Koalisi Reformasi Birokrasi meminta pada pemerintah dan DPR agar tidak melanjutkan revisi UU no. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Mereka khawatir revisi tersebut adalah upaya melemahkan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Padahal, keberadaan KASN perlu diperkuat untuk mempercepat reformasi birokrasi.
Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Gurnadi Ridwan menyebutkan upaya pengebirian kewenangan KASN jelas bertolak belakang dengan Nawa Cita. Pihaknya menilai perubahan Pasal 7 sampai 42 dalam Revisi UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN akan melemahkan kewenangan KASN.
“Upaya ini jelas bertentangan dengan Nawa Cita Presiden Jokowi yang berjanji ingin mempercepat reformasi birokrasi, meningkatkan kualitas, dan pelayanan ASN supaya negara hadir di tengah masyarakat,” katanya di Jakarta, kemarin. Gurnadi menerangkan, revisi UU ASN yang disepakati dalam Rapat Paripurna DPR pada 24 Januari lalu, dapat menghancurkan harapan akan perbaikan pelayanan masyarakat, birokrat profesional yang bebas kolusi dan nepotisme.
Padahal KASN selama ini mampu menunjukkan kinerjanya dalam mendorong perbaikan tata kelola aparatur sipil yang baik. “Meskipun KASN kantornya hanya satu, tapi sudah dipercaya masyarakat terbukti dengan menerima 555 laporan pada 2016 dan tiap tahun terus meningkat,” ujarnya, Rabu (23/03/2017).
Ditambahkan Gurnadi, keterbatasan sumber daya manusia dan kewenangan KASN ternyata tidak menjadi hambatan dan mampu ditutupi dengan kilauan kinerjanya. Dari 555 laporan yang diterima, sebanyak 406 laporan sudah ditangani dan sisanya masih proses penuntasan.
“Bayangkan 74 orang saja sudah mampu menunjukkan kinerjanya, akan lebih nyata lagi kalau pasukannya ditambah dan berada disemua wilayah seperti Ombudsman,” imbuhnya.
FITRA menilai jika KASN dibubarkan maka DPR dan pemerintah tengah berusaha mengembalikan rezim kolusi dan nepotisme. Nantinya, pengisian jabatan hanya didasarkan suka atau tidak suka, kinerjanya hanya untuk menyenangkan atasan, pelayanan masyarakat diabaikan, serta kebangkitan kembali patronase di birokrasi.
“KASN sudah mampu mendorong penguatan dan pengawasan sistem merit, pengisian jabatan dan kinerja ASN. Meski demikian masih ada temuan jualan jabatan seperti contoh di Kabupaten Klaten, apalagi kalau lembaga itu tidak ada,” tegas Gurnadi.
Koordinator peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Budi Rheza mengungkapkan praktik jual beli jabatan diyakini masih banyak terjadi di banyak daerah. Ditambah lagi, tidak mungkin mengandalkan inspektorat pengawasan daerah (Irwasda) karena secara struktural berada di bawah kepala daerah.
“Studi kami di tahun 2013 tentang tata kelola ekonomi daerah ingin lihat kenapa anggaran transfer ke daerah porsinya makin tinggi tetapi kualitas infrastruktur tidak semakin baik. Ternyata proses pengadaan, dan perencanaan diganggu markup dan pemberian upeti serta melibatkan partai politik,” katanya.
Budi mengusulkan agar pemerintah memberikan kewenangan lebih berupa penindakan ataupun menempatkan perwakilannya di tingkat provinsi. Tujuannya, meningkatkan pengawasan terhadap ASN sehingga mengurangi praktik KKN yang merugikan negara hingga puluhan triliun rupiah.
Sebelumnya, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Asman Abnur mengatakan dalam UU ASN yang lama, posisi KASN merupakan lembaga yang mengawasi dan menjaga sistem merit. “Dalam hal ini DPR minta agar KASN dibubarkan, itu usulan pertama (dalam rakorsus),” katanya.
Pihaknya juga membahas masalah usulan tentang pengurangan dan perampingan ASN seperti yang diatur dalam UU ASN harus sesuai persetujuan DPR. Selain itu juga dibahas mengenai posisi jabatan pimpinan tinggi negara. “Jadi kami tadi sedang mencari solusinya sikap pemerintah terhadap perubahan UU ini, dan saya ditugasi sebagai menpan untuk menyiapkan beberapa jawaban terhadap DIM (Daftar Inventaris Masalah) yang diusulkan oleh DPR itu,” pungkasnya.(JR)