Walaupun masih jauh dari harapan publik, kinerja Tim Irwasum Polri yang berupaya melakukan pengusutan kerusuhan 21-22 Mei 2019 layak diapresiasi.
Ketua Setara Institute, Hendardi mengatakan, pengungkapan aktor-aktor kerusuhan 21-22 Mei 2019 oleh Mabes Polri merupakan salah satu bentuk upaya transparansi Polri dalam penanganan peristiwa hukum.
Hal itu dilakukan guna meningkatkan akuntabilitas penyidikan terhadap beberapa orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka.
“Pengungkapan yang dilakukan oleh Mabes Polri di bawah koordinasi Tim Irwasum Polri, memang kurang ideal untuk memperkuat independensi dibanding misalnya dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF). Tetapi, pembentukan TGPF biasanya didasari oleh tidak bekerjanya ordinary institution yang diberi mandat oleh Konstitusi dan peraturan perundang-undangan. Sepanjang institusi existing sudah bekerja, maka pembentukan TGPF pun menjadi tidak relevan,” tutur Hendardi, dalam keterangan persnya, Minggu (16/06/2019).
Dia menegaskan, betapapun keterangan tersebut diragukan oleh beberapa pihak, pemaparan publik oleh Polri telah memberikan pembelajaran berharga bagi warga negara tentang arti penting demokrasi, kebebasan berpendapat, dan nafsu politik para avonturir politik serta conflict entrepreneur yang beroperasi di tengah kekecewaan sebagian publik dan kerumunan massa.
Bagi Hendardi, upaya hukum yang dilakukan Polri dan menjerat sejumlah purnawirawan TNI dan Polri, sudah sepatutnya harus dipandang sebagai proses hukum biasa yang tidak perlu dikaitkan dengan korps atau semangat jiwa korsa para purnawirawan.
“Dalam konteks Pemilu, jiwa korsa hanya dibenarkan untuk membela demokrasi konstitusional yang tunduk pada supremasi sipil melalui Pemilu, bukan pertunjukan anarki yang mengorbankan jiwa-jiwa yang buta politik, sebagaimana terjadi pada 21-22 Mei lalu,” ujarnya.(JR)