Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan Untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) menolak rencana Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) melakukan Amandemen UUD 1945.
Jurubicara Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan Untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) Jeirry Sumampow menyampaikan, apapun bentuknya, entah amandemen terbatas atau tidak, niat melakukan Amandemen UUD 1945 itu sarat dengan kepentingan terselubung.
Sehingga, Masyarakat Sipil dari GIAD menolak keras rencana Amandemen UUD 1945 itu.
“Wacana untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) menguat beberapa waktu terakhir. Lewat hasil Kongres V pada 2019, PDIP bahkan mendorong amendemen terbatas UUD 1945 untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan untuk menetapkan GBHN. Ketua MPR Bambang Soesatyo juga memberikan dukungan tegas bagi upaya amendemen terbatas, termasuk untuk mengubah beberapa pasal lain dalam UUD 1945,” tutur Jeirry Sumampow, Senin (27/01/2020).
Masyarakat Sipil yang tergabung dalam Gerakan Untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) itu terdiri dari Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPRR) Alawan Ola Riantoby, Indonesian Budget Center (IBC) Arif Nur Alam, Exposit Strategic Arif Susanto, Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas FITRA) Badi’ul Hadi, Komite Pemilih Indonesia (TePI Indonesia) Jeirry Sumampow, Komite Independen Pemantauan Pemilihan (KIPP) Kaka Suminta (KIPP), Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus, Lingkar Madani Indonesia (LIMA Indonesia) Ray Rangkuti, Democracy and Electoral Empowerment Partnership (DEEP) Yusfitriadi.
Atas rencana amandemen UUD 1945 itu, Gerakan Untuk Indonesia Adil dan Demokratis (GIAD) menyatakan sikap penolakannya.
“Agenda amendemen terbatas UUD 1945 patut ditolak karena berpotensi menjadi bola liar yang dapat dimanfaatkan oleh elite politik. Bukan hanya untuk menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dengan kewenangan untuk menyusun GBHN, tetapi juga untuk merusak tata negara hanya demi pemenuhan ambisi kekuasaan,” tutur Jeirry.
Kemudian, lanjutnya, upaya untuk mendudukkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara dapat mengacaukan konstruksi presidensialisme. Dan mengacaukan mekanisme checks and balances dalam relasi Presiden-DPR, yang coba diperkuat lewat amendemen terdahulu maupun praktik politik dalam dua dekade terakhir.
“Alih-alih memperkuat kedaulatan rakyat, mengembalikan kewenangan MPR untuk menyusun GBHN berpeluang mempersempit ruang partisipasi publik dan mendegradasi daulat rakyat. Padahal, kedaulatan rakyat itu yang perlu ditingkatkan kuantitas maupun kualitasnya, terutama dalam penyusunan rencana pembangunan,” jelasnya.
Jika kontrol terhadap capaian dan anggaran pembangunan ingin dijalankan secara efektif dan efisien, lanjutnya lagi, maka jalan pertamanya bukanlah penyusunan GBHN oleh MPR. Melainkan optimalisasi mekanisme perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan melibatkan bukan hanya elemen negara melainkan juga partisipasi meluas publik.
Tujuan untuk mewujudkan pembangunan berkesinambungan juga dapat dijalankan bukan melalui penyusunan GBHN oleh MPR, tetapi melalui penguatan koordinasi antar-lembaga serta melalui transfer kekuasaan antar-periode pemerintahan dengan memerhatikan Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang terintegrasi.
“Alasan penyusunan GBHN oleh MPR untuk mewujudkan pembangunan komprehensif juga sulit diterima,” katanya.
Sebab, saat ini tuntutan perencanaan pembangunan nasional berbasis UU No 25 Tahun 2004 cukup integratif dan komprehensif. Termasuk meliputi koordinasi antara unsur-unsur pemerintah dan rakyat, pemerintah pusat dan pemerintah daerah, serta antara pihak eksekutif dan legislatif.
“Dengan demikian, langkah perbaikan praktik ketatanegaraan, termasuk dengan memajukan budaya politik demokratis, menjadi jauh lebih mendesak dibandingkan mengembalikan kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara,” pungkasnya.(JR)