Berulang terjadi berbagai kebakaran dan pengrusakan terhadap museum dan benda-benda bersejarah lainnya, dan berulang kali pula pemerintah berjanji akan memperbaiki sistem keamanannya, namun hingga saat ini, upaya menjaga dan melestarikan serta memperbaiki keamanan cagar budaya tidak kunjung diwujudkan.
Koodinator Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA) Jhohannes Marbun menyampaikan, kejadian terbaru adalah terbakarnya Museum Bahari Jakarta. Kejadian ini semakin menambah panjang deretan museum yang tak serius dijaga dan diurusi.
“Turut prihatin atas terbakarnya Museum Bahari Jakarta. Banyak kejadian telah terjadi menimpa permuseuman di tanah air, dan banyak masukan telah dibuat, kiranya kasus ini menjadi yang terakhir dan kita sungguh-sungguh agar secara khusus membenahinya ke depan, termasuk keamanan museum yang masih terabaikan. Sekalipun sudah beberapa kali kejadian kehilangan berdasarkan catatan MADYA, dimana Menteri sebelum-sebelumnya selalu mengatakan akan memperbaiki,” tutur Jhohannes Marbun, di Jakarta, Kamis (18/01/2018).
Menurut pria yang akrab disapa Joe ini, peristiwa kebakaran yang menimpa Museum Bahari Jakarta karena diduga diakibatkan korsleting sudah beberapa kali terjadi, dan Museum Bahari sudah menganggarkan perbaikan untuk tahun anggaran 2018.
“Mengetahui berita ini, tentu membuat hati dan pikiran orang-orang yang mengetahui persis manajemen permuseuman, tentu semakin bertambah geram dan mengutuk. Pernyataan tersebut menunjukkan betapa bobroknya pengelolaan Museum Bahari. Ini sebenarnya tidak saja terjadi di Museum Bahari, tetapi hampir di seluruh museum lainnya di Indonesia,” ujar Joe.
Dia pun mendesak aparat penegak hukum agar melakukan penyelidikan secara tuntas atas kasus-kasus seperti itu. Dikatakan Joe, sangat perlu dibentuk tim Audit Manajemen Permuseuman dengan melibatkan ahli maupun komunitas permuseuman lainnya yang memahami tentang manajemen permuseuman.
“Sebab kami menduga, adanya unsur kelalaian disana. Kasus terbakarnya Museum Bahari, jelas menunjukkan buruknya manajemen museum tersebut. Oleh karena itu perlu di evaluasi, apakah buruknya manajemen museum ada berkaitan dengan birokrasi pemerintahan yang buruk dan belum adaptif terhadap tata aturan main permuseuman secara global atau internasional, atau berkaitan dengan ketidak-cakapan dari pengelola museum atau karena kedua-keduanya. Untuk itulah perlu Audit manajemen Museum,” tuturnya.
Joe mengungkapkan, Audit Manajemen Museum pernah dilakukan terhadap Museum Sonobudoyo Yogyakarta, pasca terjadinya pencurian 75 Koleksi Emas dari Museum Sonobudoyo Yogyakarta dimana sebagiannya merupakan Koleksi Masterpiece.
Selain menurunkan Inspektorat Pemda Daerah Istimewa Yogyakarta untuk mengevaluasi secara internal, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono X juga membentuk Tim Sembilan yang bertugas mengaudit manajemen museum Sonobudoyo berdasarkan manajemen museum yang diakui secara internasional.
Ketika itu, lanjut dia, Tim Sembilan mendapatkan temuan-temuan yang mengejutkan termasuk adanya kehilangan koleksi diluar 75 koleksi museum yang telah dilaporkan secara resmi.
“Tim Sembilan memaparkan hasil auditnya dan berkesimpulan manajemen koleksi museum Sonobudoyo sangat buruk dan merekomendasikan beberapa poin termasuk ‘memandirikan’ pengelolaan museum Sonobudoyo, yang tidak hanya berfokus menunggu anggaran turun,” ujarnya.
Dalam Ilmu Permuseuman (Museologi), khususnya konservasi koleksi, lanjut Alumni Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini, mengetahui kerentanan museum merupakan pengetahuan mendasar yang harus dimiliki oleh pengelola museum.
Pengelola museum memiliki standar tugas tersendiri dan harus cakap dalam mengelola museum. Pengelola museum wajib dan sudah seharusnya mengidentifikasi 10 faktor kerentanan yang dikenal dengan 10 agen perusak (ten agents of deterioration) diantaranya 1) Kekuatan Fisik; 2) Pencuri, vandalisme, pelanggar aturan; 3) Kebakaran; 4) Air; 5) Hama; 6) kerusakan kimia (Polutan); 7) Cahaya; 8) pengaturan suhu yang tidak tepat; 9) Kelembaban udara yang tidak diatur secara baik; 10) Pengabaian/ kelalaian misalnya hilangnya artefak karena lupa menaruh terakhir kali.
“Oleh karena itu, dalam pengelolaan museum seharusnya ke-10 kerentanan tersebut sudah dilakukan langkah-langkah antisipasi,” ujarnya.
Joe juga menerangkan pentingnya penanggulangan bencana khususnya kebakaran terhadap obyek cagar budaya maupun permuseuman. Sebelumnya, kata dia, sudah pernah diungkapkan oleh Masyarakat Advokasi Warisan Budaya (MADYA) dalam evaluasi 3 (tiga) tahun Pemerintahan Jokowi-JK di seķtor kebudayaan pada akhir Oktober 2017 lalu.
Ketika itu, lanjut dia, pihaknya merilis kerentanan warisan budaya (heritage) termasuk di dalamnya adalah museum terhadap bencana kebakaran sebagaimana terjadi terhadap rumah adat Batak Jangga Dolok di Toba Samosir yang terbakar pada tanggal 1 Januari 2016, kebakaran Rumah Adat di Desa Adat Kampung Tarung, Sumba Barat pada bulan Oktober 2017 maupun Rumah Adat Minang, yang baru-baru ini terjadi kembali.
Belajar dari penanganan peristiwa kebakaran yang pernah terjadi dan juga belajar dari penanganan kasus pasca pencurian koleksi museum di tanah air yang sampai saat ini belum terungkap kasusnya, Joe pesimis bahwa peristiwa kebakaran Museum Bahari akan dijadikan sebagai evaluasi untuk memperbaiki permasalahan akut yang ada.
Menurut dia, hilangnya kepekaan maupun lumpuhnya kesadaran akan pentingnya menjaga, memelihara, maupun melestarikan tinggalan budaya sepertinya masih menjadi dinamika Pemerintahan sampai saat ini.
Pemerintah maupun Pemerintah Daerah belum menjadikan pelestarian warisan budaya sebagai arus utama pembangunan.
“Fakta ini tentu sangat menyedihkan sekali dimana setiap kejadian yang ada akan dianggap sebagai peristiwa biasa dan tidak memiliki konsekuensi apapun. Saatnya menyampaikan kembali, bahwa Pemerintahan hari ini telah berkontribusi terhadap hilangnya catatan peradaban bangsa di bidang kemaritiman,” tuturnya.(JR)