Penambang emas tradisional dari Gunung Pongkor, Bogor, mengadu ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) lantaran mengalami kriminalisasi dan dipaksakan harus mengikuti persidangan tanpa kejelasan apa kesalahan yang diperbuatnya.
Puluhan warga dan keluarga korban bersama Pusat Bantuan Hukum Dan Advokasi Masyarakat (PBHAM) mendatangi Komnas HAM. Mereka mengadukan nasib mereka dan Dul Jaya Bin Mukri yang menjadi korban kriminalisasi dan proses hokum sesat.
Ketua Pusat Bantuan Hukum Dan Advokasi Masyarakat (PBHAM) Anggiat Gabe Maruli Tua Sinaga menyampaikan, besok Rabu (11/10/2017) Pengadilan Negeri Cibinong, Bogor tetap melanjutkan persidangan yang direkayasa, dengan terdakwa Dul Jaya Bin Dul Mukri, yakni seorang penambang tradisional yang tidak mengetahui kesalahan apa yang dituduhkan kepadanya.
“Hari ini kami mengadukan ke Komnas HAM mengenai adanya kriminalisasi dan upaya pemaksaan hukum sepihak kepada Saudara Dul Jaya Bin Dul Mukri. Besok, persidangan tetap dipaksakan, itu adalah peradilan sesat,” ungkap Anggiat Gabe MT Sinaga, di Kompleks Komnas HAM RI, Jalan Latuharhari, Jakarta Pusat, Selasa (10/10/2017).
Sembari menggelar aksi kecil dengan berorasi singkat dan membentangkan spanduk, mereka akhirnya diterima Komisioner Komnas HAM dan menyampaikan aduan mereka.
“Kami juga sudah bersurat kepada Ombudsman, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, Komisi III DPR, bahkan ke Pihak Istana agar proses yang dilakukan kepada Dul Jaya tidak membabibuta. Itu adalah korban salah tangkap, tetapi dipaksa diproses dengan proses hukum sesat dan persidangan yang menyesatkan,” tutur Anggiat Gabe.
Dia memaparkan, Dul Jaya Bin Dul Mukri Ditangkap oleh Kepolisian Resor Bogor pada 16 Agustus 2017 Pada Pukul 14.20 WIB di Area Antam TBK GMBU, tepatnya di Area Pasar Jawa, Desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung, Kabupaten Bogor. Pasal yang disangkakan adalah Pasal 161 dan Pasal 158 UU RI No 04 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Kemudian, pada 26 Agustus 2017 perkara Dul Jaya Bin Dul Mukri di Limpahkan ke Kejaksaan Negeri Cibinong.
“Dan, pada tanggal 04 Oktober 2017, persidangan Pertama Saudara Dul Jaya Bin Dul Mukri di mulai di Wilayah Pengadilan Negeri Cibinong,” ujar Anggiat Gabe.
Pada Tanggal 06 September 2017, Dul Jaya Memberikan Surat Kuasa Kepada Advokat dari Pusat Bantuan Hukum dan Advokasi Masyarakat (PBHAM). Pada tanggal 27 Agustus 2017, Tim Kuasa Hukum Bertemu dengan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Renta Siregar yang menangani perkara Dul Jaya Bin Dul Mukri untuk meminta informasi mengenai jadwal sidang dan Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
“Namun kami dihimbau untuk memasukkan surat permohonan secara resmi. Proses BAP dan proses persidangan awal tanpa kuasa hukum,” ujar Anggiat Gabe.
Kemudian, dia melanjutkan, tanpa pemberitahuan kepada Tim Kuasa Hukum dan tanpa didampingi kuasa hokum, Dul Jaya Bin Dul Mukri langsung diperiksa, Surat Dakwaan dibacakan serta pemeriksaan saksi berlangsung di wilayah Pengadilan Negeri Cibinong.
Dia melanjutkan, pada 09 Oktober 2017 Tim Kuasa Hukum menemui Jaksa Penuntut Umum yang menangani Perkara Dul Jaya Bin Dul Mukri yaitu Renta Siregar di wilayah Pengadilan Negeri Cibinong.
Pada Tanggal 10 Oktober 2017, Pusat Bantuan Hukum dan Advokasi Masyarakat (PBHAM) melayangkan surat secara resmi kepada Komnas HAM RI, LPSK, Komisi Kejaksaan, Kompolnas.
Di tempat yang sama, Koordinator Divisi Advokasi Pusat Bantuan Hukum Dan Advokasi Masyarakat (PBHAM) Ralian Jawalsen memparkan, telah terjadi pelanggaran HAM yang sistematis terhadap Dul Jaya Mukri.
“Selain itu, pelanggaran Kode Etik oleh Kepolisian dan Jaksa telah terjadi dalam perkara ini,” ujar Ralian.
Dia mengatakan, di dalam ketentuan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana yakni pada pasal 56 KUHAP dijelaskan bahwa setiap tersangka atau terdakwa yang melakukan ancaman pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau mereka yang tidak mampu diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasehat hukum sendiri, pejabat dalam setiap tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasehat hukum bagi mereka.
“Dul Jaya Bin Dul Mukri tidak pernah didampingi kuasa hukumnya sehingga Hak Asasi yang dilindungi oleh hokum telah dilanggar oleh aparat, khususnya oleh penyidik Kepolisian Resor Bogor dan Kejaksaan Negeri Cibinong,” ujar Ralian.
Sangat jelas, lanjut dia, bahwa telah terjadi diskriminasi dan kriminaliasi dalam penanganan perkara ini oleh penyidik dan jaksa. Hal itu dapat dibandingkan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor Per – 067/IA/JA07/2007.
“Bahwa dengan diabaikannya hak-hak terdakwa, JPU telah melakukan pelanggaran HAM,” ujarnya.
Selain itu, lanjut dia, dalam proses penanganan perkara dan persidangan Dul Jaya, ada beberapa ketentuan yang dilanggar oleh Kepolisian dan Jaksa Penuntut Umum, yaitu Pasal 51 KUHP yaitu setiap tersangka berhak untuk diberitahukan dengan jelas dalam bahasa yang dimengerti olehnya tentang apa yang disangkakan kepadanya pada waktu pemeriksaan dimulai.
“Lah, buktinya Dul Jaya sebagai terdakwa mengaku kepada Kuasa Hukum tidak mengerti apa yang disangkakan kepadanya,” tutur Ralian.
Ketentuan di dalam Pasal 54 KUHAP juga dijelaskan, guna kepentingan pembelaan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum dari seorang atau lebih penasehat hukum selama dalam waktu dan pada setiap tingkat pemeriksaan.
“Dul Jaya tidak pernah diberikan hak itu,” kata Ralian.
Kemudian, kata dia, proses persidangan perkara Dul Jaya Bin Dul Mukri telah direkayasa tanpa fakta-fakta hukum sebagaimana dalam proses persidangan dan melanggar ketentuan hukum.
“Jadi ini perkara menyesatkan hokum, peradilannya pun sesat. Kami meminta semua institusi mengusut anggotanya yang bermain dalam perkara sesat seperti ini dan memberikan sanksi tegas,” pungkas Ralian.(JR)