Pemerintah diminta untuk menjunjung tinggi kedaulatan dan martabat bangsa Indonesia dengan mengedepankan investasi dalam negeri dalam mengelola Pulau Natuna.
Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Abdul Halim menyampaikan, perbedaan konsep pengelolaan antara Kementerian Koordinator Kemaritiman dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai Natuna semestinya tidak perlu terjadi.
Apalagi, sudah ada Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal.
Abdul Halim menjelaskan, di dalam Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal tersebut, dinyatakan bahwa usaha perikanan tangkap terlarang untuk investor asing.
Lebih lanjut, dinyatakan bahwa dalam investasi perikanan tangkap, modal dalam negeri harus 100 persen dan izin khusus dari Kementerian Kelautan dan Perikanan mengenai alokasi sumber daya ikan dan titik koordinat daerah penangkapan ikan.
“Peraturan Presiden itu mesti menjadi acuan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Natuna. Debat kusir menyangkut investasi asing sebaiknya dihentikan. Karena instruksi Presiden Joko Widodo adalah meramaikan pemanfaatan sumber daya perikanan di Natuna dengan menghadirkan pelaku usaha dalam negeri,” tutur Abdul Halim, di Jakarta, Minggu (14/08/2016).
Terkait hal itu, Deputi Pengelolaan Pengetahuan KIARA Parid Ridwanuddin menegaskan, Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 mesti menjadi acuan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya perikanan di Natuna.
Dia mengatakan, investasi dalam negeri bisa berasal dari dana yang dihimpun dari masyarakat perikanan, khususnya koperasi-koperasi nelayan.
“Dengan skema bagi hasil yang adil dan transparan, niscaya pemanfaatan sumber daya perikanan di Natuna akan memberikan kesejahteraan, khususnya bagi 3.619 rumah tangga usaha penangkapan ikan di Kabupaten Natuna,” ujar Parid.
Di samping itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga berkewajiban untuk memberikan skema perlindungan dan pemberdayaan sebagaiamana dimandatkan di dalam Undang Undang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam, di antaranya memastikan jaminan keselamatan dan keamanan di laut, mekanisme permodalan yang mudah dan murah bagi nelayan, jaminan tidak adanya praktik kriminalisasi terhadap nelayan, serta kemudahan fasilitas perikanan dari hulu ke hilir bagi nelayan, khususnya di Kepulauan Riau.
“Sudah saatnya nelayan menjadi tuan rumah di lautnya sendiri,” pungkas dia.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan mengungkapkan, dana repatriasi tax amnesty berpotensi besar untuk pembangunan infrastruktur di Natuna, Kepulauan Riau.
Hal tersebut diungkapkan pada saat acara Sosialisasi Tax Amnesty di JIEXPO Kemayoran, Jakarta Pusat, yang dihadiri 10.000 undangan, Senin (1/8/2016).
Luhut menyebutkan, proyeksi investasi di sektor kelautan sebesar USD170 miliar. “Natuna mau dibikin pembangkit 2 megawatt (mw), anda (peserta tax amnesty) bisa investasi di sana,” kata Luhut.
Luhut menyebutkan, pembangunan pembangkit dengan kapasitas 2 mw membutuhkan dana investasi sekitar Rp15 miliar. Bahkan, investasi dengan skala yang lebih besar juga masih tersedia.
“Jangan ragu, return lebih bagus daripada di tempat lain,” ujarnya.
Lebih lanjut Luhut menyebutkan, daya tangkap ikan nasional baru mencapai sembilan persen di Kepulauan Natuna. Oleh karena itu, investasi di sektor kelautan dan perikanan di Pulau Natuna masih sangat tinggi.
“Kalau anda tidak mau ikut ini Anda rugi,” ujarnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akan mengundurkan diri dari jabatannya jika usaha perikanan tangkap di Natuna dibuka untuk investasi asing.
“Kalau perikanan tangkap sampai diberikan ke asing, saya siap mengundurkan diri karena reforming perikanan harus disiplin dan itu untuk kepentingan sustainability (keberlanjutan),” Susi menegaskan, Kamis (4/8).
Lebih lanjut Susi menjelaskan penutupan investasi asing di perikanan Natuna telah memberi dampak positif.
Indonesia kini masuk ke dalam 10 besar produsen cakalang dunia selain itu, angka investasi di sektor kelautan dan perikanan pun menunjukkan tren kenaikan selama lima tahun terakhir sejak 2010.
Karena itu menurutnya, membuka kembali kesempatan bagi investor asing untuk masuk ke usaha perikanan tangkap sama dengan memundurkan langkah.
“Sudah puluhan tahun asing menikmati kekayaan perikanan Indonesia, hingga produksi ikan Indonesia terus menurun,” sesal Susi.(JR)