KIARA: Aturan Baru Tentang Jenis dan Tarif di Kementerian Kelautan Sangat Menyiksa Nelayan Kecil

KIARA: Aturan Baru Tentang Jenis dan Tarif di Kementerian Kelautan Sangat Menyiksa Nelayan Kecil

- in DAERAH, EKBIS, HUKUM, NASIONAL, POLITIK, PROFIL
483
0
KIARA: Aturan Baru Tentang Jenis dan Tarif di Kementerian Kelautan Sangat Menyiksa Nelayan Kecil. - Foto: Susan Romica Herawati, Sekjen KIARA.(Net)KIARA: Aturan Baru Tentang Jenis dan Tarif di Kementerian Kelautan Sangat Menyiksa Nelayan Kecil. - Foto: Susan Romica Herawati, Sekjen KIARA.(Net)

Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) mengkritik diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021. 

Peraturan yang berisi tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang berlaku pada Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) itu dinilai sangat merugikan, memberatkan dan tidak berpihak kepada Nelayan Kecil. 

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Sekjen Kiara), Susan Herawati menyebut, PP No 85 Tahun 2021 merupakan salah satu aturan turunan dari UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. PP No 85 Tahun 2021 merupakan aturan yang mengganti PP No 75 Tahun 2015. 

“Peraturan Pemerintah Nomor 85 Tahun 2021 ini mengatur pungutan perikanan yang diberlakukan kepada semua pelaku perikanan, baik skala kecil atau tradisional maupun skala besar,” tutur Susan Herawati, dalam siaran persnya, Selasa (23/11/2021). 

Sejalan dengan terbitnya PP tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menerbitkan 2 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP). 

Pertama, Kepmen KP No. 86 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Ikan untuk Penghitungan Pungutan Hasil Perikanan. 

Kedua, Kepmen KP No. 87 Tahun 2021 tentang Produktivitas Kapal Penangkap Ikan. 

Susan membeberkan, kurang dari satu bulan pasca diterbitkannya kedua Kepmen KP itu yakni pada 18 September 2021, maka pada tanggal 25 Oktober 2021 KKP kembali mencabut dan mengganti kedua PP tersebut menjadi Kepmen KP No 97 dan 98 dengan judul atau subjek yang sama dengan Kepmen KP sebelumnya. 

“Terbitnya Peraturan Pemerintah itu telah dikritisi dan ditolak oleh berbagai pihak, terutama nelayan kecil dan tradisional,” ujarnya. 

Susan mengatakan, PP No 85 Tahun 2021 membuat pasal dan ayat yang akan memberatkan dan merugikan nelayan kecil dan akan sangat berpengaruh terhadap perekonomian nelayan kecil. 

Susan merinci sejumlah poin-poin yang menjadi catatan kritis terhadap PP No 85 Tahun 2021 itu.  

Pertama, PP ini akan memungut tarif PNBP pra-produksi, yakni sebelum berlayar atau melaut, sebesar 5 persen kepada para pelaku perikanan yang ukuran kapalnya mulai dari 5 Gross Ton (GT). 

Artinya, nelayan tradisional dan atau nelayan skala kecil yang menggunakan kapal mulai dari 5 GT dan ukuran di atasnya akan terbebani dan harus membayar pungutan PNBP pra-produksi perikanan. 

“Seharusnya, Negara menargetkan pungutan PNBP perikanan ini kepada para pelaku perikanan skala besar, yang menggunakan kapal di atas 10 GT. Nelayan yang menggunakan kapal di bawah 10 GT mesti dibebaskan dari pungutan,” tegas Susan. 

Kedua, Pungutan tarif PNBP pra-produksi sebesar 5 persen sangat memberatkan, tidak berpihak dan tidak berkeadilan untuk nelayan kecil. Karena nelayan sudah harus membayar PNBP jenis ini di awal sebelum melaut. 

Padahal, lanjut Susan, hasil tangkapan nelayan belum tentu maksimal dalam setiap melaut. Kenyataan yang terjadi di lapangan, nelayan sering pulang tanpa hasil yang maksimal, bahkan pulang tanpa hasil tangkapan ikan. 

Sementara PNBP harus sudah dibayar di awal sebelum melaut berdasarkan perhitungan produktivitas kapal maksimal. 

Dengan adanya PP ini, beban ekonomi nelayan skala kecil dan atau nelayan tradisional akan lebih berat. Apalagi banyak nelayan kecil dan tradisional yang tidak mendapatkan subsidi bahan bakar minyak (BBM) untuk menangkap ikan. 

Bahkan, kata dia, harga bahan bakar cenderung lebih mahal dan nelayan tidak bisa langsung membeli ke tempat pembelian resmi bahan bakar minyak. 

“Sebagaimana yang dialami oleh nelayan di Teluk Jakarta, nelayan di Ambon, nelayan di Kepulauan Seribu, nelayan di Kepulauan Masalembu, nelayan di Pulau Wawonii dan nelayan lainnya yang ada di pulau-pulau kecil,” ungkap Susan. 

Ketiga, pada lampiran PP ini juga menerapkan pungutan pengusahaan perikanan untuk ijin penempatan rumpon baru dan atau perpanjangan dikenakan biaya sebesar Rp 2 juta per unit per tahun (Lampiran PP No. 85 Tahun 2021, halaman 7).  

Dalam praktik penangkapan ikan, kata dia, nelayan kecil dan tradisional menggunakan rumpon secara tradisional untuk membuat rumah-rumah ikan. Ini merupakan praktik yang telah dilakukan secara tradisional dan turun temurun. 

Seharusnya, dikatakan Susan, Pemerintah menjalankan mandat UU No 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan dan Petambak Garam dalam konteks untuk mempermudah proses penangkapan ikan dan pemasaran hasil tangkapan ikan nelayan kecil dan tradisional. 

Tetapi realitasnya, lanjutnya, mandat UU No 7 Tahun 2016 belum terlaksana dengan baik. Karena pasokan bahan bakar minyak saja masih bermasalah sampai saat ini untuk nelayan, ditambah dengan adanya PP 85 Tahun 2021. 

Keempat, PP ini memberikan ruang dan akses untuk mengakomodir kepentingan untuk melakukan eksploitasi dan perampasan ruang secara terstruktur melalui tarif atas jenis PNBP yang berasal dari perijinan berusaha terkait pemanfaatan di laut. 

Artinya, pola dan praktik perampasan ruang dan eksploitasi sumber daya alam terstruktur melalui pungutan PNBP untuk reklamasi dan tambang pasir. 

“Sudah banyak pengalaman penderitaan rakyat yang terjadi di berbagai tempat akibat adanya reklamasi yang berhubungan langsung dengan tambang pasir,” ungkapnya. 

Seperti, contoh nyatanya adalah perampasan wilayah kelola rakyat dan kriminalisasi yang terjadi akibat pertambangan pasir di Perairan Spermonde untuk menyuplai kebutuhan reklamasi Makassar New Port. 

“Apakah pengalaman pahit ini akan dirasakan nelayan lain di tempat yang seharusnya nelayan berdaulat dan menjadi tuan atas tanah dan lautnya?” tanya Susan. 

Susan menambahkan, PP ini juga menunjukkan bahwa semangat Pemerintah saat ini sangat jauh dan tidak berpihak terhadap nelayan kecil. 

Dengan adanya PP No 85 Tahun 2021, semakin memperparah dan memberatkan beban hidup nelayan kecil dan tradisional setelah sebelumnya terdampak krisis pandemi Covid-19. 

“Dampak lainnya adalah pemulihan ekonomi akibat Covid-19 yang dirasakan nelayan tidak akan terjadi. Lebih jauh, mereka akan dimiskinkan oleh kebijakan Negara,” pungkas Susan.(J-RO) 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Kisruh Dugaan Kecurangan Pemilihan Rektor Universitas Negeri Makassar

Tim Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset