Kekuatan politik pendukung pemerintah dianggap kian membengkak, hal ini bisa berakibat buruk bagi masyarakat secara keseluruhan.
Hal itu disampaikan Direktur Eksekutif Indonesia Developmet Monitoring (IDM) Bin Tresnadi di Jakarta, (Jumat, 20/05/2016).
Menurut Bin Tresnadi, dengan bergabungnya partai Golkar ke pemerintahan Jokowi merupakan akhir dari persatuan oposisi yang terbentuk sejak pilpres 2014 lalu, Koalisi Merah Putih. Bisa dikatakan hanya tinggal Gerindra sendiri saat ini yang menyatakan dirinya sebagai oposisi terhadap pemerintahan Jokowi.
“Jika dilihat situasi ekonomi politik saat ini, pemerintahan Jokowi jauh lebih neolib dibandingkan dengan pemerintahan SBY. Kebijakan-kebijakan ekonomi politik pemerintahan Jokowi jelas-jelas sangat pro modal, sangat pro asing. Hal ini sangat bertolak belakang dengan janji saat kampanye maupun platform perjuangan PDIP sebagai partai pengusung utamanya,” ujar Bin Tresnadi.
Dikatakan Bin, situasi ini mengingatkan pada posisi PDIP di jaman pemerintahan SBY. Saat itu, selama 10 tahun PDIP betul-betul memposisikan diri sebagai oposisi yang terus melakukan kritik dan serangan-serangan politik kepada pemerintahan SBY, baik di dalam parlemen maupun luar parlemen.
PDIP, lanjut Bin, melakukan pengorganisasian dukungan politik untuk menentang kebijakan-kebijakan pemerintahan SBY yang di anggap neolib, pro asing.
“Demontrasi-demontrasi baik mahasiswa, pemuda, buruh dan kaum yang termarjinalkan terus mereka lancarkan dengan menggunakan organisasi-organisasi taktis yang mereka bangun guna mendelegitimasi pemerintahan SBY,” terang dia.
Bahkan, saat itu, para tokoh partaipun kerap muncul di publik mulai Pramono Anung, Tjahyo Kumolo sampai Rieke Diah Pitaloka. Begitupun tokoh-tokoh di luar struktural partai, seperti Adian Napitupulu, Masinton Pasaribu, sehingga dan yang paling fenomenal adalah memunculkan tokoh Joko Widodo yang saat itu masih menjadi Walikota Solo.
“Dengan strategi seperti itu, PDIP berhasil membuat dirinya sebagai kekuatan oposisi, sebagai partainya wong cilik dan pada akhir nya mampu memenangi pemilu 2014 lalu,” ujarnya.
Kini, kekuatan politik masyarakat kian terpangkas, untuk menyuarakan perjuangan masyarakat. Menurut Bin, saat ini semua kekuatan politik oposisi harus memaksimalkan kerja-kerja politiknya dengan melakukan pengorganisasian di massa rakyat, baik di sektor buruh, tani, mahasiswa, pemuda dan kaum yang termarjinalkan lainnya.
“Guna melakukan perlawanan terhadap kebijakan-kebijakan pemerintahan Jokowi yang sangat anti rakyat. Dan pengkhianatan PDIP terhadap platform perjuangannya sendiri,” ujarnya.
Salah satu partai politik yang masih menyatakan diri ber-oposisi yakni Partai Gerindra. Jika partai ini memang serius beroposisi, lanjut Bin, maka tindakan langsung maupun tidak langsung harus melakukan advokasi terhadap massa rakyat, melakukan pembelaan-pembelaan terhadap kesewenang-kesewenangan yang di lakukan pemerintah saat ini kepada rakyatnya.
“Ya harusnya menggerakan seluruh cabangnya baik di tingkat propinsi sampai tingkat ranting untuk mendampingi masyarakat yang menjadi korban ketidakadilan pemerintah,” ujarnya.
Selain itu, harus ada upaya terus memunculkan tokoh-tokohnya, baik di level nasional sampai tingkat terendah. Tokoh-tokoh tersebut harus terlibat berjuang bersama rakyat yang semakin termiskinkan ini.
Begitupun di parlemen, lanjut Bin, harus lebih keras menolak kebijakan-kebijakan pemerintahan yang sangat neolib ini. Penolakan-penolakan di parlemen harus di kombinasikan dengan gerakan ekstra parlemen agar menemukan kesinambungan tuntutan antara parlemen dengan rakyat.
“Karena penolakan-penolakan terhadap kebijakan-kebijakan yang anti rakyat tak cukup dengan konferensi Pers saja, tapi harus ada pelibatan masyarakat. Karena masyarakat sendiri yang di rugikan,” ujar Bin.
Wakil Ketua Partai Gerindra Arief Poyuono, menyampaikan, partainya akan tetap menjadi partai oposisi dengan pemerintah. “Tetapi berkoalisi dengan rakyat seperti jaringan mahasiswa, buruh, tani dan nelayan untuk mengkontrol pemerintah agar tidak meyelewengkan APBN untuk kepentingan asing dan mafia rente APBN,” ujar Arief.
Dia menyampaikan, sebagai bagian partai oposisi, dirinya berharap akan menjadi benteng terakhir untuk menganjal kekuatan besar neolib. “Kita akan menghadapi koalisi besar pemerintahan neolib dan kapitalis yang dipimpin Jokowi- JK,” ujarnya.
Setelah terpilih sebagai Ketua Umum DPP Partai Golkar, Setya Novanto mengatakan partainya akan terus mendukung pemerintah Presiden Joko Widodo. Ia bahkan menegaskan Partai Golkar akan mengusung Joko Widodo kembali dalam pemilihan presiden 2019.
“Tahun 2019 sangat pendek. Sepanjang rakyat dukung Jokowi, saya akan dukung,” kata Novanto di Kompleks Parlemen, Senayan, Kamis, 19 Mei 2016.
Novanto juga sesumbar dia dan Golkar siap membela Jokowi. “Ini pernyataan saya selaku ketua umum, tolong dicatat,” katanya. Menurut dia, Presiden Jokowi merupakan sosok pemimpin tak ingkar janji. “Baru saja ngomong, gebrakannya sudah jalan.”
Dengan demikian, partai oposisi yang tadinya tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) yang terdiri dari Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Keadilan Sejahtera, Partai Amanat Nasional,Partai Persatuan Pembangunan, Partai Bulan Bintang, sudah kian kecil. Sejumlah partai KMP ini sudah menyeberang ke Partai Pendukung Pemerintahan Jokowi-JK, yakni PAN, PPP dan Golkar.
Kini, Komposisi Partai Koalisi Pendukung Jokowi-JK adalah PDIP, PKB, Partai Nasdem, PKPI, PAN, PPP dan Golkar.
Musyawarah Nasional Luar Biasa Partai Golkar di Bali, 15-17 Mei 2016, merekomendasikan Partai Golkar keluar dari Koalisi Merah Putih dan bergabung dengan koalisi pemerintahan. Musyawarah menetapkan Setya Novanto sebagai nahkoda baru Partai Golkar. Aburizal Bakrie ditetapkan sebagai Ketua Dewan Pembina yang nantinya bisa memberi rekomendasi calon presiden yang akan dicalonkan Partai Golkar.
Meskipun sudah menjadi partai pendukung pemerintah, Setya mengatakan Partai Golkar akan tetap kritis. Namun, dia menjelaskan kritis yang dimaksud bukan berarti mudah menyalahkan pemerintah. “Kritik saya akan konservatif,” katanya.(JR-1)