Mahasiswa Universitas Muhammadiyah minta kepada para pasangan capres dan pendukungnya untuk tidak membunuh demokrasi yang sedang tumbuh di Indonesia.
Dengan melihat karakteristik dan sepak terjang para pasangan calon, demokrasi Indonesia kini malah mengalami ancaman serius.
Hal itu disampaikan, Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Wiebi Winarto menanggapi kian riuhnya proses demokrasi di Indonesia yang perlahan mulai lari dari prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Menurut Wiebi Winarto, para pasangan capres 2019 dan pendukungnya banyak mempertontonkan ketidaksiapan menghadapi proses demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia.
Wiebi menyatakan, praktik-praktik berpolitik yang malah anti demokrasi itu terus-terusan dipertontonkan.
Hal itu mengingatkannya kepada sebuah buku How Democracies Dies menyatakan bahwa ada ciri – ciri yang menunjukkan seorang politikus anti demokrasi, diantaranya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt.
“Mereka mempertontankan diri mereka tidak siap untuk menerima kekalahan. Hal itu juga semakin mencederai demokrasi yang ada saat ini. Mereka kok masih menunjukkan praktik dengan ciri-ciri politikus anti demokrasi,” tutur Wiebi Winarto, Senin, (06/05/2019).
Lebih lanjut, pria yang belajar di Jurusan Ilmu Pemerintahan ini menjelaskan, paling tidak ada 4 indikator utama untuk mengukur praktik politik para pasangan capres dan pendukungnya yang menunjukkan hendak membunuh demokrasi di Indonesia.
Indikator pertama, komitmen terhadap aturan main yang demokratis. Kedua belah pihak mestinya melakukan dan tunduk kepada aturan main yang demokratis yang sudah ditetapkan oleh Undang-Undang.
“Persoalan-persoalan Kepemiluan itu harusnya diselesaikan dengan menempuh jalur konstitusional,” ujarnya.
Indikator kedua, adanya delegitimasi masing-masing kubu terhadap penyelenggara Pemilu. Upaya mendelegitimasi KPU, misalnya, adalah upaya yang jauh dari praktik demokratis.
Indikator ketiga, komitmen bertoleransi yang kian lemah. Menurut Wiebi Winarto, tekad bertoleransi harus dijunjung tinggi dalam demokrasi.
“Jika sampai ada ancaman dan korban jiwa dalam berdemokrasi, maka itu tidak dibenarkan dalam system demokrasi,” tuturnya.
Indikator keempat, memberikan dukungan kepada kemerdekaan sipil dan kemerdekaan media massa. Indikator yang keempat ini menjadi salah satu ukuran apakah pasangan capres itu demokratis atau tidak.
“Jika kebebasan sipil dan kemerdekaan pers diancam dan terancam, maka praktik anti demokrasi sedang terjadi. Dan upaya itu dinilai sebagai salah satu upaya membunuh demokrasi,” tuturnya.
Wiebi mengatakan Pemilihan Presiden sejatinya adalah sebuah alat dalam sebuah sistem demokrasi untuk melakukan sirkulasi kepemimpinan.
Lanjutnya, apa yang terjadi di Indonesia saat ini sudah menuju pada pendewasaan demokrasi.
Namun apabila dalam perjalanannya Pemilu ini masih didapati politisi-politisi yang tidak berkomitmen pada demokrasi itu sendiri, maka ancaman sedang terjadi di depan mata.
“Ini merupakan sebuah ancaman bagi kita sebagai sebuah bangsa. Karenanya, kita sebagai rakyat tidaklah tinggal diam. Kita juga wajib turut menentukan siapa yang akan menjadi pemimpin kita. karena pemimpin adalah salah satu penentu maju-mundurnya sebuah bangsa,” tuturnya.
Jika melihat pola yang dimainkan kedua kubu pasangan capres yang ada hari ini, Wiebi berpendapat, satu kubu berupaya menjaga ketenangan dan bersifat kalam dalam merespon proses-proses demokrasi yang terjadi.
Sedang satu kubu lagi penuh dengan ancaman, emosi yang tidak stabil, serta tidak taat prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.
Gaya kampanye dan pendekatan serta model komunikasi politik yang dimainkan masing-masing kubu, akan membentuk pencitraan baru.
Pencitraan itu akan mempengaruhi khalayak dan menimbulkan reaksi. “Apakah akan bersimpati, berempati atau malah antipati dengan gaya yang dilakonkan? Masyarakat akan menilai pencitraan baru yang terbentuk dari gaya dan pola yang dilakukan masing-masing kubu,” tutur Wiebi.
Wiebi menuturkan, dalam teori pencitraan yang disampaikan Nimmo, citra adalah segala hal yang berkaitan dengan situasi keseharian seseorang; menyangkut pengetahuan, perasaan dan kecenderungannya terhadap sesuatu.
Sebagai bagian dari komunikasi politik, pencitraan dilakukan secara persuasif untuk mempertegas arsiran antara harapan pemilih dengan calon pemimpin atau kandidat.
Bahkan, lanjutnya, seorang pakar komunikasi politik M Wayne De Lozier dalam Teori Image Building menyebutkan, citra akan terlihat atau terbentuk melalui proses penerimaan secara fisik melalui panca indra, masuk ke saringan perhatian (attention filter), dan dari situ menghasilkan pesan yang dapat dilihat dan dimengerti yang kemudian berubah menjadi persepsi dan akhirnya membentuk citra.
“Hal ini wajar dilakukan, karena faktor pencitraan juga ikut menentukan berhasil tidaknya sebuah kampanye,” ujarnya.(JR)