Pemerintah dianggap tengah mabok proyek listrik. Karena itu, selain pelaksanaan proyek pembangkit listrik 35.000 Mega Watt, sejumlah proyek listrik lainnya yang harusnya diselesaikan, malah terkendala, terancam gagal.
Pesimisme akan terwujudnya program listrik yang sudah dirancang pemerintah itu pun kian menggunung. Pasalnya, dari proses pelaksanaan, tidak terlihat adanya upaya serius untuk mewujudkannya.
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Komaidi Notonegoro menyampaikan, salah satu yang perlu menjadi perhatian seluruh pemangku kepentingan adalah bahwa yang sedang dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi-JK saat ini bukan hanya program 35.000 MW, tetapi juga menyelesaikan pembangunan 7.400 MW dari FTP 1, FTP 2, dan proyek reguler yang belum terselesaikan.
“Memang ini bagai sedang mabok proyek. Secara keseluruhan, kami menilai, bahwa sejak awal program 35.000 MW memang merupakan program yang tidak dapat diselesaikan dengan cara yang biasa-biasa. Karena itu diperlukan kesungguhan dari seluruh pemangku kepentingan, terutama dari PLN yang ditunjuk sebagai pelaksana program. Dalam hal ini PLN tidak dapat bertindak hanya dalam perspektif korporasi, tetapi juga perlu bertindak sebagai kepanjangan tangan pemerintah,” ujar Komaidi Notonegoro, Senin (23/05/2016).
Dia menjelaskan, kasus pemadaman listrik di wilayah Nias merupakan bukti bahwa sampai saat ini penyediaan listrik nasional masih sangat rentan.
Menurut Komaidi, jika dibandingkan negara-negara Asean, sejumlah indikator kelistrikan Indonesia relatif tertinggal. Konsumsi listrik per kapita Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan Singapura dan Malaysia. Bagitupula dengan rasio kapasitas terpasang per 1.000 penduduk, Indonesia juga tertinggal dibandingkan negara Asean yang lain.
Rasio kapasitas terpasang per 1.000 penduduk dari Singapura, Brunai, Malaysia, dan Thailand masing-masing 2,03 MW, 1,84 MW, 0,98 MW, dan 0,81 MW. Sedangkan rasio kapasitas terpasang listrik Indonesia tercatat baru sekitar 0,19 MW untuk per 1.000 penduduk.
Mengacu pada permasalahan yang ada tersebut, Komaidi menilai, program 35.000 MW yang dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi-JK dan program 10.000 MW I & II yang telah dilaksanakan oleh pemerintahan Presiden SBY sebelumnya, merupakan terobosan yang sangat tepat.
“Akan tetapi berdasarkan pencermatan, dalam implementasinya pelaksanaan, program tersebut menghadapi sejumlah kendala,” ujarnya.
Pelaksanaan program pembangkit listrik 35.000 MW yang ditargetkan selesai selama kurun 5 tahun (2015-2019), lanjut dia, merupakan target yang tidak mudah.
Berdasarkan besaran tambahan kapasitas pembangkit, target 35.000 MW tepat jika pertimbangannya adalah agar pada beberapa tahun ke depan kebutuhan tenaga listrik Indonesia dapat terpenuhi.
“Akan tetapi dari aspek teknis dan bisnis target tersebut relatif sulit untuk direalisasikan dalam kurun waktu yang ditetapkan,” ujar Komaidi.
Sampai dengan saat ini di 2016, kata dia, status proyek 35.000 MW yang sudah COD/SLO, baru sebesar 3 MW atau baru sekitar 0,01 persen dari keseluruhan program. Sekitar 41 persen program saat ini dalam posisi financial close dan konstruksi. “Sebanyak 22 persen masih dalam proses pengadaan, dan 37 persennya malah masih dalam proses perencanaan,” kata Komaidi.
Demikian pula, dari keseluruhan program 35.000 MW, saat ini baru sebesar 14.436 MW proyek yang terkontrak yang terdistribusi atas 2.815 MW dikerjakan PLN dan 11.621 MW dikerjakan IPP (Independent Power Producers). Sementara sebesar 21.105 MW dari program tersebut sampai saat ini belum terkontrak.
Berdasarkan distribusi pelaksana, lanjut Komaidi, selain akan ditentukan oleh kinerja PLN, kesuksesan program 35.000 MW juga akan ditentukan oleh pihak swasta. Hal itu karena sebesar 25.268 MW dari program 35.000 MW akan dilaksanakan oleh IPP. “Sedangkan PLN akan melaksanakan 10.273 Mega Watt,” ujarnya.
Selain itu, persoalan yang sangat klasik, yakni persoalan pengadaan lahan menjadi salah satu masalah utama dalam pelaksanaan program 35.000 MW. Dijelaskan Komaidi, data menunjukkan sejumlah proyek yang termasuk dalam program 35.000 MW di beberapa daerah, menghadapi masalah pembebasan lahan. Sampai dengan 2016 terdapat 113 proyek 35.000 MW di Sumatera, Kalimantan, Jawa-Bali, Papua, Maluku, Sulawesi, dan Nusatenggara yang pengadaan lahannya masih bermasalah.
Salah satu masalah dalam program 35.000 MW adalah bahwa program tersebut sebagian belum masuk dalam rencana induk RTRW suatu wilayah. Hingga kini, baru sekitar 51 persen proyek 35.000 MW yang telah masuk dalam Perda dan RTRW dalam wilayah yang bersangkutan.
“Kami menilai, PLN akan menjadi faktor kunci yang akan menentukan keberhasilan agar tepat waktu atau tidak, dalam pelaksanaan proyek listrik itu. Hal itu karena sebagaimana pogram FTP 1 dan FTP 2 (10.000 MW Tahap I dan 10.000 MW Tahap II), PLN kembali ditunjuk pemerintah sebagai pelaksana program 35.000 MW,” ungkap Komaidi.
Belum diselesaikannya penyusunan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2016-2025 oleh PLN dari tenggat waktu yang ditetapkan, lanjut dia, kemungkinan akan berdampak terhadap pelaksanaan program 35.000 MW mundur dari jadwal yang telah ditetapkan.
Hal itu karena RUPTL merupakan basis dari pengembangan kelistrikan nasional, termasuk program 35.000 MW di dalamnya. “Permasalahan penyusunan RUPTL tersebut juga mencerminkan adanya permasalahan antara pemerintah dengan PLN selaku pelaksana program,” ujarnya.
Sementara itu, kata Komaidi, pembatalan lelang proyek sebesar 2.000 MW oleh PLN yang merupakan bagian dari program 35.000 MW akan menjadi preseden yang kurang baik bagi keberlanjutan pelaksanaan program 35.000 MW.
“Pembatalan proses lelang yang sedang berjalan atau bahkan telah diputuskan akan memunculkan keraguan dari para investor baik yang akan masuk maupun yang telah telah terlibat dalam program tersebut,” pungkas Komaidi.
Wakil Kepala Unit Pelaksana Program Pembangunan Ketenagalistrikan Nasional (UPKN3), Agung Wicaksono juga meragukan realisasi proyek listrik 36 ribu Megawatt yang dicanangkan Presiden Jokowi itu.
Menurut Agung, di internal Pemerintah sendiri, belum satu kepala atau masih ada perdebatan di internal kabinet terkait proyek tersebut.
“Masalah listrik ini negara belum satu,” ujar Agung dalam dialog yang digelar Smart FM bersama Populi Center di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (14/5/2016).
Agung mengungkapkan masih ada persoalan lain yang mengganjal proyek tersebut, yakni adanya revisi Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) yang menyebabkan proses lelang proyek pembangkit listrik tersebut baru sebatas 18 ribu megawatt.
“Ada yang sudah jalan lelang, sudah ada yang berjalan, tiba-tiba dibatalkan, skalanya nggak main-main 2 ribu Megawatt. Setelah proses lelang yang sekian lama, dibatalkan oleh PLN melalui agen pengadaan yang ditunjuk, tapi yang kita tangkap dari pasar ini nggak jelas alasannya apa. Artinya ini potensi kemunduran yang luar biasa,” ujar Agus.
Karena itu, Agung mengatakan Presiden harus segera mengambil peran penuh dalam pelaksanaan rencanannya dan mengevaluasi pihak-pihak yang berjalan lambat dalam memuluskan pembangunan pembangkit listrik 35 ribu Megawatt.
Pemerintah sendiri menetapkan 109 proyek yang masuk dalam program pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 MW selama periode 2015 hingga 2019.
Dalam Publikasi PT PLN (Persero),disebutkan bahwa daftar proyek pembangkit listrik 35.000 MW tersebut tercantum dalam Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 0074.K/21/MEM/2015 tentang Pengesahan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2015-2024.
Di antara proyek pembangunan pembangkit listrik itu ada 74 proyek pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 25.904 MW yang dikerjakan dengan skema pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) dalam lima tahun ke depan dan 35 proyek lainnya berdaya 10.681 MW dikerjakan PLN.
Proyek pembangunan pembangkit listrik dilakukan di Jawa-Bali (18.697 MW), Sumatera (10.090 MW), Sulawesi (3.470 MW), Kalimantan (2.635 MW), Nusa Tenggara (670 MW), Maluku (272 MW), dan Papua (220 MW).
Total kebutuhan pendanaan untuk pembangunan pembangkit listrik selama 2015-2019 sebanyak Rp1.127 triliun, dimana Rp512 triliun di antaranya dari PLN dan Rp615 triliun dari swasta dalam skema IPP.
Pendanaan PLN diperuntukkan bagi proyek pembangkitan Rp199 triliun dan transmisi serta gardu induk Rp313 triliun. Sementara, kebutuhan pendanaan IPP Rp615 triliun seluruhnya untuk pembangkitan.
Dari 74 proyek IPP, sebanyak 21 proyek berkapasitas 10.348 MW, yang di antaranya ada yang sampai pada tahap pengadaan.
Selain itu ada 16 proyek IPP berkapasitas 4.648 MW yang proses pengadaannya sudah dimulai melalui penunjukkan langsung mengacu pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 3 Tahun 2015 tentang Prosedur Pembelian Tenaga Listrik.
Sisanya, sebanyak 37 proyek IPP berkapasitas 10.908 MW, proses pengadaannya akan dilakukan menggunakan mekanisme pelelangan.
Sedangkan dari 35 proyek yang dikerjakan PLN, delapan proyek berkapasitas 2.301 MW di antaranya sudah berlangsung proses pengadaannya dengan metoda pelelangan.
Sementara, 27 proyek lainnya dengan kapasitas 8.380 MW proses pengadaannya juga akan dilakukan dengan mekanisme pelelangan.
Proyek 35.000 MW tersebut merupakan upaya memenuhi kebutuhan listrik 7.000 MW per tahun dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6-7 persen.
Sesuai Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik 2015-2024, pemerintah memproyeksikan beban puncak listrik dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6,1 persen pada 2015 akan mencapai 36.787 MW dan pada 2019 bakal sampai 50.531 MW dengan pertumbuhan ekonomi 7,1 persen, dan tahun 2024 mencapai 74.536 MW dengan asumsi pertumbuhan 7 persen.
Saat ini, kapasitas listrik terpasang nasional adalah 50.000 MW. Dengan tambahan 35.000 MW, maka rasio elektrifikasi meningkat dari 84 persen pada 2015 menjadi 97 persen pada 2019.(JR-1)