Pelaksanaan hukuman mati jilid III yang akan dilangsungkan didukung oleh semua fraksi-fraksi di Komisi III DPR. Hukuman mati sudah menjadi hukuman pokok yang sudah disepakati oleh para anggota fraksi.
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi Gerindra, Muhammad Syafii mengatakan, para narapidana dapat dijatuhi hukuman mati sesuai dengan tindak kejahatan yang dilakukan oleh para pelaku.
“Hukuman mati itu sudah final. Karena di kitab hukum Pidana kita, ada hukuman pokok, ada hukuman tambahan. Di hukuman pokok itu semua fraksi sudah sepakat, salah satunya hukuman pokok itu adalah hukuman mati,”
ucap Muhammad Syafii di Gedung DPR RI, Kamis (28/7/2016).
Dalam menjatuhi hukuman mati, harus dilihat dari tindak kejahatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Menurut Syafii, bagi para pelaku kejahatan narkoba dan pelaku kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur, juga pantas dijatuhi hukuman mati.
“Mereka yang melakukan kejahatan narkotika dalam batas-batas yang membahayakan, pelaku seksual terhadap anak, pelaku seksual terhadap keluarganya sendiri, semuanya itu pantas dihukum mati,” jelas Syafii.
Kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur yang dilakukan oleh keluarganya sendiri, lanjut dia, adalah perbuatan yang biadab dan kejahatan yang keji, sehingga pantas dijatuhi hukuman mati. Hal ini sudah sangat membahayakan karena dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri.
“Ayah sama anak, ayah tiri sama anak tiri, paman sama ponakan, abang sama adik. Apa enggak berbahaya keluarga memperkosa anggota keluarganya sendiri,” paparnya.
Maraknya pelecehan seksual yang terjadi di Tanah Air dianggap sudah menghancurkan generasi bangsa Indonesia. Terutama para guru yang melecehkan muridnya sudah pantas dihukum mati. Karena seorang guru yang seharusnya mengajarkan hal-hal yang baik bagi generasi penerus bangsa, malah menghancurkan masa depan muridnya.
“Guru memperkosa murid. Anak-anak diperkosa. Ini harus dihukum mati,” tegasnya.
Selain itu, koruptor juga pantas mendapatkan hukuma mati. Para pelaku korupsi juga merupakan tindak pidana yang sangat luar biasa. Namun pemerintah saat ini malah mengeluarkan kebijakan Undang Undang Tax Amnesty
tentang pengampunan pajak.
“Korupsi kalau jumlahnya besar, inikan malah dapa Tax Amnesty. Korupsinya juga sudah besar malah diampuni,” imbuhnya.
Hal ini menurutnya sangat bertentangan dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2010 tentang pemberian remisi, terkait dengan narapidana bagi para tersangka koruptor yang tidak mendapat Remisi. Banyaknya narapidana yang tesangdung korupsi juga sudah membuat ruang tahanan semakin penuh.
“Hari ini kan yang berlaku dalam PP 99 itu koruptor tidak mendapat remisi, tapi tidak efektif. Karena ada yang korupsinya 10 juta rupiah, hukumannya empat tahun. Ga dapat remisi. Yang bagusnya, kalau korupsinya 10 juta rupiah itu menurut saya disuruh bayar aja, ditambah denda. Supaya lapas enggak penuh,” ucapnya.(Tornando)