Jampidum Fadil Zumhana: Asah Kearifan Lokal Dalam Penegakan Hukum Untuk Membangun ‘Kampung Restorative Justice’

Jampidum Fadil Zumhana: Asah Kearifan Lokal Dalam Penegakan Hukum Untuk Membangun ‘Kampung Restorative Justice’

- in DAERAH, EKBIS, HUKUM, NASIONAL, POLITIK, PROFIL
951
0
Jampidum Fadil Zumhana: Asah Kearifan Lokal Dalam Penegakan Hukum Untuk Membangun ‘Kampung Restorative Justice’. - Foto: Dr Fadil Zumhana, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Jampidum).(Ist)Jampidum Fadil Zumhana: Asah Kearifan Lokal Dalam Penegakan Hukum Untuk Membangun ‘Kampung Restorative Justice’. - Foto: Dr Fadil Zumhana, Jaksa Agung Muda Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Jampidum).(Ist)

Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Jampidum) Dr Fadil Zumhana menekankan perlunya mengasah kearifan lokal dalam penegakan hukum. 

Hal itu ditegaskan mantan Direktur Penyidikan Kejaksaan Agung (Dirdik) itu ketika memberikan penjelasan terkait ‘Mengasah Kearifan Lokal Dalam Penegakan Hukum Dalam Rangka Membangun Kampung Restorative Justice’, Rabu (02/02/2022). 

Jampidum Fadil Zumhana menjelaskan, per defenisi, tujuan hukum sebagaimana terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), menyebutkan Hukum sebagai peraturan atau adat yang secara resmi dianggap mengikat yang dikukuhkan oleh penguasa atau Pemerintah.  

“Dengan kata lain, hukum tidak hanya berarti peraturan resmi yang dibuat oleh Pemerintah (Negara) tetapi juga termasuk adat istiadat yang berlaku di masyarakat yang harus diakui keberadaannya oleh Negara,” tutur Jampidum Fadil Zumhana. 

Kemudian, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat (Kajati Kalbar) ini melanjutkan, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, telah mendeklarasikan Indonesia sebagai Negara Hukum (Rechstaat). 

Yang memiliki makna bahwa seluruh tata kehidupan bernegara di Indonesia tunduk kepada aturan hukum, baik aturan hukum tertulis yakni Undang-Undang dan turunannya, maupun aturan hukum yang tidak tertulis yaitu Hukum Adat serta Nilai-Nilai Budaya Masyarakat. 

“UUD 1945 juga secara tegas mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan prinsip negara kesatuan yang diatur dalam Undang-Undang,” sebut Fadil Zumhana. 

Sebagai Negara Hukum, lanjutnya, Filsuf Aristoteles menyatakan bahwa Negara haruslah berdiri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga Negaranya. Karena keadilan merupakan syarat bagi tercapainya kebahagiaan hidup untuk warga Negaranya. 

Dilanjutkan Fadil Zumhana, sedangkan Ahli Hukum Gustav Radbruch menyatakan, hukum haruslah memiliki 3 nilai yang merupakan tujuan dari hukum, yaitu kepastian hukum (rechtmatigheid), keadilan hukum (gerechtigheid) dan kemanfaatan hukum (doelmatigheid). 

“Ketiga nilai tersebut harus dapat diwujudkan dalam proses penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Aparat Penegak Hukum, khususnya Jaksa selaku penegak hukum Pemerintah, yang memiliki posisi sentral dalam sistem peradilan pidana dan selaku dominus litis,” terang Jampidum Fadil Zumhana. 

Jampidum Fadil Zumhana juga menegaskan, Hukum Adat dan Kearifan Lokal sebagai jati diri Bangsa Indonesia. 

Pasal 18B UUD 1945 secara tegas mengakui keberadaan Hukum Adat sebagai salah satu sumber hukum tidak tertulis yang berlaku di Indonesia. 

Hal itu sebagai bukti dari pengakuan keberadaan Hukum Adat tersebut, Pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan Sipil. 

“Yang mengakui keberadaan sanksi pidana adat untuk dijadikan pidana pokok oleh hakim dalam memeriksa, mengadili dan memutus perbuatan yang menurut hukum yang hidup atau living law dianggap sebagai tindak pidana yang tiada bandingnya dalam KUHP,” terang Fadil Zumhana. 

Sedangkan Ahli Hukum Van Vollenhoven, lanjut Fadil Zumhana, telah mengelompokkan Hukum Adat Indonesia ke dalam 19 Lingkungan Hukum Adat. 

Yang terdiri dari Lingkungan Hukum Adat Aceh; Tanah Gayo, Alas dan Batak; Daerah Minangkabau dan Mentawai; Sumatera Selatan; Daerah Melayu; Bangka dan Belitung; Kalimantan; Minahasa/Manado; Gorontalo; Tana Toraja; Sulawesi Selatan; Kepulauan Ternate; Maluku – Ambon; Papua; Kepulauan Timor; Bali dan Lombok; Bagian Tengah Jawa, Jawa Timur dan Madura; Solo-Yogyakarta; dan Lingkungan Hukum Adat Jawa Barat (Parahyangan, Tanah Sunda, Jakarta serta Banten). 

“Keseluruhan lingkungan Hukum Adat tersebut memiliki karakteristik sendiri yang mencerminkan nilai-nilai budaya masyarakat lokal, yang sangat mempengaruhi sendi-sendi kehidupan masyarakat,” jelasnya. 

Jampidum Fadil Zumhana mengatakan, Hukum Adat diterima oleh masyarakat sebagai norma yang dipatuhi, sehingga setiap terjadi sengketa perselisihan dalam bentuk apa pun, baik pidana atau perdata, tindakan penyelesaian yang diambil oleh Tokoh Adat selalu diterima oleh masyarakat tanpa ada keberatan dari pihak mana pun. 

Dia juga menyoroti efektivitas Hukum Adat yang berlaku di masyarakat. Menurut Fadil Zumhana, Hukum Adat hakekatnya merupakan bukti dari adanya kearifan lokal bangsa Indonesia. 

Hukum Adat memiliki nilai-nilai yang sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat, dan terkadang jauh lebih efektif dalam menyelesaikan setiap terjadinya perselisihan di kalangan masyarakat Indonesia dibandingkan dengan hukum formil, baik hukum pidana maupun perdata yang berlaku selama ini. 

Hal itu dikarenakan Hukum Adat memiliki sifat-sifat antara lain, satu, Hukum Adat memiliki sifat kosmis yang menyatukan masyarakat, baik dengan sesama anggota masyarakat, maupun antara masyarakat dengan alam semesta. 

Dua, Hukum Adat sangat terbuka untuk setiap peristiwa yang terjadi, sehingga dapat mengadili semua sengketa yang terjadi dalam masyarakat tanpa dibatasi oleh aturan yang bersifat formil dan tertulis. 

Tiga, sanksi hukum adat dijatuhkan tidak hanya terhadap pelaku tetapi dapat juga dijatuhkan kepada kerabat atau keluarganya, bahkan dapat juga dijatuhkan kepada masyarakat yang bersangkutan untuk mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu akibat adanya peristiwa atau sengketa dalam masyarakat. 

Empat, Putusan Tokoh Adat terhadap setiap sengketa yang terjadi dalam masyarakat selalu dianggap sebagai putusan yang benar dan terbaik, sehingga dipatuhi oleh semua pihak, baik para pihak yang bersengketa, keluarga para pihak maupun masyarakat sekitar. 

Putusan atas sengketa atau perselisihan dalam masyarakat yang diselesaikan berdasarkan    Hukum Adat, baik  sengketa atau perselisihan yang bersifat Pidana atau Perdata, hampir selalu diterima oleh pelaku, korban dan atau pihak yang bersengketa tanpa ada keberatan. 

“Karena putusan tersebut selalu diambil oleh para Tokoh Adat dengan melibatkan para pihak yang bersengketa, keluarga serta masyarakat sekitar terjadinya perselisihan. Sehingga mencerminkan rasa keadilan yang bersifat universal, karena tidak hanya diterima oleh masyarakat, tetapi juga dianggap diterima oleh alam,” terang Jampidum Fadil Zumhana. 

Jampidum Fadil Zumhana juga menyampaikan perlunya optimalisasi Penerapan Hukum Adat dalam Penegakan Hukum di Indonesia. 

Dalam perkembangan penegakan hukum saat ini, menurut Fadil Zumhana, proses penegakan hukum yang bertujuan untuk memberikan keadilan retributive atau distributive saat ini telah bergeser menjadi pemulihan kepada keadaan semula atau yang dikenal dengan keadilan restoratif (restorative justice). 

“Prinsip keadilan restoratif tersebut pada hakekatnya sangat sejalan dengan penegakkan Hukum Adat yang bertujuan mengembalikan keseimbangan kosmis yang terganggu akibat adanya sengketa atau kejahatan di masyarakat,” jelas Fadil Zumhana. 

Dalam proses penegakkan hukum pidana, sering kali putusan yang dijatuhkan Hakim mendapat perlawanan dalam bentuk pengajuan banding oleh Terdakwa ataupun oleh Jaksa, yang merasa bahwa putusan tersebut tidak mencerminkan keadilan. 

Hal berbeda terjadi dalam proses Peradilan Adat, hampir semua putusan peradilan adat diterima tanpa adanya keberatan dari para pihak. Karena putusan tersebut pada hakekatnya diambil bersama-sama antara pelaku dan korban, dengan disaksikan dan melibatkan tokoh adat serta masyarakat setempat. Sehingga putusan tersebut sangat mencerminkan keadilan, baik rasa keadilan pelaku, korban maupun masyarakat. 

“Prinsip peradilan adat tersebut pada hekekatnya sangat sejalan dengan mekanisme Restorative Justice yang saat ini dikembangkan oleh Jaksa Agung. Sehingga perlu diberdayakan dan diterapkan dalam penyelesaian perkara-perkara yang ringan sifatnya,” ujar Jampidum Fadil Zumhana. 

Jampidum Fadil Zumhana juga menjelaskan proses penyelesaian perkara berdasarkan Keadilan Restoratif atau Restorative Justice. 

Diterangkan Fadil Zumhana, sejalan dengan perkembangan arah penegakan hukum untuk mewujudkan keadilan restoratif tersebut, pada tanggal 21 Juli 2020, Jaksa Agung Republik Indonesia telah menetapkan Peraturan Kejaksaan tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif. 

“Yang mengambil metode penyelesaian perkara berdasarkan kearifan lokal sesuai norma-norma serta nilai-nilai luhur bangsa Indonesia yang dikenal dengan istilah Hukum Adat atau landsrecht,” terang Fadil Zumhana. 

Penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif (restorative justice) merupakan penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku atau korban, dan   masyarakat atau pihak   lain   yang   terkait, untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. 

Restorative justice hanya dilakukan dengan memperhatikan adanya kepentingan korban dan kepentingan hukum lain yang harus dilindungi, penghindaran stigma negatif dan pembalasan, serta dalam rangka menjaga keharmonisan masyarakat, berdasarkan nilai-nilai kepatutan, kesusilaan dan ketertiban umum, yang dalam hukum adat (landsrecht/adatrecht) dilakukan dalam rangka untuk menjaga keseimbangan kosmis. 

Namun demikian, diingatkan Jampidum Fadil Zumhana, tidak semua perkara pidana dapat diselesaikan melalui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif. 

 Ada beberapa pertimbangan yang menentukan dapat tidaknya suatu perkara dihentikan berdasarkan restorative justice, yaitu subyek, obyek, katagori dan ancaman tindak pidana, latar belakang terjadinya atau dilakukannya tindak pidana, tingkat ketercelaan atau kerugian atau akibat yang  ditimbulkan dari tindak pidana, cost and benefit apabila perkara dilakukan penuntutan, serta adanya pemulihan kembali pada keadaan semula dan perdamaian antara korban dengan tersangka. 

“Dalam penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, perdamaian merupakan syarat mutlak yang tidak bisa diabaikan oleh Jaksa. Tanpa adanya perdamaian yang dilakukan dengan melibatkan keluarga pelaku dan korban serta masyarakat sekitar, maka penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif tidak dapat dilakukan,” terang Fadil Zumhana. 

Jampidum Fadil Zumhana menyampaikan, model penyelesaian perkara di luar Persidangan tersebut merupakan tugas dan tanggung Jaksa sebagai dominus litis yang perlu dikembangkan dan diberdayakan secara massive. 

Jampidum Fadil Zumhana juga menyampaikan, ‘Kampung Keadilan Restorative’ yang digagas Kejaksaan Agung, adalah sebagai cerminan pelaksanaan Hukum Adat. 

Berdasarkan hasil evaluasi, lanjut Jampidum Fadil Zumhana, sebagian perkara yang masuk ke pengadilan merupakan perkara yang ringan sifatnya. 

“Yang terjadi dalam masyarakat akibat adanya tekanan ekonomi atau akibat perselisihan anggota masyarakat, yang sebenarnya dapat diselesaikan di luar persidangan,” tuturnya. 

Dalam rangka optimalisasi pelaksanaan penyelesaian perkara di luar persidangan atau mediasi penal berdasarkan keadilan restoratif, lanjut Jampidum Fadil Zumhana, maka Kejaksaan perlu segera mensosialisasikan pembentukan Kampung Keadilan Restoratif atau Kampung Restorative Justice. 

“Agar masyarakat secara aktif dapat dilibatkan oleh Kejaksaan untuk menjaga keseimbangan kosmis yang merupakan nilai luhur budaya bangsa Indonesia,” ujar Fadil Zumhana. 

Jampidum Fadil Zumhana kemudian menjelaskan beberapa manfaat yang dapat diambil dari pembentukan Kampung Restorative Justice. 

Satu, mengurangi beban Aparat Penegak Hukum dalam proses penyelesaian perkara di pengadilan, sehingga APH bisa lebih fokus menangani perkara-perkara yang besar dan sulit pembuktiannya, mengganggu ketertiban umum, merugikan negara dan atau masyarakat luas. 

Dua, meningkatkan keterlibatan seluruh elemen masyarakat agar lebih peka terhadap permasalahan yang terjadi dilingkungannya, serta berperan aktif dalam penyelesaian setiap permasalahan yang terjadi. 

Tiga, memberikan penyelesaian perkara yang menghasilkan keputusan yang diterima oleh semua pihak, dengan mengembalikan pada kondisi semula secara harmoni, tanpa menimbulkan stigma negatif dan pembalasan. 

Karena itu, lanjut Jampidum Fadil Zumhana, dalam   rangka   optimalisasi   program   Restorative  Justice, pembentukan Kampung   Restorative   Justice   perlu   lebih   digencarkan lagi oleh Kejaksaan di seluruh Indonesia. 

 “Dengan memberikan pelatihan kepada para Jaksa dalam penyelesaian perkara melalui pendekatan keadilan restoratif yang lebih humanis,” tandas Jampidum Fadil Zumhana.(JRO) 

Leave a Reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

Relawan Jak Menyala Dukung Pramono-Rano, Ingin Jakarta Dipimpin Putra Daerah

SinarKeadilan.com – Relawan Jakarta Menyala (Jak Menyala) secara resmi