Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dianggap telah melanggengkan pratik diskriminasi terhadap pelayanan kesehatan bagi masyarakat kurang mampu. Hal itu dikarenakan Kemenkes menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif di Rumah Sakit.
Menurut Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar, peraturan menteri kesehatan itu tidak ubahnya sebagai langkah baru untuk melakukan diskriminasi pelayanan kesehatan bagi masyarakat atau pasien peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk tidak mendapat prioritas.
“Peraturan Menteri Kesehatan nomor 11 Tahun 2016 itu sangat berpotensi menciptakan diskriminasi dalam pelayanan kesehatan bagi peserta JKN. Regulasi baru itu juga akan berakibat mengganggu pelayanan pasien reguler peserta JKN,” tutur Timboel Siregar, di Jakarta.
Dia menjelaskan, kehadiran Permenkes Nomor 11 Tahun 2016 itu ditujukan bagi Rumah Sakit Pemerintah Pusat atau Rumah Sakit milik Pemerintah Daerah, serta Rumah Sakit milik masyarakat, agar membuka pelayanan rawat jalan eksekutif, yang memang sangat berbeda dengan pelayanan rawat jalan reguler.
“Kehadiran Rumah Sakit Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dibiayai oleh uang rakyat, seharusnya ditujukan untuk seluruh masyarakat tanpa harus terciptanya diskriminasi. Seharusnya Menteri Kesehatan meninjau kembali Permenkes ini dan mau mencabutnya,” ujar Timboel.
Dengan Peraturan Menteri Keserhatan yang baru dikeluarkan itu, menurut Timboel, akan diikuti adanya regulasi di setiap rumah sakit pemerintah di Pusat dan daerah, yakni pelayanan rumah sakit tipe A, B dan C akan berusaha membuka pelayanan rawat jalan eksekutif itu.
Sehingga, ruang pelayanan yang tadinya ditujukan untuk seluruh pasien peserta JKN maupun pasien umum, nantinya berpotensi akan diubah menjadi ruang pelayanan rawat jalan eksekutif yang memiliki tarif atau biaya yang lebih mahal.
Bagi peserta JKN yang akan menggunakan fasilitas eksekutif tersebut, lanjut Timboel, harus membuat pernyataan mematuhi ketentuan sebagai pasien rawat jalan eksekutif, dan bersedia membayar selisih biaya pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (Pasal 13 ayat 2 Permenkes Nomor 11 Tahun 2016).
“Ini artinya, di kalangan peserta JKN sendiri akan ada diskriminasi yaitu perbedaan pelayanan. Yang mampu membayar selisih biaya pelayanan akan mendapat pelayanan lebih baik dan lebih cepat, bila dibandingkan dengan pasien reguler yang tidak memiliki kemampuan untuk membayar selisih biaya pelayanan,” ujar Timboel.
Dengan diubahnya ruang pelayanan reguler menjadi eksekutif, lanjut dia, perlahan di rumah-rumah sakit sudah sangat terasa perbedaan pelayanan, seperti yang sudah terjadi di Rumah Sakit Karyadi Semarang. Di rumah sakit ni, dua ruang paviliun yang tadinya digunakan untuk melayani rawat jalan reguler, sekarang sudah diubah melayani pasien rawat jalan eksekutif.
“Ini artinya ruang pelayanan untuk pasien reguler akan berkurang karena sudah dialihkan untuk pelayanan Eksekutif,” ujarnya.
Timbul melanjutkan, akses peserta JKN reguler terhadap pelayanan kesehatan akan menurun, sehingga akan terjadi penumpukan dan daftar tunggu pelayanan yang lebih lama bagi peserta JKN yang reguler.
Dengan adanya pelayanan eksekutif tersebut, maka dokter spesialis-subspesialis akan berkecenderungan untuk lebih menyukai berada di ruang pelayanan rawat jalan eksekutif, mengingat renumerasinya akan lebih besar di ruang eksekutif tersebut.
“Berdasarkan pantauan BPJS Watch, pasien pasien JKN reguler di RSCM lebih banyak ditangani oleh dokter-doker yang sedang belajar. Dokter-dokter yang sedang belajar tersebut kerap kali harus berkonsultasi dulu dengan dokter spesialis. Ini kan sebenarnya juga mengganggu pelayanan bagi peserta reguler,” kata Timboel.
Karena itulah, lanjut dia, ucapan pemerintah dengan Permenkes itu, yang menyatakan bahwa Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif di Rumah Sakit tidak boleh mengganggu pelayanan rawat jalan reguler, tidak dapat dipertanggungjawabkan.
“Saya meyakini bahwa kehadiran pelayanan rawat jalan eksekutif ini akan mengganggu pelayanan rawat jalan reguler. Kehadiran RS Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang dibiayai oleh uang rakyat, seharusnya ditujukan untuk seluruh masyarakat tanpa harus terciptanya diskriminasi. Karena itu, seharusnya Menteri Kesehatan meninjau kembali Permenkes ini dan mau mencabutnya,” pungkasnya.
Untuk mendongkrak kepesertaan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif di Rumah Sakit.
Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Ekonomi Kesehatan Donald Pardede mengatakan, beleid yang diteken oleh Menteri Kesehatan pada 7 April 2016 ini menjembatani masyarakat yang telah memiliki asuransi pribadi dengan program JKN.
Menurut Donald, aturan ini akan memberikan kepastian bagi seluruh pihak atas skema koordinasi manfaat atau Coordination of Benefit (CoB) di program JKN yang dikover oleh Badan Penyekenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. “Sebelumnya tidak ada (aturannya) sehingga ada keragu-raguan,” kata Donald.
Terbitnya aturan ini juga diharapkan semakin membuat masyarakat utamanya dari golongan pekerja penerima upah (PPU) untuk ikut dalam program JKN. Meski demikian, untuk teknis dan perincian kebijakan ini menurut Donald akan dituangkan dalam peraturan direksi (Perdir) BPJS Kesehatan.
Secara sederhana, terbitnya aturan ini maka BPJS Kesehatan akan tetap menanggung biaya pokok pelayanan kesehatan sesuai ketentuan yang berlaku. Namun, bila masyarakat memilih untuk mendapat pelayanan rawat jalan di eksekutif maka tambahan pembiayaan akan ditanggung oleh pihak asuransi pribadi yang dimiliki.
Beberapa poin penting dalam beleid itu adalah Pasal 13 (1), yang berbunyi Pelayanan Rawat Jalan Eksekutif dapat diakses oleh peserta umum atau peserta JKN kecuali Peserta Penerima Bantuan Iuran dan peserta jaminan kesehatan yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah.
Sementara di ayat (2), Peserta JKN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki surat rujukan dari fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama, membuat pernyataan mematuhi ketentuan sebagai pasien rawat jalan eksekutif, dan bersedia membayar selisih biaya pelayanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Juru bicara BPJS Kesehatan Irfan Humaidi mengatakan, dalam ketentuan itu menegaskan bahwa rawat jalan di poli eksekutif untuk peserta JKN tetap harus melalui rujukan berjenjang. Selain itu mekanisme CoB terkait dengan poli eksekutif belum ditetapkan. “Akan dibahas lebih lanjut,” kata dia.(JR-1)