Aktivis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, Pradarma Rupang mengkritisi kunjungan Presiden Joko Widodo ke wilayah itu.
Di tengah abainya pemerintahan terhadap penegakan hukum atas kejahatan berbagai perusahaan tambang di Kalimantan, kunjungan-kunjungan Presiden dianggap tidak mampu menyelesaikan persoalan hukum yang bahkan sudah merenggut nyawa manusia hingga puluhan orang.
Berikut Surat Aktivis Jatam Pradana Rupang kepada Presiden Joko Widodo, yang diterima redaksi, Sabtu (27/10/2018).
Selamat datang di Daerah Kubangan Maut, Tuan Presiden!
Tuan Presiden yang baik,
Kami merasa perlu bersyukur, juga berterima kasih atas kunjungan Anda ke sini. Kami ingat, ini adalah kunjungan ke tiga kalinya, setelah sebelumnya pada 2015-2016 Anda ke sini.
Sebagai warga negara, yang sudah empat tahun dipimpin Anda, dan mungkin akan berlanjut jika Anda menang dalam Pemilihan Presiden 2019, kami merasa berhak untuk mengingatkan kembali, soal keluh dan kesah, duka dan lara kami sebagai warga negara, yang saban hari terus berjibaku dengan arogansi korporasi tambang.
Kami sungguh menyadari intensitas kesibukan Anda yang tiada tandingannya, tapi, boleh toh sesekali kami bercurhat? Tenang saja, Tuan Presiden. Kami tidak minta Sepeda, apalagi Sertifikat Tanah.
Tuan Presiden,
Empat tahun sudah Anda mempimpin negeri ini, selama empat tahun itu juga, kami di Kaltim menanti keberpihakan Anda. Keberpihakan yang tidak sebatas kunjungan fisik, lalu meresmikan pembangunan infrastruktur A dan infrastruktur B.
Keberpihakan yang kami nantikan adalah soal masa depan kami, masa depan anak cucu kami, masa depan ruang hidup kami; singkatnya masa depan rakyat yang sedang Anda pimpin ini.
Tuan Presiden,
Awal mula negara ini terbentuk, kami di Kalimantan Timur sebenarnya hidup dalam kondisi yang baik-baik saja. Kami punya tanah dan laut untuk mencari rezeki, kami punya hutan, air, dan udara yang menjanjikan masa depan kami gemilang.
Tapi, Tuan Presiden. Semua itu sirna seketika di saat orang-orang yang kami percayakan bekerja untuk menyejahterakan kami, memilih jalan instan; mengeruk dan menjual habis kekayaan alam kami. Dan semua itu dilakukan untuk dan atasnama pembangunan.
Siapa yang tidak mengenal Kalimantan Timur yang kaya sumber daya alam itu? Selama kurang lebih 20 tahun yakni tahun 1970 hingga 1990 sektor kehutanan menjadi tulang punggung ekonomi kami, bahkan laju pertumbuhan ekonomi Kalimantan Timur saat itu mampu mencapai 7,42% per tahun.
Pergeseran basis sektor ekonomi terjadi pada era 90-an dimana sektor pertambangan mulai menjadi basis ekonomi wilayah yang menggantikan sektor kehutanan.
Sektor pertambangan, migas, dan industri pengilangan minyak bumi dan gas alam cair mulai mengambil alih dominasi ekonomi wilayah kami. Tingkat pertumbuhan ekonomi relatif lebih rendah yakni maksimal sebesar 5,71% per tahun.
Hingga akhir 2015, pertumbuhan ekonomi kami mengalami kontraksi yang cukup dalam yakni minus 0,85% lebih rendah dari tahun sebelumnya. Setelah sebelumnya, pada 2014, pertumbuhan perekonomian kami dapat mencapai sebesar 2,02%.
Tuan Presiden,
Data-data di atas hanyalah statistika yang, bisa dirubah-rubah seturut keinginan. Tak perlu gusar, apalagi risau jika itu ada hubungannya dan berpengaruh dengan ambisi pertumbuhan ekonomi nasional, seperti yang sedang Anda kejar saat ini.
Kami di Kalimantan Timur hanya ingin mengingatkan bahwa, saat ini kami mengalamai kekurangan pangan. Lahan-lahan pertanian dan perkebunan kami telah dirampas ratusan, bahkan ribuan perusahaan tambang. Kami, saat ini, kelaparan, menunggu pasokan pangan dari pulau Jawa dan Sulawesi. Dan itu bukan gratis.
Sebagian besar petani kami yang dulunya tangguh, terpaksa memilih menjadi buruh tambang, sebagiannya lagi mengadu nasib ke kota atau keluar negeri, berharap nasib menjadi lebih baik.
Air dan udara telah tercemar, kami terpaksa mengonsumsi air dari lubang-lubang beracun batubara. Hutan-hutan kami telah dibabat habis, hulu-hulu sungai juga dieksploitasi, akibatnya banjir terus melanda, meski hujan datangnya semenit.
Tidak hanya berhenti sampai di situ. Anak-anak kami juga meregang nyawa di kubangan maut batubara. Sejak 2011 hingga surat ini dibuat, sudah 30 anak-anak yang mati sia-sia di lubang-lubang tambang. Tak ada penegakkan hukum, apalagi untuk merehabilitasi lubang-lubang beracun tersebut. Entah berapa nyawa lagi yang akan mengalami nasib serupa, mengingat masih ada 1.735 lubang-lubang beracun yang tidak direklamasi.
Tuan Presiden,
Kami mungkin terlalu lancang, melangkahi keberadaan pemerintah kami di Kalimantan Timur. Sehingga harus mengadu kepada Anda, sebagai seorang Presiden Republik Indonesia.
Tapi, kami punya alasan mendasar, berangkat dari pengalaman bahwa, terlalu besar masalah yang kami adu untuk bisa dibereskan pemerintah daerah kami.
Mereka tampak tidak sanggup, bukan saja karena sebagian elit lokal kami menjadi bagian dai persoalan di atas: menjadi mafia tambang, menerbitkan izin, mendapat remah-remah keuntungan untuk diri, keluarga, partai politik, dan kroni-kroni lainnya melalui praktik ijon politik, tapi juga karena mereka berhadapan dengan elit-elit Jakarta yang mencari peruntungan di sini, sebagiannya ada di lingkaran Anda.
Lebih dari itu mereka juga tidak punya imajinasi, soal masa depan Kalimantan Timur yang mayoritas masyarakatnya akan bergantung pada lahan-lahan yang sedang dibabat korporasi tambang.
Tuan Presiden,
Di bagian akhir dari curhatan – yang mungkin tidak bermutu ini – kami mohon maaf jika telah mengganggu kenyamanan Anda dalam lawatan ke daerah kami. Kami tidak sedang berprasangka buruk, tapi masih berharap sebab Anda adalah seorang Presiden dengan segudang kekuasaan, juga petugas partai wong cilik yang, mestinya dengan mudah bisa menyelesaikan persoalan kami yang demikian pelik itu.
Selamat datang, Tuan Presiden. Selamat datang di Daerah Kubangan Maut Batubara, Penuh Banjir!
Samarinda, 25 Oktober 2018
Pradarma Rupang
Aktivis JATAM Kaltim