Perubahan manajemen Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) dari badan hukum Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi Badan Publik harus diikuti dengan fokus pelayanan kepada peserta BPJS itu sendiri.
Selama ini, pelayanan BPJS sangat terkesan lebih melayani oleh pejabat dan karyawan BPJS itu sendiri.
Koordinator Nasional Forum Masyarakat Peduli BPJS (FMP BPJS) Hery Susanto menyampaikan, dengan perubahan badan hukum BPJS itu, maka manajemen BPJS itu harus berorientasi pelayanan peserta.
“Dengan perubahan badan hukum dari BUMN ke badan publik, manajemen BPJS baru memerlukan kultur pelayanan yang berbeda. Yang utama dilayani dan dipuaskan adalah peserta, bukan pejabat BUMN,” ujar Hery Susanto, di Jakarta, kemarin.
Dikatakan Hery, beberapa penyesuaian yang harus dilakukan antara lain, seperti mengubah kultur seorang pejabat itu menjadi kultur pelayan peserta. Maksudnya, lanjut Hery, seluruh pejabat dan karyawan BPJS harus menyadari karier dan keberlanjutan jaminan sosial tidak lagi tergantung dari back up pemerintah, tetapi karena bermanfaat buat peserta.
Hery menyampaikan, pertumbuhan peserta BPJS bukan akibat adanya sanksi hukum, tetapi adanya kesadaran peserta atas manfaat sebagai peserta. Untuk mencapai ini, diperlukan perbaikan manfaat yang diterima peserta setiap waktu, baik manfaat pertambahan santunan, pelayanan, maupun imbal hasil investasi.
“Dengan perbaikan secara terus-menerus akan manfaat ini, akan mengikat peserta untuk terus bertahan sebagai peserta. BPJS dapat melengkapi strategi ini dengan secara aktif mengkampanyekan manfaat jaminan sosial dengan konsep story telling, memaparkan cerita nyata peserta yang beruntung telah menjadi peserta jaminan sosial,” papar dia.
Hery pun menawarkan solusi ril untuk BPJS Kesehatan yang dirundung defisit anggaran yakni dengan mengurangi Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Kartu Indonesia Sehat (KIS). PBI/KIS harus tepat sasaran dan yang dinaikkan premi PBI/KIS.
“Bukan pekerja penerima upah (PPU)/pekerja bukan penerima upah (PBPU), peserta mandiri. Bukan malah menaikkan premi peserta non subsidi yang lebih besar kenaikannya dibanding PBI/KIS yang naik hanya sebesar Rp 4000 dengan jumlah 86,4 juta orang. Meski, jumlah warga miskin versi BPS 25,8 juta jiwa,” ujar Hery.
Jumlah peserta PBI/KIS sebanyak 86,4 juta jiwa membutuhkan dan menghabiskan anggaran hingga Rp 25 trilun dalam satu tahun. Belum lagi ditambah defisit lebih dari Rp 5 triliun per tahun akibat mismatch kelola BPJS Kesehatan.
Dikatakan Hery, pengalaman empirik dari 86,4 juta peserta PBI/KIS yang menggunakan klaim hanya 60 persen (berdasarkan data Dewan Jaminan Sosial Nasional atau DJSN per 2015).
“Ini berarti, selain ada ledakan PBI/KIS juga ada pemborosan anggaran negara dari 40 persen PBI/KIS yang tidak mempergunakan klaim,” ujar Hery.
BPJS Kesehatan, lanjut dia, menuding peserta mandiri sebagai penyebab defisit anggaran karena dianggap sering mangkir membayar premi. BPJS Kesehatan juga mengaku hanya mengandalkan peserta PBI/KIS hingga mencapai 86,4 juta jiwa atau sebanyak 48 persen dari total 180 juta jiwa peserta BPJS.
“Ini menandakan bahwa BPJS Kesehatan kurang adaptif, kurang inovatif dan terindikasi sebagai rezim subsidi. Tidak sesuai dengan era baru BPJS yang mesti adaptif, inovatif dan melayani masyarakat luas,” pungkas Hery.(JR-1)