Laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahun 2015 dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang disebarkan dan dipublikasikan secara massif lewat sejumlah media massa patut dipertanyakan.
Selain belum ada audit dan penilaian yang dilakukan oleh Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), publikasi kedua laporan ini merupakan amanat Pasal 37 ayat 5 Undang Undang Nomor 24 tahun 2011 tentang BPJS, yang berbunyi, laporan pengelolaan program dan laporan keuangan tahunan dipublikasikan dalam bentuk ringkasan eksekutif melalui media massa elektronik dan melalui paling sedikit 2 (dua) media massa cetak yang memiliki peredaran luas secara nasional, paling lambat tanggal 31 Juli tahun berikutnya.
Merujuk pada Pasal 37 ayat 3, bentuk dan isi laporan pengelolaan program diusulkan oleh BPJS setelah berkonsultasi dengan DJSN.
Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, tentunya kedua laporan ini merupakan bentuk transparansi dan pertanggungjawaban BPJS Kesehatan kepada Presiden dan rakyat Indonesia.
“Setelah membaca kedua laporan ini, dan mengacu pada Pasal 37 ayat 3 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011, serta berdasarkan informasi yang kami peroleh, ternyata bentuk dan isi laporan pengelolaan program ini belum dikonsultasikan ke DJSN. Bahkan, anggota DJSN menginformasikan bahwa DJSN justru mempertanyakan tindakan Direksi BPJS Kesehatan yang tidak mengkonsultasikan laporan pengelolaan program ini ke DJSN. Direksi hanya menyerahkan laporan ini ke DJSN tanpa melakukan konsultasi,” ungkap Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, di Jakarta, Sabtu (30/07/2016).
Dengan adanya laporan tersebut, lanjut dia, secara formil, Direksi BPJS Kesehatan telah melanggar Pasal 37 ayat 3 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011. “Dan protes yang disampaikan DJSN itu sudah benar. Ada tanda tanya besar kenapa Direksi tidak mengkonsultasikan ke DJSN padahal ini adalah perintah Undang Undang,” ujar Timboel.
Timboel melanjutkan, mengacu pada Pasal 37 ayat 5 seharusnya kedua laporan itu yakni laporan keuangan dan laporan pengelolaan program, harus juga dipublikasi melalui media massa elektronik.
“Yang saya dapat, baru melalui media massa cetak. Laporan via media massa elektronik hendaknya segera dilakukan,” ujarnya.
Dengan membaca laporan keuangan BPJS kesehatan tahun 2015 dan 2014, lanjut dia, untuk pos Piutang Iuran – Bersih terjadi kenaikan Piutang Iuran sebesar Rp 795,41 miliar (49.59 persen). Piutang iuran per 31 Desember 2015 mencapai Rp. 2.39 triliun. Piutang iuran yang besar ini, dikatakan Timboel, berdasarkan informasi dari internal BPJS Kesehatan, dikontribusi lebih banyak oleh Pemerintah Daerah (Pemda) dalam Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) dan PBPU (Peserta Bukan Penerima Upah).
“PPU (Peserta Penerima Upah) juga turut berkontribusi,” ujarnya.
Tingginya tingkat Piutang Iuran ini, lanjut Timboel, memberi bukti bahwa Direksi BPJS Kesehatan lemah dalam hal kolekting iuran dan penegakkan hukum. Belajar dari tahun 2014, dimana Piutang Iurannya sebesar Rp. 1,60 triliun, seharusnya Direksi BPJS Kesehatan bisa membuat sistem kolekting iuran yang lebih pro aktif dengan didukung oleh penegakkan hukum.
Untuk Piutang Iuran ke Pemda, lanjutnya, seharusnya Direksi BPJS Kesehatan bisa bekerjasama dengan Kemendagri dan Kementerian Keuangan, sehingga piutang iuran dari Pemda itu dapat segera diperoleh.
Demikian juga dengan PBPU, menurut Timboel, semestinya ada mekanisme pembayaran iuran yang bisa membuat PBPU pasti membayar, misalnya dengan menggandeng pembayaran iuran listrik atau telpon.
“Untuk PPU ya seharusnya WasRik (Pengawas Pemeriksa) BPJS Kesehatan pro aktif mengingatkan dan menagih ke badan usaha untuk segera bayar iuran pekerjanya. Menurut saya, WasRik BPJS Kesehatan sangat lemah. Saya pernah melaporkan sebuah badan usaha di Jakarta Utara yang tidak membayarkan iurannya, pihak WasRik BPJS kesehatan tidak mau melakukan penegakkan hukum agar pemberi kerja membayar iuran, padahal sanksi pidana sudah ada di Pasal 55 Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011,” papar dia.
Iuran adalah sumber utama penerimaan bagi BPJS Kesehatan. Oleh karenanya, kalau iuran ini tidak disiplin dibayarkan, maka BPJS Kesehatan akan terganggu cash flow-nya. Sebenarnya, lanjut Timboel, tingginya tingkat Piutang Iuran ini bisa dijadikan salah satu kriteria penilaian terhadap kinerja Direksi BPJS Kesehatan oleh Presiden.
Terkait dengan Pos Biaya Operasional BPJS Kesehatan di tahun 2015, tercantum angka Rp 2,5 miliar. Sementara di tahun 2014 beban biaya operasional sebesar Rp 2,47 triliun.
“Secara perbandingan, ini tidak mungkin, kok beban operasional hanya Rp 2,5 miliar? Setelah ditelusuri, ternyata beban operasional ini dialihkan ke Dana BPJS, bukan lagi di Dana Jaminan Sosial (DJS). Ini agak membingungkan memang,” paparnya.
Seharusnya, lanjut Timboel, beban operasional itu didapat dari iuran peserta, namun di 2015 lalu sepertinya beban operasional tersebut diambil dari PMN (Penyertaan Modal Negara) sebesar Rp 5 triliun yang disahkan oleh APBN P 2015.
Hal ini tampak pada pos modal BPJS naik Rp 5 trilun di 2015, yaitu menjadi sebesar Rp 14,65 triliun. “Jadi, beban operasional yang diambil dari iuran hanya Rp 2,5 miliar. PMN yang Rp 5 triliun digunakan untuk membiayai operasional BPJS, seperti untuk membayar upah direksi, dewas dan karyawan BPJS kesehatan,” ungkapnya.
Pada pos Beban Operasional BPJS di Aset BPJS tahun 2015 tampak nilai sebesar Rp 3,2 triliun. Terjadi kenaikan beban operasional sebesar Rp 700 miliar atau naik sebsar 28 persen. Seharusnya, lanjut Timboel, kenaikan 28 persen ini diikuti oleh peningkatan kualitas pelayanan dari BPJS Kesehatan.
“Selama 2014 dan 2015 sepertinya tidak terjadi peningkatan pelayanan yang signifikan. Kasus-kasus di 2014 kerap kali terjadi juga di 2015 dan hingga saat ini,” ujarnya.
Selanjutnya, jumlah SDM dari tahun 2014 ke 2015 terjadi penambahan personil 663 orang, sementara jumlah kantor cabang dan kantor layanan operasional kabupaten/kota tidak mengalami peningkatan, tetapi hanya terjadi peralihan saja.
“Menurut saya, seharusnya BPJS Kesehatan menambah jumlah kantor cabang operasional di kabupaten kota, dan SDM-nya agar bisa lebih mudah terjangkau oleh rakyat. Pelayanan pendaftaran bisa dilakukan dalam 7 hari sehingga tidak terjadi penumpukkan dalam proses pendaftaran,” kata dia.
Dengan jumlah personil di 2015 sebesar 6.265 orang, dan jumlah peserta sebesar 156.790.287 maka rasio-nya 1 : 2.527. Menurut Timboel, itu rasio yang cukup besar. Tentunya, kata dia, pelayanan tidak hanya pada proses pendaftaran saja, tetapi lebih penting lagi yaitu pelayanan cepat tanggap dari personil BPJS ketika ada masalah di faskes (fasilitas kesehatan), terutama di setiap rumah sakit.
“Selama ini, masih banyak terjadi masalah di sejumlah rumah sakit. Peserta BPJS masih sulit mendapatkan kamar perawatan, ICU, PICU, NICU, dan ruang isolasi. Belum lagi kasus pasien disuruh beli obat dan darah, disuruh bayar administrasi, dan seterusnya, yang juga sering terjadi di rumah sakit-rumah sakit,” ujarnya.
Karena itu, Timboel mengingatkan, BPJS Kesehatan hendaknya jangan puas diri dengan Indeks Kepuasan Peserta sebesar 78,9. “BPJS Kesehatan harus terus terus meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanannya. Semoga hal ini bisa dilakukan,” pungkasnya.(JR)