Pemerintah harus menegakkan undang-undang No 11. Tahun 1974 tentang pengairan, yang menjelaskan bahwa sumber air di kuasai negara untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, bukan untuk dimiliki perseorangan atau kelompok.
Aktivis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Nusa Tenggara Timur (Walhi NTT) Petrus Ndamung Nganggu menyampaikan, upaya privatisasi sumber air kian menggila di daerah.
Dia mengingatkan agar pemerintah komitmen dan menegakkan Konstitusi dan Perundang-undangan yang menegaskan bahwa sumber daya air tidak boleh diprivatisasi.
“Pemerintah harus segera menindak pihak perusahaan yang berpotensi memprivatisasi sumber air. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan upaya pencegahan perusakan hutan,” ujar Petrus, dalam siaran persnya, Selasa (20/02/2018).
Dia mengatakan, pihak perusahaan sering tangan-tangan elit lokal untuk memuluskan akal bulus-njya untuk menguasai sumber air.
Seperti yang terjadi di Sumba Timur, NTT, perusahaan melakukan pendekatan kepada tokoh-tokoh masyarakat dan tokoh adat, hingga proses adat meminta restu pada “Marapu” telah dilakukan pada tanggal 15 Februari 2018.
“Kegiatan ini hanya melibatkan aktor-aktor sebelumnya yang sebenarnya sudah mendapat nilai merah dari masyarakat mayoritas. Masih kuatnya elit lokal dalam mendukung pada keputusan sepihak tanpa melibatkan mayoritas masyarakat. Terutama marga “Mbarapapa” selaku pemangku adat hutan dan sumber air tersebut,” ujar Petrus.
Lebih lanjut, lemahnya sumber daya manusia yang mampu memahami persoalan juga turut melanggengkan rencana para elit dan pengusaha untuk terus mengeruk sumber daya alam yang tersisa.
“Jika keadaan ini tetap dibiarkan berpotensi masyarakat dininabobokan oleh perusahaan dan pihak lainnya untuk kesekian kalinya. Sudah banyak contoh nyata pihak masyarakat dininabobokan oleh janji manis perusahaan,” ujarnya.
Dia menjelaskan, di Sumba Timur itu, misalnya, perusahaan bernama PT Muria Sumba Manis tidak pernah berkesudahan. Dari enam Kecamatan lokasi kegiatan PT Muria Sumba Manis yang hampir tidak terdengar permasalahannya adalah Kecamatan Pandawai dan Wulla Waijelu.
“Mungkin karena dua Kecamatan ini belum di eksekusi oleh perusahaan,” ujarnya.
Dijelaskjan Petrus, permasalahan yang dihadapi dari empat Kecamatan lokasi kegiatan Perusahaan yaitu Kecamatan Kahaungu Eti, Kecamatan Umalulu, Kecamatan Rindi, Kecamatan Pahunga Lodu hampir semunya sama yaitu, perampasan lahan, monopoli sumber air pertanian, perusakan hutan dan lain-lain.
Permasalahan perusakan hutan dan monopoli sumber air sangat terlihat jelas pada kasus Desa Palanggay, Desa Patawang dan Desa Wanga.
“Penyelesaian masalah tersebut pun tidak pernah selesai. Perusakan hutan di Desa Palanggay, Pemerintah hanya memberikan surat teguran kepada perusahaan tanpa ada tindakan lainnya,” ujarnya.
Sedangkan kasus perusakan hutan dan monopoli air di Desa Wanga, lanjut dia, Pemerintah dan Perusahaan memberikan bantuan saluran air dengan Pipanisasi, namun itu tak pernah menjadi solusi yang tepat mengingat Desa Wanga adalah daerah irigasi yang memiliki lahan sawah ratusan hektar.
Dampak buruk dari perusakan hutan dan monopoli sumber airdi Desa Wanga pun dirasakan masyarakat dengan merasakan banjir bandang pada 2017 silam.
“Kerugian yang diderita masyarakat Wanga pada saat itu berjumlah ratusan juta rupiah,” katanya.
Kini di tahun 2018, kata Petrus, perusahaan tersebut kembali berulah dengan membujuk rayu masyarakat Desa Patawang dan Wanga untuk memanfaatkan sumber air yang terletak di dalam hutan Mbula. Alasan pihak perusahaan yaitu mengangkat sumber air yang berada dalam hutan tersebut dengan menggunakan teknologi. Kemudian, air tersebut akan didistribusikan untuk kebutuhan masyarakat dan juga kebutuhan perusahaan.
Sebelumnnya, lanjut Petrus, pada tahun 2015 ketika sosialisasi awal dilakukan perusahaan menjanjikan kepada masyarakat Wanga bahwa mereka tidak akan menggunakan sumber air irigasi bagi masyarakat tetapi menggunakan sumber air laut dengan menggunakan teknologi Israel.
“Namun pada kenyataannya pihak perusahaan mengambil sumber air irigasi masyarakat, dan bahkan perusahaan melakukan pembendungan pada hulu air,” ujarnya.
Fakta berikutnya, lanjut Petrus, yaitu perusahaan melakukan pembalakan tegaka-tegakan pohon sepanjang sepadan sungai sumber irigasi rakyat yang berdampak pada menyusutnya debit air.
“Sedangkan janji mengubah air laut untuk kepentingan perusahaan tidak pernah dilakukan. Sumber air irigasi masyarakat masih menjadi penopang utama bagi perusahaan hingga saat ini,” ujarnya.
Niat perusahaan kembali melakukan lobi dengan masyarakat untuk mengambil sumber air dalam hutan mbula merupakan strategi baru untuk kembali meninabobokan masyarakat Wanga. Ini adalah bagian dari pengambilan dan penghancuran sumber-sumber kehidupan masyarakat setempat.
Rencana pengambilan sumber air di hutan mbula, kata dia,merupakan langkah pihak perusahaan untuk memprivtisasi sumber daya alam yang dimiliki masyarakat Wanga.
“Obsesi memenuhi kebutuhan sumber air perusahaan akan berdampak rusaknya system ekologi yang selama ini masih terjaga di kawasan hutan mbula,” ujar Petrus.
Mengingat sumber air yang direncanakan tersebut berada dalam hutan, maka proses pengambilannya akan berdampak pada terganggunya hutan mbula sebagai salah satu mata rantai ekologi yang tersisa di Sumba Timur.
Sebagai salah satu hutan mangrove berstatus hutan lindung, menurut dia, harusnya tidak bisa diganggu dengan alasan apa pun. Penggunaan teknologi dalam kawasan hutan akan berdampak pada terganggunya satwa-satwa yang hidup didalamnya.
“Selain itu tegakan-tegakan akan menjadi korban karena membutuhkan pembersihan,” ujar Petrus.
Menurut dia, sumber air ini merupakan satu-satunya yang belum tersentuh oleh siapa pun selama ini. “Ini merupakan sumber air terakhir masyarakat setempat yang seharusnya tetap dipertahankan untuk keberlanjutan. Namun jika pemerintah dan masyarakat setempat tetap memilih diam, maka harapan satu-satunya akan menjadi miliki perusahaan tebu,” ujarnya.
WALHI NTT, kata dia, juga mendesak pemerintah Kabupaten Sumba Timur segera menindak pihak perusahaan yang berpotensi memprivatisasi Sumber air, serta melakukan upaya pencegahan perusakan hutan Mbula sebagai paru-paru Sumba.
“Masyarakat Sumba Timur menyatakan penolakan terhadap segala upaya pengerukan Sumber Daya Alam yang dilakukan pihak perusahaan. Masyarakat Wanga-Patawang bersatu Menolak segala upaya pembodohan yang dilakukan pihak perusahaan,” katanya.
Perlu diingat, lanjut dia, Mbula merupakan sebagai paru-paru Sumba. Karena itu, Masyarakat Sumba Timur menyatakan penolakan terhadap segala upaya pengerukan Sumber Daya Alam yang dilakukan pihak perusahaan.
“Masyarakat Wanga-Patawang bersatu Menolak segala upaya pembodohan yang dilakukan pihak perusahaan,” pungkasnya.(JR)