Kekerasan terhadap kaum perempuan dan kebijakan yang diskriminatif terus terjadi di Indonesia. Bahkan, sejak 1998 hingga 2015 saja terdapat 389 kebijakan yang diskriminatif terhadap kaum perempuan dengan sebanyak 236 institusi yang mempersulit urusan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Komisioner Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) Saur Tumiur Situmorang menyampaikan, sejak peristiwa 1998 dimana terjadi situasi krisis moneter, terjadinya kerusuhan dan penyerangan etnis Cina, memicu lahirnya Reformasi.
Namun, menurut Saur Tumiur Situmorang, dimasa itu, kekerasan seksual juga menjadi aspek paling kontroversial. Hal itu disampaikan Saur saat menjadi pembicara dalam Seminar Kebangsaan Menjadikan Wawasan Kebangsaan dan Pancasila Sebagai Sarana Pelayanan dan Partisipasi Politik Perempuan Gereja Se-Jabodetabek, yang diselenggarakan Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Angkatan Muda Kristen Indonesia (GAMKI) di Grha Oikoumene PGI, Lantai 3, Jalan Salemba Raya 10, Jakarta Pusat, (Jumat, 10/06/2016).
“Kasus-kasus pemerkosaan mendorong adanya gerakan perempuan, dan dari isu KTP harus menjadi agenda dalam reformasi nasional,” papar Saur.
Selain itu, kata Saur, konflik bersenjata yang terjadi dari mulai tahun 1999 sampai 2003 di Poso, Maluku, Timor Timur, Kalimantan, Aceh dan Papua, berdampak terhadap peran politik perempuan, dan juga pada kekerasan seksual.
“Konflik bersenjata menggunakan kekerasan seksual sebagai senjata dalam perang, mobilisasi perempuan untuk berperang dan perempuan sebagai pekerja kemanusiaan dan perdamaian,” jelas dia.
Namun, saat penerapan Otonomi Daerah (Otda), lanjut Saur, politisasi identitas keagamaan menghasilkan kebijakan dan Perda (Peraturan Daerah) diskriminatif atas nama agama dan moral (anti pornografi, anti prostitusi, anti perilaku tidak layak).
“Dari pemantauan Komnas Perempuan pasca Otda sampai Agustus 2015 ada 389 kebijakan diskriminatif mengatas namakan agama,” ujarnya.
Selain itu, proses pemiskinan, yang ditandai dengan meningkatnya jurang kemiskinan (wealth gap). Kondisi itu, mendorong perempuan menjadi pekerja migran.
“Mereka kebanyakan menjadi pembantu rumah tangga, dan 500 ribu orang per tahun, 10 persen pulang dengan masalah,” jelas dia.
Meski begitu, Saur mengungkapkan bahwa kebijakan terhadap perempuan dari hasil reformasi, menghasilakan 30 kebijakan baru yang mendukung hak-hak perempuan dalam konteks kekerasan dan diskriminasi.
“Amandemen UUD 45, amandemen Undang Undang Kesehatan, Undang Undang PKDRT, Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang penerapan standar HAM dalam pelaksanaan tugas kepolisian, ratifikasi konvensi pekerja migran, ratifikasi konvensi disabilitas, dan lain-lain,” papar dia.
Kemudian, Saur juga menyebuat sebanyak 236 institusi yang harus mengurus masalah Kartu Tanda Penduduk (KTP). Institusi itu antara lain, Komnas Perempuan, UPPA, RS, P2TP2A, WCC, dan lain-lainnya.
Selain itu, Saur juga mengatakan, dalam peran berpolitik, perempuan memiliki beberapa tantangan yang masih lemah dan belum terlalu memahami. Antara lain, tantangan perempuan dalam berpolitik adalah advokasi affirmatif action terhadap ketentuan kuota 30 persen partisipasi politik perempuan.
“Pemahaman elit partai tentang affirmatif action, kapasitas individual perempuan politisi (partai dan legislative), sistempemilu, mekanisme internal partai dan agenda strategis gerekan perempuan dan gerakan sosial beragam,” ujarnya.
Bagaimana pun, advokasi kebijakan yang diskriminatif juga harus terus dilakukan. Politisasi agama, etnis, dan identitas rasial dianggap sebagai bagian demokratisasi dan desentralisasi. Belum terputusnya rantai impunitas untuk pelanggaran HAM masalalu–termasuk kekerasan seksual– feminisasi kemiskinan dan migrasi adalah kebijakan yang harus diperjuangkan.
“Serta infrastuktur dan sumber daya yang tidak memadai bagi lembaga-lembaga penatalayanan atau pendampingan korban,” pungkas Saur.(Jimmi)