Betapa buruknya kinerja aparat kepolisian di Polres Simalungun. Masyarakat Adat Sihaporas di Simalungun sudah semakin tidak percaya dengan Polisi.
Soalnya, warga dari Masyarakat Adat Sihaporas yang menjadi korban pemukulan dan penganiayaan yang dilakukan oleh sekuriti dan karyawan bagian Humas PT Toba Pulp Lestari (PT TPL) yang sebelumnya adalah PT Inti Indorayon Utama (PT Indorayon), sudah melaporkan peristiwa penganiayaan dirinya ke Polisi.
Namun, si korban yang melapor ini pula yang ditangkap dan diproses oleh penyidik Polres Simalungun. Kacau sekali bukan. Buruk sekali watak dan bobroknya niat penegakan hukum oleh Polisi.
Hal itu ditegaskan Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Wilayah Tano Batak, Roganda Simanjuntak, menanggapi proses penangkapan terhadap dua warga masyarkat adat Sihaporas yang dianiaya yakni Jonni Ambarita, yang juga ayah kandung dari Anak Balita Mario Ambarita, usia 3 tahun, yang juga korban pemukulan petugas PT TPL.
Serta Thomson Ambarita, warga yang juga korban pemukulan, dan yang bersama-sama telah melaporkan pemukulan itu ke Polres Simalungun. Malah mereka berdua yang ditangkap penyidik Polres Simalungun.
“Kami mendesak pihak Polres Simalungun, segera membebaskan Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita,” ujar Roganda Simanjuntak, Kamis (26/09/2019).
Roganda mengingatkan, seharusnya pihak Polres Simalungun segera tindaklanjuti laporan pengaduan atas tindakan pemukulan terhadap anak (Mario Ambarita) oleh pihak PT TPL. Kok malah aneh, Polisi menjadi anjing penggonggongnya PT TPL, dan menangkap warga Masyarakat Adat Sihaporas.
Kinerja kepolisian sangat buruk. Bahkan sangat jelas menyelewengkan tugas dan wewenangnya. Polres Simalungun dinilai menindas masyarakat Adat Sihaporas, atas suruhan PT TPL.
“Kami menegaskan dan meminta Polres Simalungun agar bertindak profesional dan tidak sewenang-wenang,” tegas Roganda Simanjuntak.
Untuk urusan Tanah Ulayat Masyarakat Adat Sihaporas, Roganda Simanjuntak menegaskan, pihak Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) harus segera menghentikan aktivitas PT TPL.
“Dan segera mengeluarkan PT TPL dari konsesi lahan wilayah adat Sihaporas,” ujarnya.
Diterangkan Roganda, kemarin, tepat pada perayaan Hari Tani Nasional 24 September 2019, dua warga Masyarakat Adat Sihaporas atas nama Jonny Ambarita dan Thomson Ambarita ditangkap oleh aparat Polres Simalungun.
Awalnya kedua orang itu hadir di Polres Simalungun untuk melaksanakan kewajibannya memberikan kesaksian atas undangan penyidik terkait laporan pengaduan Marudut Ambarita atas tindakan pemukulan terhadap anaknya Mario berusia 3 tahun yang diduga dilakukan oleh Humas PT Toba Pulp Lestari atas nama Bahara Sibuea.
Tetapi, lanjut Roganda, setelah dimintai kesaksiaannya kemudian tidak lama setelah itu pihak Polres Simalungun menangkap Thomson yang sedang makan siang. Dan juga menangkap Jonny. Atas dasar surat penangkapan No. Pol: Sip. Kap/148/IX/2019/ Reskrim terhadap tersangka Thomson Ambarita dan surat penangkapan No. Pol: Sip. Kap/150/IX/2019/ Reskrim terhadap Jonny Ambarita.
“Pengaduan Masyarakat Adat Sihaporas atas nama Marudut Ambarita disebabkan tindakan pemukulan yang diduga dilakukan oleh Humas PT TPL pada 16 September 2019,” jelas Roganda.
Dimana pada saat itu pihak PT TPL yaitu puluhan orang sekuriti yang dikomandoi oleh Humas menghampiri Marudut Ambarita dan merampas alat kerja berupa cangkul warga yang sedang menanam benih jagung di wilayah adat Sihaporas.
Perampasan alat kerja ini menyebabkan suasana menjadi ricuh dan terjadi aksi saling dorong mendorong diantara kedua belah pihak. Kemudian Bahara Sibuea melakukan pemukulan menggunakan kayu kearah Marudut dan mengenai leher belakang Mario Ambarita (anak berusia 3 tahun).
Roganda menerangkan, oleh Masyarakat Adat Keturunan Ompu Mamontang Laut Ambarita Sihaporas (Lamtoras) sudah berjuang mempertahankan wilayah adatnya sejak 1990-an setelah hadirnya konsesi PT TPL di wilayah adat tanpa seijin dan tanpa sepengetahuan mereka.
“Masyarakat Adat Lamtoras telah lebih dulu ada jauh sebelum terbentuknya NKRI. Sudah 13 generasi sejak leluhur mereka Ompu Mamontang Laut mengelola dan menguasai wilayah adatnya,” ujar Roganda.
Masyarakat Adat Sihaporas, lanjutnya lagi, tidak terima dengan aktivitas PT TPL yang menghancurkan hutan adat untuk digantikan dengan tanaman eucalyptus.
Kemudian pestisida kimia beracun yang digunakan perusahaan untuk merawat tanaman mengaliri mata air sebagai sumber air bersih untuk air minum, kebutuhan ritual adat dan kolam ikan.
“Sehingga menyebabkan ikan endemik seperti ihan Batak dan jenis ikan lainnya mati keracunan,” ujarnya.(JR)