Presiden Joko Widodo didesak segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh target proyek infrastruktur 2015-2019. Soalnya, banyak peristiwa ambruknya proyek konstruksi saat ini. Jangan sampai uang dan hutang yang dipergunakan untuk membangun infrastruktur ternyata tidak sesuai dengan hasil yang dipaksakan.
Pakar Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (PBJ) dari Emrus Corner, Hasudungan Sihombing, atau yang akrab disapa Hastoruan menyampaikan, ambruknya sejumlah proyek jangan dianggap sepele.
“Yang jelas, banyaknya proyek yang ambruk pasti berhubungan erat dengan proses Pengadaan Barang dan Jasa atau PBJ. Dalam Perpres 54/2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah diatur batasan paket yang boleh dikerjakan oleh suatu badan usaha (kontraktor) yang mengikuti proses pelelangan atau tender dalam waktu 1 tahun anggaran,” tutur Hasudungan Sihombing, di Jakarta, Senin (05/02/2018).
Menurut Hastoruan, dalam Perpres tersebut dinyatakan dengan jelas suatu perusahaan non kecil atau yang menengah ke atas, untuk bidang konstruksi hanya diperbolehkan melaksanakan 6 paket proyek secara bersamaan dalam waktu 1 tahun anggaran.
“Nah, coba lihat di lapangan apakah aturan ini sudah ditaati? Jelas tidak,” ujarnya.
Dia menyampaikan, jika diperhatikan mulai dari Aceh sampai Papua, pelaksana proyeknya ya orangnya itu-itu saja. Ratusan proyek hanya dilaksanakan oleh beberapa perusahaan yang pada umumnya adalah BUMN.
“Apakah secara teknis mampu? Apakah secara manajemen mampu?” tanya dia.
Hastoruan menyampaikan, Perpres itu dibuat setelah melalui kajian yang mendalam. Bukan asal-asalan. Jadi harus diikuti.
“Bila sudah banyak yang ambruk begini, bagaimana? Target proyek infrastruktur 2015-2019 kan sangat banyak. Ada lebih dari 200 proyek. Bagaimana keamanannya?” katanya.
Menurut dia, inilah saatnya pemerintah meningkatkan peran swasta dalam pembangunan infrastruktur, khususnya konstruksi. Jumlah proyek yang dapat diikuti oleh BUMN maksimum adalah sejumlah 6 kali jumlah BUMN bidang konstruksi, sisanya harus diberikan kepada swasta.
Saat ini, lanjut dia, banyak sekali kontraktor swasta yang gulung tikar akibat tidak mendapat pekerjaan. Padahal, menurut aturan yakni di Perpres 54 serta perubahannya, mereka seharusnya mendapat pekerjaan.
“Sebenarnya, justru merekalah yang seharusnya mengerjakan proyek-proyek tersebut,” ujar Hastoruan.
Nah, kata Hastoruan, yang menjadi masalah adalah lembaga pemerintah mana yang dapat menegakkan aturan Perpres ini? Apakah Kementerian PUPR? Apakah LKPP? Ataukah Bappenas?
Hastoruan menjelaskan, menurut Inpres Nomor 1 Tahun 2015 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, yang diberi tugas oleh Presiden untuk melaksanakan monitoring dan evaluasi proyek-proyek pusat adalah Bappenas.
“Untuk itu perlu dicermati apakah Bappenas telah melakukan tugasnya?” katanya.
Dia juga menyampaikan bahwa saat ini sangat perlu dibentuk semacam Komite Keselamatan Konstruksi, yang harus mampu menyelesaikan persoalan-persoalan infrastruktur dari mulai hulu hingga hilir.
“Tentu perlu sekali. Tetapi perlu juga saya ingatkan bahwa ini semata pendekatan hilir. Sementara yang penting itu adalah penyelesaian di hulu. Yakni penegakan batasan jumlah proyek yang boleh dikerjakan oleh satu perusahaan atau kontraktor seperti yang diatur dalam Perpres,” ujarnya.
Setelah batasan itu ditegakkan, lanjut dia, barulah di sektor hilir perlu dibentuk Komite Keselamatan Konstruksi (KKK) yang tugasnya mengawasi di lapangan.
“Dengan demikian penyelesaian masalah ambruknya berbagai proyek menjadi holistik (menyeluruh). Dan dengan demikian masyarakat menjadi aman, serta kepastian terlaksananya proyek infrastruktur akan menjadi lebih baik,” pungkas Hastoruan.(JR)