Negara dianggap gagal untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi warga, dikarenakan masih marak dualism kepemilikan dan penguasaan tanah atau lahan di Tanah Air.
Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) Petrus Selestinus menyampaikan, jangankan di daerah-daerah yang sulit dijangkau dan sulit diawasi, di Pusat Pemerintahan dan Pusat Negara Indonesia yakni Ibukota Jakarta sendiri, kepastian hukum dan keadilan bagi warga yang tanah miliknya dirampas dan dikuasi oleh orang lain malah marak terjadi.
“Sejumlah dualisme kepemilikan tanah marak terjadi di Indonesia, di Jakarta apalagi, bejibun. Ini menjadi bukti nyata, bahwa Negara tidak mampu memberikan perlindungan bagi warganya, dan tidak mampu memberikan kepastian hukum bagi masyarakat,” papar Petrus Selestinus di Jakarta, (Selasa, 17/05/2016).
Menurut dia, dualisme kepemilikan itu tidak terlepas dari kinerja aparat pemerintah dan aparat hukum yang sewenang-wenang membuat sertifikat dan pengakuan kepemilikan tanah bagi orang-orang yang hanya modal klaim dan menggelontorkan uangnya untuk memperoleh legalitas itu, tanpa bersungguh mengetahui si pemilik sebenarnya.
Menurut Wakil Ketua Bidang Kerjasama Antar Lembaga Penegak Hukum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) LMPP ini, hal-hal itu terus menerus dipelihara dan dilakukan oleh aparatur pemerintahan dan aparatur hukum, sehingga menjadi ajang mencari uang bagi para aparat.
“Tentu saja terjadi konflik, dan konflik kepemilikan lahan itu dibiarkan terus terjadi. Siapa yang diuntungkan? Tentulah para oknum aparat pemerintahan dan aparat hukum itu yang diuntungkan. Ini sangat memalukan, dan bukti bahwa negara kita dipermain-mainkan oleh para mafia,” ujar Petrus.
Persoalan-persoalan dualisme kepemilikan lahan itu, lanjut mantan Anggota Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) ini, bukan isapan jempol semata.
Petrus menyebut contoh konkrit, yang terjadi di Jakarta, yakni di Kelurahan Meruya Selatan, Kecamatan Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Dualisme kepemilikan lahan seluas kurang lebih 50 hektar menjadi sengketa yang tidak diselesaikan oleh aparat hukum.
Untuk menuntut haknya, lanjut Petrus yang juga Koordinator Forum Advokat Pengawal Konstitusi (Faksi) ini, para warga yang merupakan pemilik sah lahan itu malah sudah mendatangi aparat penegak hukum agar persoalan mereka diselesaikan dengan adil.
Dijelaskan Petrus, pada Senin 16 Mei 2016, perwakilan warga Kelurahan Meruya Selatan, Kecamatan Kebun Jeruk, Jakarta Barat, pemilik lahan seluas kurang lebih 50 hektar tanah itu kembali mendatangi Pengadilan Negeri Jakarya Barat, guna meminta penjelasan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat.
“Warga meminta penjelasan terkait dengan beredarnya selebaran fotokopi Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Surat Pemberitahuan Pelaksanaan Eksekusi Pengosongan, yang dibagi-bagikan dengan cara melempar ke teras rumah warga Kelurahan Meruya Selatan, agar segera mengosongkan dan menyerahkan tanah milik warga kepada PT Portanigra. Ini apa? Kok Ketua Pengadilan berbuat begitu dan malah berpihak kepada pengusaha hitam?” papar Petrus.
Menurut pria yang menjadi salah seorang Penggerak Gerakan Anti Korupsi (GAK) ini, perusahaan telah memanfaatkan aparat penegak hukum seperti Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat itu demi memuluskan niat bulus menguasai dan merampas tanah warga Meruya.
Ditegaskan Petrus yang timnya diminta melakukan advokasi terhadap persoalan ini, kedatangan warga Meruya Selatan ke PN Jakarta Barat untuk meminta alasan-alasan apa yang sah yang dilakukan Ketua Pengadilan sehingga mengeluarkan surat perintah eksekusi dan menyerahkan tahan warga ke PT Portanigra.
“Sebab, dalam sengketa yang ada di pengadilan pun, telah sangat jelas bahwa tanah warga Meruya itu bukan masuk dalam wilayah PT Portanigra. Kok bisa-bisanya Ketua Pengadilan itu mengeluarkan perintah agar warga mengosongkan lahan dan gedung milik warga sendiri? Padahal tidak ada hubungan hukum, dan tidak terkait dengan objek sengketa. Ini harus diusut tuntas, ada permainan busuk yang dilakukan pengusaha hitam dengan ketua Pengadilan Negeri jakarta barat dalam urusan ini,” papar Petrus.
Jika mau mengusut, lanjut dia, pemerintah dan masyarakat bisa mengecek putusan-putusan perkara antara PT Portanigra dengan Haji Djuhri Bin Haji Geni dkk, dimana taka da urusannya dengan tanah warga Meruya yang hendak dieksekusi itu.
“Kok jadi melebar ke tanah milik warga Meruya? Ini kan akal-akalan, akal bulus dan tidak boleh dibiarkan. Oknum aparat dan pengusaha hitam ini harus diusut tuntas,” pungkasnya.
Atas kedatangan warga, lanjut Petrus, pihak Pengadilan Negeri Jakarta Barat tidak ada yang bersedia memberikan penjelasan. Bahkan, Ketua PN Jakarta Barat yang mengeluarkan surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat Nomor 10/2007 Eks. Junto Nomor 161/Pdt/G/1996/PN.JKT.BAR., tanggal 29 Februari 2016 dan Penetapan Nomor 11/2007 Eks. Junto Nomor 364/Pdt/G/1996/PN.JKT.BRT., tanggal 29 Februari 2016, yang hendak mengosongkan ribuan bangunan milik warga itu, tidak bersedia ditemui dengan alasan sedang mengikuti kursus di Lemhanas.
Terkait penyelesaian sengketa tanah dan atau lahan, dalam banyak kesempatan, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Ferry Mursyidan Baldan mengakui, bahwa konflik pertanahan tidak pernah berujung selesai. Sebab, dirinya sendiri dalam sehari bisa menandatangani 11-12 penyelesaian konflik pertanahan.
“Untuk itu, dalam menyelesaikan konflik pertanahan kita kedepankan aspek mediasi. Harus ada metode yang pas dalam menyelesaikan sebuah konflik pertanahan,” ujar Ferry usai rapat kerja dengan Komisi II di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, akhir Januari lalu (Kamis (21/1/2016).
Ferry menuturkan,saat menghadapi konflik pertanahan hendaknya tidak didiamkan terlalu lama. Karena menurut dia, jika konflik pertanahan itu didiamkan terlalu lama akan menambah persoalan baru.
“Yang penting masalah pertanahan jangan didiamkan terlalu lama. Karena itu akan mengundang orang yang tidak punya kepentingan,” ujarnya.
Ferry mengatakan, dalam menyelesaikan sengketa pertanahan dapat ditempuh dengan menetapkan hak komunal masyarakat adat, juga masyarakat yang bertempat tinggal lebih 10 tahun, baik di kawasan kehutanan maupun perkebunan yang tidak mempunyai ruang hidup di tempat tinggal lain.
“Lahan sengketa kalau tidak ada penegasan maka akan masuk orang yang tidak berkepentingan,” ujar Ferry.(JR-1)