Seorang dokter mengadukan Hakim Pengadilan Negeri Kendari ke Bagian Pengawasan Hakim Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY).
Dokter bernama Rinrin Merinova, warga Apartemen Taman Rasuna Said Tower 7 Unit 06 E, RT 01/RW 10, Kelurahan Menteng Atas, Kecamatan Setia Budi, Jakarta Selatan itu mengadukan 4 orang Hakim dari PN Kendari, lantaran diduga telah melakukan penyimpangan dan melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim ketika memutus perkara Perdatanya di luar kewenangan.
Melalui Kuasa Hukumnya, dokter Rinrin meminta Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) menindaktegas para hakim yang menyelewengkan kewenangan dan kekuasaan hakim dalam perkara yang ditangani.
Ketua Tim Kuasa Hukum dokter Rinrin Mernova, Helmax Alex Sebastian Tampubolon menyampaikan, ada beberapa poin putusan Majelis Hakim Pengadilan Kendari yang memutus Perkara Perdata No:13/Pdt.G/2019/PN.Kdi di Pengadilan Negeri Kendari, yang bukan ranah hakim, namun dipaksakan melakukan pemutusan atas perkara tersebut.
“Kami telah melaporkan dugaan terjadinya penyalahgunaan wewenang, penyimpangan atau pelanggaran perilaku yang dilakukan Majelis Hakim di Pengadilan Negeri Kendari itu ke Ketua Kamar Pengawasan Hakim di Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial,” tutur Helmax kepada wartawan, di Jakarta, Kamis (30/01/2020).
Melalui Kantor Hukum Helmax Alex Sebastian Tampubolon Law Office And Partners, dokter Rinrin meminta Helmax Ales Sebastian Tampubolon bersama timnya yang terdiri dari Recci Murinanda, Yahya Tulus Nami Hutabarat, Agus Gandara dan Alvian, untuk meminta pembatalan terhadap putusan Majelis Hakim PN Kendari atas perkara yang sudah melenceng dari substansinya itu.
Keempat orang yang dilaporkan itu terdiri dari 3 Hakim dan satu Panitera Pengganti. Mereka adalah Rudi Suparmono selaku Hakim Ketua dengan NIP: 19680519 199212 1 001, Kelik Trimargo selaku Hakim Anggota dengan NIP: 19701030 199603 1 003, Andri Wahyudi selaku Hakim Anggota dengan NIP: 1975206 200112 1 001 dan A Dewi Zukhfuri selaku Panitera Pengganti dengan NIP: 198708232006042001.
Helmax membeberkan, paling tidak ada tiga poin krusial yang menyalahi tata cara dan perilaku hakim yang dilanggar oleh keempat orang yang mengadili perkara dokter Rinrin itu di PN Kendari.
Pertama, dokter Rinrin sebagai tergugat berdomisili di Jakarta Selatan. Perusahaan yang sahamnya dibeli oleh Rinrin berada di Kendari, Sulawesi Tenggara. Sedangkan penggugat berdomisili di Jakarta Utara.
“Seharusnya, gugatan a quo didaftarkan pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sesuai domisili dokter Rinrin sebagai tergugat. Sehingga, sangat keliru dan melanggar kompetensi relatif pada saat didaftarkan pada Pengadilan Negeri Kendari,” jelas Helmax.
Oleh karena itu, tegaskan Helmax, sudah seharusnya gugatan terhadap dokter Rinrin itu dinyatakan tidak dapat diterima atau N.O oleh judex factie. “Karena terkandung fakta adanya kompetensi relative,” ujarnya.
Kemudian, penggugat hanya merumuskan dan memohonkan 3 hal saja. Namun, oleh Majelis Hakim PN Kendari yang diketuai Rudi Suparmono itu malah memutuskan empat hal.
Helmax menegaskan, Majelis Hakim PN Kendari itu telah menambahkan hal keempat, yang mana itu bukan kewenangan hakim. Sebab, penggugat sendiri hanya memohonkan 3 hal.
“Poin putusan yang ditambahkan oleh Majelis Hakim PN Kendari itu adalah pada poin ketiga putusannya, yakni menghukum tergugat untuk melakukan RUPS-LB kembali dengan dihadiri oleh Thomas, Citra Hartanto, PT Petro Indah Indonesia atau Kuasanya. Poin ini jelas menyalahi,” ujarnya.
Ketiga, lanjutnya, di dalam Acara Perdata, dikenal adanya Asas Ultra Petita. Yang artinya, Hakim dalam menjatuhkan putusan atas perkara yang tidak dituntut/atau dimohonkan, atau meluluskan lebih daripada yang diminta.
“Nah, Majelis Hakim PN Kendari itu, tidak melaksanakan ultra petita tersebut,” ujar Helmax.
Yang lebih aneh lagi, kata Helmax, dan sangat fatal dari perilaku hakim yang seharusnya, mengenai adanya jadwal persidangan. Jadi, diungkapkan Helmax, pihaknya menemukan adanya kejanggalan. Dimana pada tanggal 06 Novemver 2019 telah dilaksanakan Sidang Permusyawaratan Hakim. Sedangkan pada tanggal 28 November 2019 dan tanggal 09 Desember 2019 masih ada acara atau agenda persidangan.
“Apakah itu wajar? Hakim melakukan Sidang Permusyawaratan Hakim, sementara agenda sidang masih berlangsung yang mana pada saat itu agenda kesimpulan,” tanya Helmax.
Menurutnya, seharusnya diselesaikan dulu semua acara persidangan barulah kemudian Majelis Hakim bermusyawarah untuk menentukan amar putusan. Sebab harus mempertimbangkan segala bukti dan informasi yang utuh dari awal persidangan sampai dengan diajukannya kesimpulan dari para pihak yang bersengketa.
Oleh karena itu, Helmax dkk melaporkan telah adanya pelanggaran secara massif dan fatal terhadap Hukum Acara, Kode EWtik dan Pedoman Perilaku Hakim.
Dokter Rinrin melalui Kuasa Hukumnya meminta kepada Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung untuk melakukan pemeriksaan terhadap para pihak yang dilaporkannya ke MA dan KY.
Badan Pengawasan Mahkamah Agung juga diminta melakukan pemeriksaan dan pemanggilan terhadap para terlapor yang diajukan dokter Rinrin, atas dugaan pelanggaran Hukum Acara, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.
“Kami juga memohonkan kepada Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung untuk menjatuhkan sanksi yang memiliki efek jera terhadap para Hakim yang kami laporkan ke MA itu,” ujar Helmax.
Atas laporan mereka, Helmax juga berharap Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung memberikan informasi tertulis kepada pihaknya, terkait perkembangan atau hasil pemeriksaan terhadap para hakim dan panitera yang telah mereka adukan ke MA dan KY itu.
“Kami akan menunggu hasil dari proses laporan yang sudah kami sampaikan ke MA dan KY. Kiranya, MA menindaktegas para hakim dan panitera yang telah melakukan pelanggaran itu,” tutup Helmax.(JR/Richard)