Rencana pengesahan revisi UU KPK dan revisi KUHP pada 25 September 2019 adalah praktik terburuk legislasi dalam sejarah parlemen Indonesia pascareformasi.
Direktur Eksekutif Setara Institute dan Pengajar Hukum Tata Negara UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Ismail Hasani menyampaikan, selain cacat formil, proses pembahasan UU KPK sama sekali tidak melibatkan stakeholders yang justru akan menjalankan UU KPK itu.
“Padahal KPK adalah institusi yang paling terkena dampak dari keberlakuan hasil revisi ini. Legislasi yang baik harus memastikan pemetaan dampak bagi para pihak, sehingga kehadiran produk hukum baru itu diterima atau accepted dan berjalan efektif,” tutur Ismail, Rabu (18/09/2019).
Praktik legislasi sebagaimana digambarkan dalam parade kilat revisi UU KPK adalah manifestasi legislative corruption. Karena materi-materi muatan yang dikandung justru memperlemah KPK dan memangkas energi pemberantasan korupsi.
“Korupsi legislasi adalah kinerja legislasi yang memungkinkan dan memudahkan orang melakukan tindak pidana korupsi atau membuat lembaga-lembaga pemberantasan korupsi menjadi tidak efektif bekerja memberantas korupsi,” katanya.
Kecepatan respons Jokowi dengan mengutus perwakilan pemerintah membahas revisi UU KPK dan kecepatan proses pembahasan RUU itu, menurut dia, menggambarkan bahwa niat pelemahan KPK memang sudah dirancang sejak awal. Dan hanya menunggu momentum yang tepat, dimana semua i’tikad dugaan pelemahan KPK itu dijalankan.
“Momentum itu ada pada kemenangan Jokowi dalam Pemilu 2019 dan di penghujung akhir masa jabatan DPR,” tutur Ismail lagi.
Kondisi Jokowi yang sudah dipastikan memasuki periode kedua kepemimpinannya pada 2019-2024, secara politik tidak lagi memerlukan citra publik yang konstruktif untuk memberikan efek elektoral bagi dirinya. Karena Jokowi tidak bisa lagi mencalonkan sebagai presiden mendatang.
Bagi Ismail, Jokowi benar-benar menegaskan dirinya sebagai petugas partai yang secara patuh menundukkan diri pada kehendak partai-partai politik.
Sementara, momentum masa berakhirnya DPR Periode 2014-2019 telah memberikan keleluasaan pada segelintir penguasa parlemen menjalankan hasrat pelemahan KPK yang sudah sejak awal terus diujicobakan.
“Karena hampir separuh anggota DPR saat ini sudah tidak lagi menjalankan tugasnya secara efektif,” cetusnya.
Pelemahan KPK telah berjalan sempurna. “Dari berbagai segi, revisi UU KPK secara keseluruhan telah mengikis sifat independensi KPK yang sangat berpengaruh pada kinerja KPK di masa mendatang,” tutup Ismail Hasani.(JR)