliki Perda RZWP3K, yaitu, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Lampung, dan Sulawesi Tengah. Sementara itu, ada lima provinsi yang berada dalam tahap akhir yaitu Jawa Timur, Lampung, Jawa Tengah, Kalimantan Barat dan Sumatera Barat.
Tiga provinsi dalam perbaikan yaitu Sulawesi Selatan, Banten, dan Kalimantan Utara. Sisanya, sebanyak 19 provinsi belum memiliki Perda RZWP3K.
“Hampir seluruh dokumen RZWP3K yang disusun lebih mempertimbangkan kepentingan pemodal bukan masyarakat pesisir,” tegasnya.
Kedua, pengakuan terhadap peran serta kontribusi nelayan, khususnya perempuan nelayan, di Indonesia. Dari total 8.077.719 rumah tangga perikanan, hanya ada 1.108.852 kartu nelayan yang disiapkan oleh negara.
Dari angka tersebut, hanya ada 21.793 kartu nelayan yang diperuntukkan untuk perempuan nelayan. Artinya, hanya 2% saja kartu nelayan untuk perempuan nelayan.
Untuk itu, pemberian asuransi nelayan yang menjadi mandat Undang-Undang No. 7 tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam, baru diberikan sekitar 143.600 asuransi yang diberikan kepada nelayan.
Dari angka itu, hanya 2% asuransi yang disediakan untuk perempuan nelayan. Padahal, pemerintah telah menargetkan 1 juta asuransi nelayan.
Ketiga, kebijakan peralihan alat tangkap yang masih berjalan di tempat. Permasalahan dalam skema bantuan peralihan alat tangkap yang belum merata dan tidak sesuai dengan spesifikasi alat tangkap yang dibutuhkan nelayan, menjadi persoalan serius saat ini.
“Implementasi kebijakan masih belum mengakomodir kebutuhan dan keragaman nelayan dengan kondisi geografis pesisir yang berbeda-beda,” ujarnya.(JR)