Para punggawa hukum di Indonesia diminta untuk teliti dan tidak mempermain-mainkan proses hukum. Sejumlah oknum aparatur hukum dinilai memiliki niat tidak baik dalam mengusut sejumlah perkara, terutama kasus-kasus yang dipaksakan sebagai Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Alhasil, kerap masyarakat atau warga kecil yang tidak melakukan korupsi yang malah dituduh dan dikorbankan demi syahwat oknum-oknum penegak hukum bersama komplotannya yang getol memperdayakan proses hukum.
Ketua Barisan Rakyat 01 Juni (BARAK 106) Jainal Pangaribuan mengaku bingung, dan hati kecilnya sebagai masyarakat awam proses hukum berontak dengan apa yang dilakukan aparatur hukum kepada salah seorang kerabatnya, sahabatnya dari kecil, Flora Simbolon.
Pria yang akrab disapa Jen Maro ini, mengaku menelusuri dan mempelajari dokumen-dokumen yang dimiliki Flora Simbolon dalam dugaan Tindak Pidana Korupsi Paket Pekerjaan Engineering Procurement Contruction (EPC) Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Martubung Medan dari Perusahaan Air Minum Daerah Tirtanadi (PDAM Tirtanadi) Medan.
Selain itu, belakangan ini, pria yang merupakan mantan aktivis mahasiswa era 1990-an ini kerap berkomunikasi dan bertemu dengan sanak keluarga Flora Simbolon untuk mendiskusikan dan menganalisis perkara yang dipaksakan menjerat Flora itu.
“Saya tidak habis pikir, sebegitu getolnya jaksa mengotot harus membidik Flora Simbolon sebagai korban dan divonis penjara 8 tahun atas tuduhan yang tidak dilakukannya. Saya yang awam hukum saja mengerti, ada yang tidak beres dalam proses-proses hukum yang dipaksakan. Konstruksi proses hukumnya saja sudah tidak benar,” ujar Jen Maro, di Jakarta, Minggu (24/03/2019).
Jen Maro bersama keluarga korban bersama Tim Kuasa Hukumnya Flora pun menelusuri dan berkonsultasi serta menganalisis proses-proses hukum yang dialami Flora Simbolon. Sejumlah pakar hukum yang bisa dijangkaunya diajak diskusi dan menganalisa proses hukum yang dimulai dari Jaksa di Kejaksaan Negeri Belawan (Kejari Belawan) pada 2017 itu.
Flora Simbolon yang hanyalah seorang staf karyawan biasa di perusahaan keluarga milik kakak iparnya, PT Lesindo Jaya Utama (LJU). Perempuan yang tinggal di Pangkalan Jati I 4C RT 003/RW 013, Kelurahan Cipinang Melayu, Kecamatan Makassar, Jakarta Timur itu, seorang ibu memiliki anak-anak yang masih kecil. Menurut Jen Maro, kondisi kehidupan rumah tangga Flora Simbolon pun biasa-biasa saja.
“Suaminya, kawanku juga. Bekerja karyawan biasa di pabrik di darah Bekasi, Jawa Barat. Rumah mereka saja kecil di gang-gang, yang tidak bisa masuk mobil. Logika jaksa saya kira kacau, jika jaksa tidak menelusuri kondisi sebenarnya itu, jika memang korupsi, minimal asset Flora bisa dilacaklah. Apa benar dia jadi kaya dari kerja di perusahaan itu atau dari pekerjaan yang jadi kasus korupsi itu?” tanya Jen Maro.
Dari analisa dan kondisi faktual yang dikumpulkan Jen Maro, ditemukan adanya dugaan pemaksaan dan kriminalisasi hukum terhadap Flora Simbolon oleh aparatur hukum, khususnya jaksa dari Kejari Belawan bersama komplotannya.
“Sangat anomali proses hukum yang terjadi kepada Flora. Anomali hukum ini saya gambarkan sebagai tindakan kriminalisasi hukum yang dilakukan secara sistematis dan dipaksakan. Ini yang sangat berbahaya bagi para pencari keadilan. Mungkin selama ini, masyarakat jika dibilang akan diproses hukum akan takut dan akan manut mengikuti saja proses yang terjadi. Kali ini, tidak, kita tidak bisa diamkan ini,” ujar Jen Maro.
Jen Maro membeberkan sejumlah kejanggalan proses hukum yang dilakukan jaksa dari Kejari Belawan. Kasus ini dipaksakan dan hanya menetapkan dua orang sebagai tersangka yakni Flora Simbolon sebagai staf dari PT LJU, dan seorang lagi bernama M Suhari yang merupakan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dari Direksi PT PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara.
Kedua orang ini, lanjutnya, hanyalah staf cere, yang tidak melakukan korupsi, namun dikorbankan. “Jika pun ada dugaan korupsi, kok tidak ada penggede mereka yang dijadikan tersangka, yang seharusnya bertanggung jawab atas pekerjaan dan proyek itu. Itu kan di bawah wewenang bos-bos mereka. Dan itu pasti sepengetahuan bos-bos mereka dong. Tapi mereka tidak disentuh jaksa. Itu anomali proses hukum yang pertama yang saya lihat,” tutur Jen Maro.
Anomali kedua, lanjutnya, proyek itu telah dikerjakan dengan baik. Terbukti dengan adanya serah terima pada September 2016. M Suhari selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), yang bertindak untuk dan atas nama Proyek Penambahan dan Pengembangan Produksi Air (Proyek P3A) PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, yang berkedudukan di Jalan Sisingamangaraja Nomor 1 Medan, berdasarkan Surat Keputusan Direktur PDAM Tirtanadi Provinsi Sumut, No. 65/kpts/2013/ tanggal 5 Juni 2013.
Pekerjaan EPC Pembangunan Instalasi Pengolahan Air Martubung telah diselesaikan, diuji coba, dan diserahterimakan oleh Penyedia Jasa dengan Kinerja Baik dan telah sesuai dengan kriteria fungsi yang diisyaratkan di dalam kontrak. Serah terima itu dibuatkan dalam bentuk Sertifikat Penerimaan Pekerjaan yang diterima dan diteken oleh Direktur Utama PDAM Tirtanadi Provinsi Sumut Sutedi Raharjo dan PPK M Suhari.
“Artinya, tentu serah terima itu telah melalui proses-proses legal dan juga audit semua keuangan dan anggaran. Pekerjaan telah diterima dengan baik, kok mendadak dituduh ada korupsi dan yang dibidik cuma Flora Simbolon pula,” ungkap Jen Maro.
Yang lebih mengherankan lagi, lanjut Jen Maro, sebagai anomali proses hukum yang ketiga dalam kasus ini, adalah pemaksaan dugaan audit yang hanya dilakukan oleh seorang auditor swasta bernama Hernold Ferry Makawimbang.
Jen Maro menyatakan, penyidik dari Kejari Belawan menjadikan keterangan Hernold Makawimbang itu sebagai landasan memaksakan proses penyidikan dan penetapan tersangka kepada Flora Simbolon. Selain itu, di dalam persidangan pun, jaksa memaksakan Hernold Makawimbang sebagai saksi ahli yang memperkuat penetapan vonis kepada Flora.
“Ini anomali ketiga. Bukankah, untuk audit resmi seperti proyek PDAM Tirtanadi itu, penyidik harus mempergunakan institusi audit resmi Negara, seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP, atau Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)? Kok dipaksakan harus konsultan swasta seperti Hernold Makawimbang sih? Sampai kini, BPKP atau BPK tidak ada mengeluarkan hasil audit mereka secara resmi mengenai proyek itu, dan tidak ada kejanggalan dalam pekerjaan yang dilakukan kok,” papar Jen Maro.
Upaya sistematis dan pemaksaan kriminalisasi terhadap Flora Simbolon semakin kentara ketika penetapan status tersangka. Flora Simbolon yang melakukan perlawanan hukum dan tidak terima ditetapkan sebagai tersangka mengajukan permohonan Praperadilan di Pengadilan Negeri Medan (PN Medan).
Hasil keputusan Hakim Praperadilan PN Medan terhadap status tersangka Flora Simbolon, sangat mencengangkan. Permohonan Flora diterima Hakim Praperadilan. Artinya, status tersangkanya dibatalkan. Hakim menyatakan bahwa Flora Simbolon tidak layak dijadikan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Keputusan Hakim Praperadilan PN Medan itu dilakukan pada Jumat 26 Oktober 2018, dengan Hakim Praperadilannya Irwan Effendi, dibantu Enny Reswita selaku Panitera Pengganti.
“Namun putusan praperadilan itu tidak digubris jaksa. Putusan Hakim Praperadilan itu tidak ada gunanya dan tidak memiliki kekuatan hukum bagi jaksa. Jaksa tetap memaksakan, dan melanjutkan penyidikannya, dengan status Flora sebagai tersangka. Dan terus berproses di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Medan, sampai dia divonis hukuman penjara 8 tahun. Ini aneh sekali kan. Anomali banget proses hukum yang terjadi,” beber Jen Maro.
Kasus yang mendera Flora Simbolon ini adalah dugaan tindak pidana korupsi Penyimpangan Paket Pekerjaan Instalasi Pengelolaan Air (IPA) dan Jaringan Pipa Transmisi di Martubung (masuk wilayah Belawan). Proyek ini dikerjakan secara KSO atau Kerja Sama Operasional bersama antara PT Promit dan PT Lesindo Jaya Utama (LJU), dengan anggaran Rp 58.379.117.000 (Lima Puluh Delapan Miliar Tiga Ratus Tujuh Puluh SembilanJuta Seratus Tujuh Belas Ribu Rupiah), yang bersumber dari Penyertaan Modal Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2014 di Perusahaan Daerah Air Minum Kota Medan (PDAM).
Flora Simbolon sebagai Wakil KSO PT Promit-PT Lesindo Jaya Utama, dijerat dengan menggunakan Pasal 2 Subsidier Pasal 3 junto Pasal 18 Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi junto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana.
Paket Pekerjaan Instalasi Pengelolaan Air (IPA) dan Jaringan Pipa Transmisi di Martubung itu dilakukan dengan pengorganisiran yakni Kuasa Pengguna Anggaran (KPA)/Pengguna Anggaran adalah Direksi PDAM Tirtanadi Provinsi Sumatera Utara, dengan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) M Suhari, dengan Panitia Pengadaannya yakni Ketua PPPH Muhri Fepri Iswanto, Sekretaris PPPH Anton Simatupang dan anggota PPPH adalah Dewi Mala, Suyanto, Parlin Halasson Bakkara, Muhammad Arif Siregar. Kemudian, Penyedia Jasa adalah KSO PT Promit dan PT Lesindo Jaya Utama, dengan Panitia Pelelangan yakni Halimaussadiah sebagai Ketua Panitia, dan Nurlin sebagai Sekretaris.
Kasus ini disidik dan ditangani jaksa-jaksa dari Kejaksaan Negeri Belawan (Kejari Belawan) yang terdiri dari Akbar Pramadhana, Nurdiono, Suheri Wira Fernanda, Franciskawati Nainggolan, Ruji Wibowo, Gerry Anderson Gultom, Christian Sinulingga, Tompian Jopi Pasaribu dan Samgar Siahaan.
Jen Maro mengatakan, Flora Simbolon sudah dijatuhkan vonis 8 tahun di Pengadilan Tipikor Medan pada Jumat 8 Maret 2019, dengan Ketua Majelis Hakim Tipikornya Syafril Batubara. Majelis Hakim Tipikor juga memerintahkan agar Flora memberikan ganti rugi Rp 1,4 miliar serta denda Rp 250 juta.
“Ini sangat tidak adil. Kita sudah masukkan surat ke Jaksa Agung, ke Jamwas, ke Mahkamah Agung, ke Hakim Bidang Pengawasan, ke Komisi Yudisial dan ke DPR, agar kasus ini dibongkar dan aparat penegak hukum berhenti melakukan pemaksaan dan kriminalisasi hukum terhadap warga. Bebaskan Flora. Proses hukum yang dilakukan itu sangat tidak adil,” tutup Jen Maro.(JR)
1 Comment
Laris Naibaho
Wah. Ini perlu perhatian serius, terutama para punggawa pembela rakyat. Penegakan hukum harus diutamakan di era ini. Jangalah sukak-sukak Jaksa memelintir Hukum itu sendiri.
Jaksanya harus diprosen ini.