Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Pdt Gomar Gultom, menyampaikan, usulan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Rycko Amelza Dahniel, yang menghendaki semua tempat ibadah berada di bawah kontrol Pemerintah, merupakan langkah mundur dari proses demokratisasi yang sedang diperjuangkan bersama pasca Reformasi 1998.
“Kita sudah menyepakati demokrasi menjadi sistem atau kendaraan bagi kita sebagai bangsa untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Dalam masyarakat yang semakin demokratis, Negara harus mempercayai rakyatnya untuk bisa mengatur dirinya, termasuk dalam hal pengelolaan rumah ibadah. Jadi, usulan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengontrol rumah ibadah itu adalah langkah mundur,” tutur Pdt Gomar Gultom, dalam siaran persnya yang diterima, Selasa (05/09/2023).
Menurut Gomar, pemikiran Rycko yang menghendaki agar Pemerintah mengawasi setiap agenda ibadah yang digelar di tempat ibadah serta mengawasi Tokoh Agama yang menyampaikan dakwah atau khotbah, hanya menunjukkan sikap frustrasi Pemerintah yang tak mampu mengatasi masalah radikalisme.
“Hal sedemikian ini merupakan arus balik dari cita-cita Reformasi dan akan membawa kita kepada suasana etatisme pada masa Orde Baru,” ujarnya.
Perlu ditekankan, kata Gomar, Pemerintahlah yang bertindak kurang tegas terhadap penegakan hukum dan berbagai persoalan SARA selama ini.
“Masalah yang kita hadapi kini adalah kurang tegasnya Pemerintah menghadapi berbagai ujaran kebencian yang mendorong budaya kekerasan di tengah masyarakat,” ujarnya.
Bahkan, lanjutnya, perilaku intoleran yang disertai dengan tindak kekerasan, apalagi atas nama agama, sering luput dari tindakan hukum oleh Negara.
“Peradaban yang mengedepankan mereka yang bersuara keras, atau mengedepankan kebencian dan kekerasan, ini yang perlu mendapat perhatian kita bersama, untuk segera dihentikan,” kata Pdt Gomar Gultom.
“Ketimbang memberlakukan usulan Kepala BNPT, saya lebih meminta keseriusan dan tindakan tegas Pemerintah atas ujaran kebencian, aksi intoleran dan tindak kekerasan, seturut hukum yang berlaku,” lanjutnya.
Selain itu, hal lain yang mendesak dilakukan bersama oleh seluruh elemen bangsa adalah pembudayaan cinta damai dan cinta kemanusiaan.
Adalah menjadi tugas bersama untuk mendidik masyarakat untuk sedia menerima mereka yang berbeda, serta mengakomodasinya dalam membangun hidup bersama, termasuk mengakomodasi kebutuhan akan rumah ibadah, oleh umat beraga mana apapun.
“Di sisi lain, Pemerintah pun perlu lebih peka mendengar kritik masyarakat, termasuk dari para Tokoh Agama atau pendakwah, dan jangan cepat-cepat menghakiminya sebagai bagian dari radikalisme,” tandas Pdt Gomar Gultom.
Sebelumnya, BNPT sebelumnya mengusulkan agar Pemerintah mengontrol semua tempat ibadah di Indonesia agar tempat ibadah tidak menjadi sarang radikalisme. BNPT berkaca dari Negara-Negara luar.
Ide ini disampaikan Kepala BNPT Rycko Amelza Dahniel dalam rapat dengan Komisi III DPR, Senin (4/9). Dia menanggapi pernyataan anggota DPR Komisi III Fraksi PDIP, Safaruddin.
Safaruddin mengulas karyawan BUMN yakni PT KAI yang terpapar paham radikalisme. Berdasarkan pengamatan Safaruddin, terdapat masjid di BUMN kawasan Kalimantan Timur yang setiap hari mengkritik Pemerintah.
“Ya memang kalau kami di Kalimantan Timur Pak, ada masjid di Balikpapan itu Pak, itu masjidnya Pertamina, tapi tiap hari mengkritik pemerintah di situ Pak, di dekat Lapangan Merdeka itu,” ujar politikus PDIP itu.
BNPT menanggapi. “Kiranya kita perlu memiliki mekanisme kontrol terhadap penggunaan dan penyalahgunaan tempat-tempat ibadah yang digunakan untuk penyebaran paham radikalisme,” kata Rycko Amelza Dahniel dalam rapat.(RED)