Laporan Polisi Sebagai Beban Atau Prestasi, Kapolri Diminta Lakukan Penyidikan Berbasis Investigasi Ilmiah

Laporan Polisi Sebagai Beban Atau Prestasi, Kapolri Diminta Lakukan Penyidikan Berbasis Investigasi Ilmiah

- in DAERAH, HUKUM, NASIONAL, POLITIK
477
0
Ada Maling Proyek-Proyek Kepolisian, Kapolri Harus Segera Menangkap Komplotan Cukong Hitam Dengan Jaringan Mafia Proyek di Korps Bhayangkara.

Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Polisi Tito Karnavian diminta menerapkan penyidikan berbasis investigasi ilmiah atau scientific investigation di institusi Polri.

Forensic Independent Legal Auditor dan Pemerhati Masalah Hukum, Arnold JP Nainggolan menyampaikan, di dalam proses pemeriksaan dalam suatu tindak pidana (strafbaar feit), selain perlu memahami teknik penyidikan, Penyidik juga perlu memahami dasar-dasar hukum sehubungan dengan tindak pidana yang diproses.

Pemahaman hukum pidana terutama terkait dasar-dasar hukumnya dapat membuat suatu penyidikan menjadi terang dan baik serta berbasis hukum yang mumpuni.

“Namun dewasa ini, pemahaman terhadap ilmu hukum yang berkaitan dengan tindak pidana masih belum sepenuhnya dipahami oleh kalangan penyidik, sehingga mengakibatkan proses penyelarasan terhadap teori dan praktek cenderung berat sebelah, bahkan terkesan dipaksakan,” tutur Arnold JP Nainggolan, Minggu (17/02/2019).

Akibat dari ulah penyidik seperti itu, Akademisi pada Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (UKI) ini mengatakan, bermuara pada hasil penyidikan yang tidak optimal dan fakta yang telah ada berpotensi menjadi bias.

Sangat disayangkan, lanjut Arnold, dalam hasil ini adalah orang-orang yang menjadi bagian dari rangkaian peristiwa, baik dari sisi pelapor maupun sisi terlapor. Akibatnya, yang benar dapat menjadi salah dan yang salah dapat menjadi benar.

“Itu dikarenakan faktor ketidaksempurnaan dalam memilah dan membangun sebuah konstruksi hukum yang seimbang dengan pemahaman ilmu hukum yang mumpuni,” ujarnya.

Kemudian, hal lain yang perlu digarisbawahi adalah kemampuan seorang penyidik dalam menerapkan pasal yang dipersangkakan.

Banyak yang beranggapan penerapan pasal terhadap kasus tertentu hanya akibat dari perbuatan yang dilakukan serta akibat yang timbul di kemudian hari oleh si pelaku.

Padahal, menurut diaa, dalam suatu rangkaian peristiwa pidana, penyidik khususnya perlu memahami sebuah causa proxima guna mencari tahu kebenaran yang sifatnya materiil.

“Dikarenakan dalam proses melalukan anatomy of crime, tidak cukup seorang penyidik memahami rangkaian peristiwa secara sepotong atau partial saja, melainkan seluruh rangkaian kejadian harus diikutsertakan. Karena dalam setiap peristiwa pastilah memiliki hubungan yang berkaitan erat satu dengan yang lainnya,” tutur Arnold.

Berkenaan dengan penerapan pasal, lanjutnya lagi, masih banyak penyidik yang salah dalam menafsirkan.

Dalam suatu peristiwa pidana yang objeknya sama, seringkali dikaitkan dengan dua atau lebih pasal yang berbeda.

Seperti contoh Pasal 378 KUHP tentang penipuan (bedrog) dan Pasal 372 KUHP tentang penggelapan (verduistering), seringkali disandingkan secara bersama padahal objeknya sama namun peristiwanya yang berbeda.

Hal serupa lainnya yang berkaitan misalnya, dalam suatu kasus pemalsuan (valseheid), suatu proses penyidikan tindak pidana pemalsuan akan berhenti atau deadlock.

“Jika penyidik tidak berhasil menemukan asli dari surat yang dipalsukan, sedangkan bisa saja pelaku telah memusnahkan surat aslinya,” ujarnya.

Dia menerangkan, menurut pendapat pakar Prof Satochid Kartanegara, ada 3 (tiga) macam pemalsuan yaitu, teori Pemalsuan Formil (formeel valseheid theory), teori Pemalsuan Substansi (substantie valseheid theory), teori Pemalsuan Intelektual (intellectual valseheid theory).

Teori pertama sering menjadi acuan bagi penyidik dimana lebih menitikberatkan pada dokumen yang asli dan dokumen palsu. Sehingga seringkali ketika yang asli tidak dapat dihadirkan dihadapan penyidik, maka menyulitkan penyidik untuk mencari perbandingannya.

Lebih lanjut, dua teori lainnya yang belum terlalu dikenal adalah teori pemalsuan substansi dan intelektual. Untuk teori substansi, suatu surat yang asli akan disebut palsu jika isi/substansinya tidak sesuai dengan fakta yang sebenarnya, walaupun surat yang digunakan juga bisa palsu maupun surat asli.

Sedangkan teori intelektual, penggunaan suatu surat yang isinya tidak benar yang atas penggunaan tersebut memberikan keuntungan bagi suatu pihak secara terselubung.

“Dan biasanya peristiwa pidana seperti ini seolah-olah layaknya seperti aktivitas normal dan sangat sulit untuk diketahui siapa pelakunya,” ujar Arnold.

Arnold menilai, pemahaman Penyidik masih sangat kurang terkait filosofi hukum secara tepat. Filosofi hukum tidak memaksa Penyidik atau masyarakat yang peduli hukum untuk mempelajari hukum secara mendalam, namun terkait dengan asas kepatutan dan kepantasan dalam hukum.

Misalnya, jika ada peristiwa pidana yang sudah berlangsung selama berpuluh-puluh tahun yang lalu tidak dilaporkan, namun tiba-tiba dilaporkan dan diproses oleh Penyidik.

“Hal-hal tersebut dapat terjadi dengan berbagai alasan, dapat disengaja ataupun karena kurangnya pemahaman penyidik,” ujarnya.

Oleh karena itu, sangat penting pemahaman hukum yang mumpuni oleh para Penyidik, agar dapat mencegah terjadinya kesalahan dalam menerapkan hukum karena kurangnya pemahaman ilmu teori hukum.

Dengan melihat pelbagai permasalahan ini, lanjut Arnold, muncul ide dan gagasan diberikannya untuk pemahaman dasar-dasar hukum tersebut.

Menurut Arnold lagi, penegakan hukum oleh penyidikan dapat terlaksana secara berkeadilan dan memberikan rasa kepercayaan kepada masyarakat. “Dan tentunya selaras dengan asas hukum kita yang terutama yaitu pencapaian suatu kepastian dan keadilan hukum dan kemanfaatan hukum secara tepat dan merata,” ujarnya.

Perlu diingatkan, Polisi merupakan salah satu pilar yang penting, karena institusi tersebut mempunyai peranan dalam mewujudkan janji-janji hukum menjadi kenyataan.

Polisi juga dapat memaksakan berlakunya hukum, manakala hukum dilanggar, terutama oleh pelaku kejahatan, diperlukan peran polisi untuk memulihkan keadaan atau restitutio in intreguman, sehingga pelaku kejahatan dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Polisi sebagai penegak hukum yang merupakan garda terdepan dari proses penegakan hukum, selain harus bersifat jujur, bersih, dan berani bertindak penuh tanggung jawab, juga harus menguasai pengetahuan hukum terutama hukum pidana sehingga dapat menjalankan peran dan tugasnya.

“Semoga Kapolri dan institusi Polri kita bisa menyerap dan melakukan masukan ini,” tutupnya.(JR)

 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Hakim ‘Gemes’ di Sidang Bongkar Kejahatan Biksu Perempuan dan Keluarganya pada PN Jakarta Utara

Persidangan kasus pidana dengan Nomor Perkara 246/Pid.B/2024, di