Persidangan pidana secara virtual atau teleconference, atau pun yang dikenal dengan Sidang Online, digugat para advokat.
Soalnya, faktanya, dalam penyelenggaraan persidangan virtual, terutama dalam pembuktian perkara pidana, sangat bias dan rawan penyelewengan pembuktian.
Hal itu ditegaskan Koordinator Pergerakan Pengacara Indonesia (PPI) Sugeng Teguh Santoso, usai mengikuti persidangan dalam perkara yang dialami musisi JRX SID alias Jerinx di Bali.
Advokat Senior ini menegaskan, pada pelaksanaan sidang pidana online, kenyataannya menjauhkan penemuan keadilan materil.
“Ketentuan sidang online pidana yang diterapkan berdasarkan Kesepakatan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung itu dapat memunculkan potensi besar hilangnya tujuan penemuan keadilan materiil dalam perkara pidana,” tutur Sugeng Teguh Santoso, Sabtu (12/09/2020).
Mantan Sekjen Peradi ini menegaskan, sidang perkara pidana bukanlah rapat organisasi, dan bukan rapat koordinasi atau sejenis webinar.
Sidang Perkara Pidana dilakukan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Sidang ini adalah upaya penemuan kebenaran materiil atau kebenaran yang hakiki dari suatu peristiwa pidana.
“Dengan tujuan untuk membuat keputusan yang adil atas masalah pidana tersebut,” sebut Sugeng Teguh Santoso.
Dia menegaskan, proses pemeriksaan perkara pidana di pengadilan membutuhkan presisi atau kecermatan tinggi dalam memeriksa fakta-fakta yang kemudian akan ditinjau dengan penerapan hukumnya.
Kalau fakta-faktanya tidak bisa dicermati, maka keadilan yang presisi sulit ditemukan. “Malah akan terjadi obsctruction of justice, pengabaian pada keadilan,” tegasnya.
Sugeng Teguh Santoso menjelaskan, pada sidang online posisi Jaksa, Hakim dan Advokat bersama terdakwa ditempatkan secara terpisah. Jarak hanya dihubungkan dengan jaringan internet, yang kemudian divisualisasi dan diaudiokan melalui perangkat elektronik.
“Dan itu akan mengalami banyak hambatan. Yang menyebabkan masing-masing pihak yang terpisah tidak akan dapat cermat memeriksa dokumen-dokumen yang jadi alat bukti dan barang bukti. Bahkan keterangan saksi berpotensi tidak akan terdengar baik, bila jaringan bermasalah,” terangnya.
Tentu saja, lanjut Sugeng, kondisi ini juga akan membuat Panitera mengalami kesulitan mencatat. Advokat juga mengalami kesulitan mencatat dan mendokumentasikan.
“Ini sudah saya buktikan langsung di depan Hakim dan Jaksa pada sidang online pidana perkara JRX SID di Bali. Saya tidak mau menyebut persidangan itu digelar di Pengadilan Negeri Denpasar, karena faktanya, sidangnya bukan di Pengadilan Negeri Denpasar,” cetusnya.
Pada persidangan online itu, Sugeng Teguh Santoso telah memperlihatkan semua kelengkapannya sebagai Advokat melalui kamera komputer jingjing, namun Majelis Hakim tidak bisa melihatnya dengan jelas.
“Saya tunjukkan BAS (Berita Acara Sumpah), Kartu Tanda Pengenal Advokat (KTPA) di depan laptop, Majelis Hakim tidak dapat membaca dengan baik, apakah BAS, KTPA itu benar dan sesuai dengan yang disyaratkan?” tutur Sugeng.
Hal yang sama, pasti akan terjadi pada saat Jaksa mengajukan dokumen dan saksi-saksi.
Sayangnya, lanjut Sugeng, Majelis Hakim malah bertindak sebagai Penguasa yang tidak mau tahu dengan kondisi faktual itu.
“Tetapi sekali lagi kekuasaan menunjukkan watak otoriternya. Majelis Hakim yang menyatakan diri sebagai Pengadil tampaknya bertindak sebagai Penguasa. Pokoknya sidang online menurut Majelis Hakim sudah benar, karena ada dasarnya yaitu Surat Kesepakatan Bersama (SKB) anatar Mahkamah Agung (MA), Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Menteri Hukum dan HAM (Menkumham),” imbuhnya.
Padahal, menurut Sugeng, selain dasar berpikirnya bisa didebat, SKB tersebut juga bisa dipatahkan berdasarkan alasan kelogisan. “SKB itu juga bermasalah dari sudut pandang Struktur Sumber Hukum,” ujarnya.
Menurutnya, alasan berpikir SKB itu adalah untuk mencegah Hakim, Jaksa dan Pengunjung Sidang dari potensi terpapar Covid-19 untuk perkara terdakwa ditahan, malah semakin tidak dapat diterima akal sehat.
“Enggak logis, karena sidang pidana yang terdakwanya tidak ditahan diadakan langsung, dan pihak-pihak hadir di persidangan kok. Lalu apa bedanya? Kalau alasannya untuk mencegah penyebaran Covid-19, maka itu adalah tanggung jawab Negara untuk memastikan terdakwa yang ditahan tidak terkena Covid-19,” jelasnya lagi.
Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh Negara untuk memastikan terdakwa yang ditahan tidak terkena Covid-19, saran Sugeng, seperti melakukan rapid test atau bahkan swab test kepada terdakwa, serta bagi semua pihak, termasuk kepada Jaksa, Hakim dan Advokat, dengan biaya negara.
“Dalam kasusnya JRX SID, rapid test JRX SID non reaktif kok,” ujarnya.
Sedangkan dari sudut pandang Struktur Sumber Hukum, lanjut Sugeng, pelaksanaan sidang pidana online sebagaimana dibuat melalui SKB tadi, harus tidak mereduksi KUHAP, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
“SKB itu tidak setara dengan Undang-Undang. Undang-Undang saja memastikan dan mewajibkan persidangan pidana dilakukan di pengadilan dengan hadirnya terdakwa. SKB sebagai kesepakatan bersama tidak dapat mereduksi dan mengalahkan keberlakuan Undang-Undang dong,” jelasnya.
Anehnya, kata dia, lembaga peradilan yang biasa bekerja formalistik dalam produk putusannya, malah mengabaikan sudut pandang struktur sumber hukum ini.
“Kalau ini yang terjadi, hanya satu kesimpulan saya, yakni adanya arogansi kekuasaan yang merendahkan akal sehat hukum,” ujar Sugeng Teguh Santoso.
Dalam urusan sidang online perkara pidana ini, Sugeng Teguh Santoso melancarkan kritik keras kepada Pimpinan Mahkamah Agung (MA), yang dianggapnya hanya semau-maunya saja membuat dan meneken SKB tersebut bersama Menkumham dan Jaksa Agung. Yang nyata-nyata telah mereduksi KUHAP, dan menjauhkan upaya pencari keadilan yang menjadi tugas utamanya.
“Ingat, Mahkamah Agung adalah garda tertinggi hukum untuk memastikan keadilan dalam perkara-perkara hukum agar ditegakkan di Indonesia,” tandas Sugeng.
Sugeng Teguh Santoso mengingatkan, MA harus menjaga jarak dengan lembaga Eksekutif, agar tugas utama MA untuk memproduksi keadilan tidak terdistorsi oleh kepentingan-kepentingan.
Lagi pula, ditambahkan Sugeng, dalam Struktur Lembaga Negara, posisi MA itu adalah Lembaga Tinggi Negara yang setara dengan Presiden. Bukan setara dengan Jaksa Agung dan bukan setara dengan Menkumham yang adalah Pembantu Presiden.
“MA saat ini telah mendegradasikan dirinya sendiri. Dan ihktiar membuat keadilan hakiki yang menjadi tanggung jawabnya telah tergadai dengan SKB sidang online ini. Kami meminta, tegakkan prinsip-prinsip Negara Hukum Indonesia. Fiat justitia pereat mundus,” pungkas Sugeng Teguh Santoso.(JR)