Masyarakat sipil mempertanyakan pertemuan Our Ocean Conference (OOC) ke-5 yang digelar di Bali. Selain tidak jelas peruntukan dan tujuannya, rencana melakukan komodifikasi laut dalam pertemuan itu mendapat penolakan dari masyarakat sipil.
Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) Susan Herawati mempertanyakan pertemun itu. “Keberlanjutan laut untuk siapa?” ujarnya, dalam siaran pers, Rabu (31/10/2018).
Dia menuturkan, pada tanggal 29-30 Oktober 2018, Indonesia menjadi tuan rumah perhelatan akbar sebuah event besar yang membahas isu mengenai laut. Di dalamnya dibahas sejumlah isu penting seperti konservasi laut, keamanan laut, pencemaran laut, dan lain sebagainya. Perhelatan akbar itu dinamakan Our Ocean Conference (OOC) ke-5 dan dilaksanakan di Pulau Dewata Bali.
“Pemilihan Bali untuk lokasi acara telah diperhitungkan dengan matang oleh panitia penyelenggara. Ini merupakan pilihan strategis karena Bali merupakan kawasan internasional dengan tingkat pengamanan dan keamanan yang lebih baik dibandingkan dengan Jakarta,” ujarnya.
Sekarang ini, dikatakan Susan, laut telah menjadi ruang baru bagi perebutan kekuasaan ekonomi dan politik. Sumber daya alam (SDA) yang berada di kawasan darat, diasumsikan telah mengalami eksploitasi yang sangat berlebih.
Dengan demikian, SDA di kawasan darat akan habis dalam beberapa waktu mendatang. Asumsi inilah yang mendorong banyak pihak “ramai-ramai” berpaling ke laut.
“Tujuannya, tentu ingin menguasai laut dan mengontrol SDA yang terkandung di dalamnya. Dengan demikian, laut telah menjadi orientasi baru kepentingan ekonomi dan politik,” terangnya.
Dia menerangkan lagi, proyek reklamasi yang tersebar di lebih dari 38 wilayah pesisir, proyek tambang laut yang tercatat di 21 kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil dengan jumlah 1.895 konsesi izin usaha pertambangan (IUP), dan ratusan sebaran proyek pariwisata pesisir serta pulau-pulau kecil baik skala besar maupun menengah, menguatkan pandangan bahwa laut kini tengah diperebutkan.
“Jika kita membaca isu yang akan dibahas dalam forum OOC ke-5 di Bali, kita tidak menemukan isu keadilan perikanan di dalamnya. Selain itu, masyarakat pesisir yang menjadi aktor utama isu perikanan tidak diberikan ruang di dalam forum ini,” jelasnya.
Bagi Susan, pertemuan ini hanya akan membahas isu seputar enam hal, yaitu perikanan berkelanjutan, konservasi laut, polusi laut, dampak perubahan iklim, keamanan maritim, dan ekonomi biru (blue economy), serta keterlibatan generasi muda dalam kegiatan pelestarian sumber daya kelautan dan perikanan.
“Masyarakat Indonesia patut mempertanyakan enam isu yang diangkat dalam forum ini, mengingat masyarakat pesisir tidak diberikan ruang dalam forum ini. Dengan demikian, forum OOC ke-5 ini merupakan forum yang akan memberikan legitimasi perampasan ruang laut secara terang-terangan,” ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, forum ini juga hanya digunakan oleh Pemerintah untuk memoles citra pembangunan laut Indonesia berkeadilan dan berkelanjutan. Fakta-fakta di lapangan membuktikan sebaliknya. Pembangunan laut di Indonesia penuh dengan persoalan serius dimana masyarakat pesisir dirampas ruang hidupnya.
Dia mencatat, ada 741.344 keluarga nelayan yang terdampak pembangunan reklamasi, dan 32.027 keluarga nelayan terdampak proyek pertambangan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tak berhenti di situ, sampai dengan tahun 2017, KIARA mencatat sebanyak 979 desa pesisir yang telah mengalami pencemaran air, 204 desa pesisir yang telah mengalami pencemaran tanah, dan 1257 desa yang telah mengalami pencemaran udara.
“Deretan fakta ini menunjukkan bahwa, pembangunan laut di Indonesia masih jauh dari konsep adil dan jauh dari berwawasan keberlanjutan lingkungan. Pada titik inilah kita patut mempertanyakan, keberlanjutan seperti apa yang dimaksud oleh pemerintah? Jika pun ada, keberlanjutan itu untuk siapa?” tuturnya.
Isu lain yang patut dicatat dalam forum OOC adalah konservasi laut yang ditujukan untuk mempercepat target 20 juta hektar pada tahun 2020.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada tahun 2018, luasan konservasi laut telah mencapai 19,14 juta hektar. Artinya, target 20 juta hektar kawasan konservasi laut akan tercapai pada tahun 2020 dengan bantuan internasional.
Menurut Susan, persoalan ini perlu mendapatkan catatan serius mengingat konsep konservasi laut yang selama ini diterapkan tidak bersifat bottom up berasal dari masyarakat pesisir, melainkan top down dipaksakan oleh negara.
“Dampaknya, masyarakat menjadi korban proyek yang bercorak ekofasis ini. Sudah saatnya, konservasi laut berangkat dari masyarakat pesisir dan praktek ini mendapatkan perlindungan dari negara,” ujarnya.
Persoalan dampak perubahan iklim pun perlu mendapatkan catatan serius mengingat masyarakat pesisir adalah kelompok rentan yang paling terdampak.
Dalam satu tahun, nelayan hanya bisa pergi melaut selama 180 hari. Artinya, mereka hanya bisa bekerja selama setengah tahun saja. Sisanya, mereka harus bekerja menjadi kuli-kuli di kota besar demi memenuhi kebutuhan hidup keluarganya.
Jika ada nelayan yang memaksa pergi kelaut pada saat cuaca buruk, maka dapat dipastikan mereka hilang atau meninggal di laut. Diskusi-diskusi mengenai dampak buruk perubahan iklim sengaja dijauhkan dari masyarakat pesisir dan berputar-putar di forum yang bersifat elitis.
“Padahal, merekalah yang harus mendapatkan informasi dengan baik mengenai persoalan ini,” lanjut Susan.
Susan menekankan, perlu dicatat bahwa kelestarian dan keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan tidak akan terjadi jika pemerintah masih menggunakan pola-pola lama, yaitu top down, tanpa memposisikan masyarakat pesisir sebagai aktor utama.
Tanpa hal ini, kelestarian dan keberlanjutan sumber daya perikanan dan kelautan adalah pepesan kosong yang bertujuan hanya mendapatkan dukungan pendanaan dari lembaga keuangan internasional.
Selain itu, political will pemerintah serta penegakan hukum harus dilakukan secara tegas untuk menindak pelaku pencemaran laut, yang dilakukan oleh pemain-pemain besar, seperti korporasi tambang mineral dan penambangan minyak di lepas laut, baik korporasi nasional maupun internasional.
“Tanpa ada penegakan hukum yang tegas, maka pencemaran laut tidak akan dapat diselesaikan,” ujarnya.
Dia pun meminta Pemerintah untuk memasukan prinsip-prinsip keadilan perikanan ke dalam forum OOC ke-5. Prinsip keadilan perikanan yang dimaksud adalah, pertama, negara harus mengedepankan prinsip-prinsip keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan tanpa hutang, dengan tetap memprioritaskan pada pemenuhan kebutuhan pangan nasional secara berdikari.
Kedua, negara wajib memberikan dan memastikan terpenuhinya hak-hak nelayan sebagai warga negara maupun hak-hak istimewa mereka sebagai nelayan tradisional, serta memberikan perlindungan maksimal atas wilayah perairan tradisionalnya.
Ketiga, negara harus memposisikan kegiatan perikanan sebagai sumber pangan, pengembangan budaya nasional, dan sumber ekonomi kerakyatan.
Keempat, negara harus memposisikan kegiatan perikanan secara utuh, dengan memasukan keterlibatan perempuan nelayan di dalam kegiatan perikanan sebagai subyek yang sangat penting.
Lebih dari itu, dia meminta pemerintah segera menempatkan masyarakat pesisir sebagai pelaku utama pengelolaan sumber daya perikanan dan kelautan dengan mengevaluasi seluruh proyek yang berpotensi menghilangkan hak konstitusional mereka.
“Dalam menerapkan ini, pemerintah wajib menegakan hukum tanpa pandang bulu bagi para pelaku kejahatan perikanan dan pencemaran laut,” pungkasnya.(JR)