Lanjutan Sidang Kasus Penipuan dan Penggelapan Perusahaan Tambang Batubara, Dua Saksi Dihadirkan, Bos Perusahaan Pernah Kabur ke Singapura dan Belanda

Lanjutan Sidang Kasus Penipuan dan Penggelapan Perusahaan Tambang Batubara, Dua Saksi Dihadirkan, Bos Perusahaan Pernah Kabur ke Singapura dan Belanda

- in DAERAH, EKBIS, HUKUM, NASIONAL
934
0
Lanjutan Sidang Kasus Penipuan dan Penggelapan Perusahaan Tambang Batubara, Dua Saksi Dihadirkan, Bos Perusahaan Pernah Kabur ke Singapura dan Belanda.Lanjutan Sidang Kasus Penipuan dan Penggelapan Perusahaan Tambang Batubara, Dua Saksi Dihadirkan, Bos Perusahaan Pernah Kabur ke Singapura dan Belanda.

Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan kembali menggelar sidang lanjutan kasus dugaan penipuan dan penggelapan yang dilakukan oleh PT Dian Bara Genoyang (PT DBG).

Pada persidangan yang digelar Selasa (28/7/2020) ini, dihadirkan saksi dari kedua belah pihak yakni PT DGB dan juga saksi dari pihak korban, PT Graha Prima Energy (PT GPE).

Direktur Operasional PT DGB, Wali Sabana yang hadir menjadi saksi dari pihak PT DBG mengungkapkan, dalam pembayaran tagihan kepada invoice kepada PT GPE harus melakukan survei terlebih dahulu.

“Untuk membayar ke PT GPE itu harus ada berita acara survei terlebih dahulu,” ujar Wali dalam kesaksiannya.

Dia mengatakan, kedua belah pihak sudah pernah bertemu dan membahas masalah tagihan yang dilakukan oleh PT GPE, di Hotel Kempinski pada Juli tahun 2011.

Dalam pertemuan tersebut, kedua belah pihak sama-sama mengakui ada pekerjaan dan hasil dari pekerjaan yang sudah diterima dan sudah dijual ke singapura oleh PT DGB.

“Dalam melakukan pekerjaan tersebut, kedua belah pihak sudah sama-sama mengakui adanya pekerjaan tersebut,” ujarnya.

Selanjutnya, Wali mengungkapkan, pertemuan rutin dilakukan kedua belah pihak antara PT DBG dan PT GPE. Direktur PT GPE, Herman Tandrin juga menyampaikan ketidaksesuaian target pekerjaan yang dilakukan oleh perusahaan tersebut.

“Pertemuan di Hotel Kempinski itu rutin dan sudah biasa, Pak Robianto memanggil Pak Herman. Dalam pertemuan itu, saya mengatakan ke Pak Herman, bahwa pekerjaannya tidak sesuai target,” ungkapnya.

Ia mengakui tidak tercapainya target tersebut terjadi akibat minimnya peralatan kerja. Wali mengungkapkan, PT DBG belum membayarkan invoice kepada PT GPE karena ingin menyamakan data.

“Kami bukan tidak mau bayar, tapi kami mau menyamakan data terlebih dahulu sebelum membayarnya. Karena siapa yang belum bayar atau kurang bayar, karena kami inginkan rekonsiliasi,” ujarnya.

Wali mengatakan, dalam perjanjian kontrak kerjasama yang dilakukan oleh kedua belah pihak, ada pinalti yang diberikan kepada pihak PT GPE sebesar 5 persen jika tidak mencapai target.

Dalam kesempatan tersebut, mantan Direktur Utama PT DBG, Iman Setiabudi mengaku pernah hadir dalam pertemuan rutin yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang berlangsung di Hotel Swissbell Tarakan, Hotel Kempinski dan di salah satu Restoran.

Iman mengungkapkan, dalam pertemuan itu, Herman tetap minta bayarannya karena merasa sudah bekerja  sampai Desember 2012.

“Saya hadir di Hotel Kempinski karena diajak Pak Robi ketemu Pak Herman. Dalam pertemuan di Kempinski itu, Herman merasa sudah bekerja dari sebelum sebelumnya, namun belum dibayar juga,” ungkap Iman.

Dalam kesempatan tersebut, Direktur Utama PT GPE, Herman Tandri turut dihadirkan sebagai saksi dalam sidang tersebut.

Herman mengungkapkan, pihak invoice yang diajukan oleh perusahaan tersebut sudah ditandatangani oleh pihak PT DGB dan sudah jatuh tempo.

“Invoice sudah ditandatangani kedua belah pihak, dan sudah jatuh tempo, namun tidak dibayarkan juga, sesuai pasal 4 Kontrak Perjanjian,” ujarnya.

Sementara itu, saksi korban, Herman Tandrin menjelaskan apa saja kesalahan Robianto Idup selaku owner dan Komisaris PT DBG. Menurutnya, pihaknya mengajukan tagihan invoice dan sudah ditandatangani kedua belah pihak yakni PT DBG dan PT GPE.

“Invoice sudah ditandatangani kedua belah pihak, dan sudah jatuh tempo, namun tidak dibayarkan juga, sesuai pasal 4 Kontrak Perjanjian,” ujar Herman seraya mengatakan selain itu ada juga perintah untuk melanjutkan pekerjaan, tapi income susulan tidak ditandatangani dan tidak dibayar juga.

Selain itu, lanjut Herman, Robianto juga telah memberikan janji untuk membayar tagihan invoice PT GPE pada saat meeting di Hotel Kempinski dan Sun City. Namun Robianto selaku Komisaris bersama para Direksi PT DBG menyetop secara sepihak pekerjaan di lapangan, tanpa ada penyelesaian pembayaran dari invoice tersebut.

Rubianto juga sempat kabur ke Singapura dan juga ke Belanda untuk menghindari tagihan invoice dari pihak PT GPE.

“Robianto Idup punya niat buruk karena tidak mau bayar invoice. Hal itu terjadi karena dia kabur ke Singapura dan Belanda,” ungkapnya.

Akibat kejadian ini, Herman mengungkapkan, pada 2012 perusahaannya mengalami kerugian mencapai Rp 22 miliar. Tidak hanya itu, invoice dari bulan Juni 2012 sampai saat ini belum juga dibayarkan oleh PT DGB.

“Peristiwanya dikarenakan pihak Kontraktor GPE sudah Kerja, tapi hasil kerjanya tidak dibayar sampai dengan Juni 2012 itu senilai Rp 22 M,” bebernya.

Menurut Herman, kalau pihak PT DBG merasa punya hak untuk ajukan klaim ke GPE, jelas sudah saluran hukumnya bisa di proses melalui Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI).

Namun syaratnya, harus bayar deposit biaya Arbitrase di muka. Kedua, punya dasar Bukti yang valid dan jelas. Serta yang ketiga, bayar jasa lawyer untuk perkara arbitrase.

“Tapi hal tersebut tidak pernah dilakukan PT DBG. Berarti cuma alasan saja karena tidak mau bayar upah Kontraktor yang sudah kerja dengan mengambil hasil tambang batubara,” imbuhnya.

Sedangkan peristiwa longsor di lokasi IUP tambang itu adalah kesalahan pihak PT DBG. Sebab selaku kontraktor PT GPE hanya melaksanakan pekerjaan berdasarkan arahan perintah, bukan sebaliknya.

“Jadi kesalahan PT DBG adalah tidak membuat Kajian geotech berdasarkan saran dari Inspektur tambang di Dinas Pertambangan Bulungan. PT DBG menyalahkan peristiwa longsor tersebut kepada kami sebagai kontaktor. Padahal kami hanya melaksanakan kerja berdasarkan perintah PT DBG,” jelasnya.

Akibat peristiwa longsor itu PT DBG merasa rugi karena batubara tidak bisa diangkut. Tapi sebab akibat longsor tersebut, kata Herman, wajib diuji dulu oleh BANI, siapa yang salah dan siapa yang bertanggungjawab.

“Tidak bisa PT DBG langsung klaim sejumlah angka kerugian yang tidak jelas sumbernya dr mana. Kalau tagihan invoice PT GPE itu sudah sangat jelas, karena berdasarkan pekerjaan yang telah dilaksanakan sesuai perintah PT DBG,” pungkasnya.(Nando)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kisruh Dugaan Kecurangan Pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar

Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset