Koalisi Publish What You Pay (PWYP) Indonesia mengapresiasi diterbitkannya Laporan Extractive Industries Transparency Initiative (EITI) Tahun Fiskal 2014, sekaligus Peta Jalan (Roadmap) Transparansi pengendali (pemilik sesungguhnya) perusahaan (Beneficial Ownership- BO) serta Portal Keterbukaan Industi Ekstraktif di Indonesia oleh Kemenko Perekonomian. Hal tersebut merupakan bentuk komitmen pemerintah Indonesia dan atas partisipasi multi-pemangku kepentingan baik dari kalangan industri dan masyarakat sipil untuk mendorong keterbukaan informasi dan transparansi sektor industri ekstraktif yang akuntabel di Indonesia.
Koordinator PWYP Indonesia, Maryati Abdullah mengatakan, sesuai standar EITI, seluruh negara anggota EITI wajib membuka dan mempublikasikan nilai pembayaran-pembayaran, baik itu pajak, non-pajak maupun dividen, yang direkonsiliasi secara independen.
EITI mewajibkan pembukaan data dan informasi dari pihak pemerintah maupun pelaku industri, baik multi-national company (MNC) maupun BUMN dimana industri tersebut beroperasi. Di Indonesia, sektor industri ekstraktif yang diwajibkan oleh EITI meliputi sektor migas, mineral seperti nikel, tembaga, emas, timah, dan bauksit, serta sektor batubara.
“Terbitnya Laporan EITI sekaligus membuktikan komitmen Indonesia dalam mendorong transparansi dan akuntabilitas tata kelola sektor industri ekstraktif,” katanya dalam siaran persnya. Maryati menerangkan, standar EITI terbaru juga mewajibkan pembukaan data per 1 Januari 2020.
Sebelum menuju ke sana, per 1 Januari 2017 negara-negara anggota EITI diwajibkan untuk membuat Peta Jalan Transparansi Beneficial Ownership yang terdiri atas beberapa langkah-langkah kebijakan dan penyiapan menuju keterbukaan Beneficial Ownership di sektor industri ekstraktif.
“Nantinya, keterbukaan tersebut akan meliputi nama, kebangsaan, dan negara asal dari pemilik manfaat/pengendali sesungguhnya dari perusahaan-perusahaan di industri tambang dan migas,” terang Maryati.
PWYP Indonesia mengingatkan agar pelaksanaan roadmap transparansi Beneficial Ownership harus sejalan dengan semangat reformasi perbaikan tata kelola di sektor ekstraktif.
“Roadmap ini tidak boleh hanya sekedar menambah tumpukan dokumen tanpa ada langkah-langkah nyata. Pemerintah harus benar-benar berkomitmen untuk melaksanakan seluruh tahapan menuju Transparansi Beneficial Ownership,” ujarnya.
Ketiadaan informasi Beneficial Ownership dapat menyebabkan hilangnya potensi ekonomi dan pendapatan negara, terutama akibat penghindaran pajak (tax avoidance). Studi PWYP Indonesia pada 2016 mengungkapkan penyebab utama terjadinya tax avoidance yaitu data wajib pajak orang pribadi/perusahaan yang lemah atau tidak valid dan kurang update. Praktik penghindaran
pajak berganda (Double Tax Avoidance, DTA) juga terjadi karena dipicu informasi tidak valid.
Manajer Advokasi PWYP Indonesia, Aryanto Nugroho, yang juga menjadi perwakilan masyarakat sipil di Tim Pelaksana EITI berharap bahwa hasil temuan dan rekomendasi EITI dapat ditindaklanjuti oleh berbagai instansi dan pihak terkait demi
perbaikan tata kelola Industri ekstraktif yang lebih luas.
“Termasuk masih adanya ketidak-patuhan perusahaan yang sulit diidentifikasi, hal tersebut merupakan efek dari proses pemberian ijin pertambangan yang tidak sesuai persyaratan dan serta tidak akuntabel,” katanya.
Dia menyebutkan, pengungkapan informasi Beneficial Ownership memudahkan aparat penegak hukum untuk pencarian identitas dalam membongkar kasus pidana, memudahkan pencarian dan pembuktian tindak pidana pencucian uang (TPPU), serta memaksimalkan pemulihan aset (asset recovery) dari pelaku tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
“Keterbukaan Beneficial Ownership juga memudahkan pemerintah untuk melakukan penagihan piutang Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) atas perusahaan-perusahaan migas dan tambang yang belum memenuhi kewajibannya,” sebut Aryanto. Di sektor minerba misalnya, terhambatnya penyelesaian piutang PNBP dari ribuan pelaku usaha IUP sekitar Rp3,949 triliun, salah satunya disebabkan ketidakjelasan alamat pemegang IUP ataupun pemilik IUP.
Sebelumnya, Sekretaris Kemenko Perekonomian, Lukita Dinarsyah, mengatakan sejalan dengan pelaksanaan EITI,
Indonesia telah meratifikasi konvensi PBB tentang Anti Korupsi – UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) melalui UU No.7/2016.
“Sebagai tindak lanjutnya disusun Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK) yang ditetapkan dengan Perpres 55/2012, dimana penjabaran Stranas tersebut melalui Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (PPK), dimana penerbitan laporan sesuai standar EITI merupakan salah satu Aksi PPK yang dilaksanakan oleh Kemenko Perekonomian RI,” katanya.(JR)