Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat Untuk Daulat Agraria (TeKAD GARUDA) telah mengajukan memori banding terhadap kasus kriminalisasi yang menimpa pejuang lingkungan hidup Heri Budiawan, atau biasa dipanggil Budi Pego. Budi yang merupakan warga Desa Sumber Agung, Banyuwangi, dipidana dengan tuduhan menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme dan marxisme dalam aksi penolakan tambang emas Tumpang Pitu di Banyuwangi pada 4 April 2017.
Staf advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jane Aileen, menuturkan dalam kasus penolakan tambang emas Tumpang Pitu, kriminalisasi telah memakan korban setidaknya 15 orang dalam 5 kasus. “Saat ini, selain Budi Pego, masih ada tiga warga lainnya yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan penyebaran komunisme,” katanya dalam siaran persnya, Jumat (23/02/2018).
Di Jawa Timur sendiri pada 2017 sudah 25 warga yang mengalami kriminalisasi karena aktivitasnya memperjuangkan ruang hidup dan hak-hak mereka. Tingginya angka kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup dan hak asasi manusia ini menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap para aktivis HAM.
“Dalam kasus yang menimpa Budi Pego ini tampak jelas bahwa pemidanaan yang dilakukan merupakan usaha pembungkaman dan pengerdilan terhadap perlawanan masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan emas Tumpang Pitu yang selama ini dianggap mengancam keselamatan ruang hidup mereka,” ujar Jane.
Warga penolak tambang emas mengaku tidak pernah membuat spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit dalam aksi mereka. Fakta ini juga terungkap dalam persidangan Pengadilan Negeri Banyuwangi. Sementara spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit yang dituduhkan kepada warga muncul secara tiba-tiba ditengah aksi warga, tanpa disadari oleh warga yang melakukan aksi.
“Warga menuturkan bahwa saat kejadian, mereka diminta membentangkan spanduk dengan tulisan penolakan terhadap aktivitas tambang PT BSI oleh orang yang tidak dikenal dan asal spanduk juga tidak berasal dari spanduk yg dibuat oleh peserta aksi,” ujarnya.
Mereka baru mengetahui keberadaan gambar menyerupai logo palu arit setelah polisi menunjukkan foto-foto spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit tersebut.
Bahkan, keberadaan spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit tidak diketahui lagi keberadaanya. Pihak kepolisian dan jaksa penuntut umum dalam persidangan hanya dapat menghadirkan bukti video aksi saja tanpa menghadirkan barang bukti spanduk yang bergambar mirip palu arit.
Manajer Pendidikan dan Pengembangan Jaringan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, mengatakan tuduhan penyebaran ajaran komunisme kepada Budi Pego tidak relevan.
Selain itu, vonis majelishakim terhadap Budi Pego dengan hukuman penjara selama 10 bulan dari tuntutan jaksa penuntut umum selama 7 tahun sangat dipaksakan. Menurut Wahyu, dugaan kriminalisasi juga terjadi karena spanduk yang bergambar mirip logo palu arit sengaja disusupkan oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Apalagi fakta persidangan membuktikan jika tidak ada satupun saksi yang menerangkan adanya pembuatan gambar mirip logo palu arit tersebut.
Pihaknya melihat, kriminalisasi warga yang memperjuangkan kelestarian lingkungan dan ruang hidupnya masih menjadi alat yang terus dipakai untuk menekan perjuangan warga.
“Padahal Pasal 66 UU Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menyatakan bahwa ‘setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata’. Namun pasal ini seolah tidak berarti dihadapan kerakusan investasi yang mengancam keselamatan lingkungan dan ruang hidup rakyat,” ujar Wahyu.(JR)