Korupsi E-KTP Ancaman Demokrasi di Indonesia, Harus Diusut Tuntas

Korupsi E-KTP Ancaman Demokrasi di Indonesia, Harus Diusut Tuntas

- in HUKUM, NASIONAL
666
0
Korupsi E-KTP Ancaman Demokrasi di Indonesia, Harus Diusut Tuntas.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) didesak mengusut tuntas kasus korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk Elektronik (E-KTP) yang diduga melibatkan sejumlah petinggi partai politik dan anggota DPR RI.

Sekretaris Jenderal Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) Dika Moehammad mengatakan, jika pengusutan kasus mega korupsi E-KTP itu tidak tuntas, maka Indonesia akan mengalami ancaman demokrasi yang kian tajam.

“Jika tidak ingin kena musibah yang kian parah lagi di Indonesia, terutama adanya ancaman terhadap demokrasi kita, maka KPK harus mengusut tuntas kasus korupsi E-KTP ini sampai ke akar-akarnya. KPK harus menangkap semua koruptor KTP-Elektronik, termasuk elit dan kader partai politik manapun yang terlibat,” tutur Dika, di Jakarta, Sabtu (16/09/2017).

Secara khusus, lanjut dia, SPRI mendesak agar Ketua DPR yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar Setya Novanto diberhentikan. Sebab, menurut Dika, seharusnya Setya Novanto-lah orang yang menjadi garda paling depan dalam memperjuangkan pemerataan sosial dan ekonomi, bukan memanfaatkan posisinya untuk keuntungan pribadi dan mempertebal dompetnya sendiri.

“Kami juga mendesak agar mengembalikan uang yang dikorupsi kepada negara, termasuk memiskinkan koruptor, yang kemudian didistribusikan untuk membuat program-program untuk rakyat miskin,” katanya.

SPRI juga mengajak semua institusi untuk membuat rekomendasi kepada Presiden dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar melarang partai politik yang terlibat kasus korupsi KTP-elektronik tidak turut serta dalam pemilu selanjutnya.

Dika menjelaskan, posisi pengusutan kasus korupsi E-KTP itu kian jauh menguliti keterlibatan para pemain lainnya.

“Sejumlah nama baru ditetapkan sebagai tersangka. Yang paling terakhir adalah Anggota Komisi II DPR Fraksi Golkar bernama Markus Nari. Dia juga dicekal oleh imigrasi berdasarkan permintaan dari KPK,” ujarnya.

Namun begitu, menurut Dika, nampaknya kasus ini masih membutuhkan waktu yang sangat lama untuk selesai. Sejumlah nama besar yang awalnya diduga terlibat, malah tak juga terjerat, termasuk ketua DPR RI Setya Novanto.

“Padahal, dalam persidangan, salah satu terdakwa mengatakan kalau politisi Golkar itu adalah tokoh kunci dari proyek ini,” ujarnya.

SPRI menilai kasus megakorupsi KTP-Elektronik tak hanya sebatas pelanggaran hajat hidup orang banyak. “Lebih dari itu, ia adalah ancaman demokrasi kita yang sesungguhnya. Sebagaimana yang diumumkan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), korupsi ini juga merenggut hak konstitusional masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya dalam pemilu,” katanya.

Dia mengingatkan, KTP-Elektronik adalah salah satu syarat agar seorang warga negara memperoleh haknya dalam pemilu, baik dalam tingkatan lokal atau nasional. Beragam syarat bagi warga negara yang ingin mengikuti pemilu namun tidak memiliki KTPelektronik sangat memberatkan.

Mereka harus terlebih dulu meminta keterangan dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil. Padahal, kata Dika, perlu waktu yang tidak sebentar untuk mengurus itu semua. Sementara dalam teori atau konsep pemilu pemilu sendiri, kalau ada satu saja hak suara tidak terpenuhi karena administrasi kependudukan yang bermasalah, maka itu adalah suatu kejahatan yang luar biasa.

“Dengan begitu, kasus KTP-elektronik ini sesungguhnya menciderai dua level hak dasar warga negara. Pertama, ia menghilangkan atau mengurangi hak rakyat memperoleh fasilitas negara karena uangnya masuk ke kantong pribadi; dan kedua, ia sekaligus menghilangkan hak sipil politik warga dalam memilih,” katanya.

Oleh karena itulah, lanjut Dika, korupsi KTP-elektronik kalau seperti ini tidak berlebihan kalau dibilang sebagai ancaman sesungguhnya demokrasi Indonesia. Apalagi, faktanya partai politik yang seharusnya jadi wadah artikulasi kepentingan rakyat dalam demokrasi justru berperan besar dalam kasus ini.

“Sebagian dari mereka yang terindikasi melakukan penyelewengan tidak bisa ada di posisi saat ini tanpa kendaraan partai. Orang-orang yang berada di DPR hanya bisa duduk nyaman di sana karena partainya dipilih oleh rakyat,” ujarnya.

Menurut Dika, sangat pantas jika partai-partai yang kadernya terbukti melakukan korupsi, baik korupsi KTP-elektronik atau kasus-kasus lainnya, agar mendapat hukuman berupa tidak boleh ikut pemilu berikutnya.

“Menurut kami, pengadilan rakyat seperti ini adalah seadil-adilnya hukuman.  Juga, Setya Novanto harus mundur dari jabatannya, karena rekam jejaknya sama sekali sudah sangat kotor sebagai wakil rakyat. Selain kasus KTP-elektronik, serentetan kasus lain membuktikan bahwa Novanto memang tidak cakap sebagai pimpinan DPR. Sebelum ini, misalnya, ia terjerat kasus Papa Minta Saham,” pungkas Dika.(JR)

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kisruh Dugaan Kecurangan Pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar

Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset