Menyangkut keistimewaan Yogyakarta, gugatan atas penetapan Raja Yogyakarta yakni Sri Sultan Hamengkubuwono sebagai Gubernur ditolak Mahkamah Konstitusi (MK). Kedudukan Sultan sebagai Raja dan Gubernur oleh MK ditetapkan sudah konstitusional, alias tidak melanggar Undang Undang Dasar 1945.
Kuasa Hukum Raden Mas Adwin Suryosatrianto selaku Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Irmanputra Sidin menyampaikan, pihaknya diberi kuasa selaku Advokat dan Konsultan hukum untuk mempertahankan kestimewaaan Yogyakarta menyangkut tentang penetapan Sultan Bertahta dan Adipati Paku Alam sebagai calon/gubernur dan wakil gubernur.
Dengan dikeluarkannya putusan yang mengabulkan argumentasi permohonan para kuasa hukum Sultan ini oleh MK, lanjut Irman, maka mereka pun sebagai pihak terkait yang berkepentingan atas “gugatan” dari salah seorang warga Surabaya yang mempersoalkan konstitusionalitas penetapan Sultan bertakhta sebagai calon Gubernur dan Adipati Paku Alam sebagai calon Wakil Gubernur DI Yogyakarta (perkara No 42/PUU-XIV/2016) itu.
“Dalam pertimbangannya, MK telah menegaskan bahwa penetapan Sultan Bertahta sebagai calon atau sebagai gubernur dan wakil gubernur sudah final dan mengikat. Karena itu sudah sesuai konstitusi dan demokrasi,” ujar Irmanputra Sidin, di Jakarta, Kamis (28/07/2016).
Negara, lanjut dia, mengakui dan menghormati keistimewaan sebuah daerah seperti amanat Pasal 18 B ayat (1) UUD 1945. Dan karenanya pembentuk undang-undang, dalam hal ini DPR dan Presiden sebagai perwujudan frasa “dipilih secara demokratis” dalam pasal 18 ayat (4) UUD 1945, diberikan kewenangan untuk menetukan cara yang tepat dalam Pilkada, termasuk di daerah khusus dan daerah istimewa.
“Bahwa memang terdapat hak warga negara dibatasi dalam pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY namun hal tersebut dibenarkan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 dan semata-mata untuk pengakuan dan penghomatan kesejarahan Kasultanan Ngayogyaklarta Hadiningrat dan Kadipaten Paku Alaman,” ujarnya.
Lagi pula, kata Irmanputra Sidin, keduanya sudah ditegaskan secara konstitusional oleh MK bahwa telah memiliki wilayah, pemerintahan dan penduduk sebelum lahirnya NKRI, bahkan memiliki peran besar dan sumbangsih mempertahankan, mengisi dan menjaga keutuhan NKRI.
“Dengan demikian pembatasan tersebut adalah kuat, masuk akal dan proporsional dan tidak berlebihan,” ujarnya.
Oleh karenanya, lanjut Irman, model pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY melalui penetapan atas Sultan Bertakhta dan Adipati Paku Alam adalah bagian model demokrasi konstitusional menurut UUD 1945.
“Dan pasal ini sudah dikunci oleh Mahkamah Konstitusi, sehingga tidak ada peluang lagi untuk mempersoalkan konstitusionalitas pengisian jabatan tersebut kelak dikemudian hari,” pungkas dia.
MK telah menyatakan tidak dapat menerima permohonan uji materi Undang Undang Keistimewaan Daerah Yogyakarta (UUK DIY) nomor 13 Tahun 2012 yang diajukan oleh seorang advokad bernama Muhammad Sholeh.
“Mengadili, menyatakan permohonan pemohon tidak dapat diterima,” ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Arief Hidayat ketika membacakan amar putusan Mahkamah di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Kamis (28/07/2016).
Pemohon berpendapat, syarat pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta tidaklah demokratis. Pengisian dengan model begitu, menurut pemohon, telah menghalangi pemohon ataupun warga negara Indonesia lainnya untuk mencalonkan diri menjadi Gubernur maupun Wakil Gubernur di wilayah tersebut.
Terkait dengan hal itu MK berpendapat bahwa keistimewaan dalam pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur suatu daerah istimewa dibenarkan bahkan diberi landasan konstitusional sesuai dengan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945.
“Hak warga negara untuk mengisi jabatan tersebut memang dibatasi namun bukan berarti serta-merta melanggar hak asasi manusia sehingga bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 sebagaimana didalilkan Pemohon,” ujar Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams.
MK menyebutkan bahwa pembatasan tersebut justru dibenarkan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945. Menurut MK, pembatasan tersebut dilakukan semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak asal-usul dan kesejarahan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat dan Kadipaten Pakualaman sejak sebelum lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
“Dengan demikian pembatasan tersebut telah didasarkan atas alasan-alasan yang kuat, masuk akal, dan proporsional serta tidak berkelebihan,” ujar Wahiduddin.(JR)