Jaksa Agung Republik Indonesia Dr Sanitiar Burhanuddin telah mengajukan banding atas Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta) yang mengabulkan Permohonan Penggugat Korban Tragedi Semanggi I dan Semanggi II yang menggugat Jaksa Agung Republik Indonesia Dr ST Burhanuddin, yang tertuang pada Putusan Nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT tertanggal 04 November 2020.
Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara Kejaksaan Agung (Jamdatun) Feri Wibisono menyampaikan, langkah hukum banding itu telah dilakukan Jaksa Agung lewat Jaksa Pengacara Negara (JPN).
“Sudah. Pengajuan banding sudah kita masukkan kemarin, Senin, 09 November 2020,” ujar Feri Wibisono, di Jakarta, Selasa (10/11/2020).
Jaksa Pengacara Negara (JPN) atas nama S Djoko Rahardjo telah memasukkan banding itu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN) dan sudah diterima oleh Panitera PTUN atas nama Muhammad.
Feri Wibisono mengatakan, materi gugatan banding yang dimasukkan itu, terdiri dari sejumlah pasal, termasuk menyertakan bukti-bukti rekaman dan hasil rapat Jaksa Agung dengan DPR.
“Itu materi di Pidsus. Setahu saya, memang ada dokumennya hasil rapat. Itu di masa Bang Panda Nababan (Anggota Komisi III DPR sebelumnya) dulu,” sebutnya.
Pengajuan banding ini dilakukan setelah 7 hari PTUN Jakarta mengeluarkan putusannya.
“Kita mau uji Keputusan Hakim PTUN di tingkat banding. Siapa yang benar,” ujar Feri.
Feri menegaskan, keberatan Jaksa Agung dari Putusan PTUN Jakarta Nomor 99/G/TF/2020/PTUN.JKT tertanggal 04 November 2020 itu, dikarenakan putusan PTUN itu tidak berdasar.
“Putusan itu tidak benar dan tidak berdasar. Itu tidak berdasar kepada hukum acara yang seharusnya dilaksanakan,” katanya.
Majelis Hakim PTUN Jakarta yang memutus Jaksa Agung Republik Indonesia Dr Sanitiar Burhanuddin bersalah itu, tidak bisa dibenarkan.
“Dikarenakan, putusan itu banyak mengabaikan bukti yang disampaikan Kejaksaan Agung selaku tergugat,” lanjutnya.
Mulai dari bukti video terkait pernyataan Jaksa Agung saat rapat dengar pendapat (RDP) di DPR pada 16 Januari 2020, hingga keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan.
Padahal, menurut Feri, seharusnya untuk kelengkapan dan kejelasan tentang fakta, hakim berkewajiban menilai bukti-bukti ini.
“Jadi kami memandang bahwa banyak sekali kelalaian hakim di sini dalam proses kewajibannya memeriksa dan mengadili perkara ini,” terangnya.
Feri menyebut, PTUN Jakarta keliru memberikan pertimbangan hukum. Tindakan Jaksa Agung dalam menginformasikan belum merupakan perbuatan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan, sebagaimana ditentukan dalam Perma Nomor 2 Tahun 2019.
Informasi yang diberikan Jaksa Agung dalam Rapat Kerja dengan DPR RI tidak dapat dikategorikan perbuatan konkret penyelenggaraan pemerintahan.
Sedangkan, pertimbangan hukum Majelis Hakim di Halaman 93 sampai dengan Halaman 95, Pasal 1 angka 1 Perma 2 tahun 2019 menentukan kriteria “tindakan pemerintahan” yang dimaksud adalah, “Perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya Melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan”.
Jadi, kesalahan PTUN Jakarta, yakni ucapan atau pernyataan Jaksa Agung RI yang memberikan informasi bukan suatu tindakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
“Jika pernyataan dan jawaban pada Rapat Kerja DPR dikategorikan Tindakan dalam penyelenggaraan Pemerintahan, maka akan banyak pernyataan atau jawaban yang merupakan objek sengketa TUN,” bebernya.
Kemudian, pada syarat ‘Kepentingan Penggugat’ dalam gugatan TUN, yakni prinsip point d‘interest point d’action, dan Pasal 53 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN “… Kepentingannya dirugikan …”.
Lalu, Pasal 75 Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, yakni ‘warga masyarakat yang dirugikan terhadap keputusan dan/atau tindakan ….”
Kepentingan Penggugat dalam hal ini orang tua korban adalah pada Penanganan Perkara HAM Berat, bukan pada Proses Jawab Menjawab pada Rapat Kerja DPR.
“Sebab, orang tua korban tidak memiliki kepentingan terhadap kalimat jawaban Jaksa Agung di Rapat Kerja DPR,” tandas Feri.
Menurutnya, Hakim memformulasikan berdasarkan keyakinannya saja, tanpa alat bukti yang memadai, dan lalai tidak melaksanakan kewajibannya membuat pertimbangan yang benar berkaitan perbuatan pelanggaran hukum mana yang dilanggar Jaksa Agung sehingga dikategorikan sebagai cacat substansi.
Atas pertimbangan itu, Jaksa Pengacara Negara (JPN) selaku kuasa Jaksa Agung mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Sebelumnya, PTUN Jakarta mengabulkan gugatan keluarga korban Tragedi Semanggi I dan II terhadap Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin. Majelis hakim menyatakan, pernyataan Jaksa Agung bahwa tragedi Semanggi I dan II bukan pelanggaran HAM berat sebagai perbuatan melawan hukum.
Selain itu, majelis hakim juga mewajibkan Jaksa Agung membuat pernyataan terkait penanganan kasus Semanggi I dan II sesuai keadaan sebenarnya dalam rapat dengan Komisi III DPR berikutnya. Terakhir, majelis hakim menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sejumlah Rp 285.000.
Adapun pihak keluarga korban yang melayangkan gugatan yaitu Maria Katarina Sumarsih, ibunda almarhum Bernardinus Realino Norma Irmawan, dan Ho Kim Ngo, ibunda almarhum Yap Yun Hap.
Bernardinus Realino Norma Irmawan merupakan mahasiswa yang menjadi korban dalam peristiwa Semanggi I, 13 November 1998.
Sementara itu, Yap Yun Hap adalah mahasiswa UI yang meninggal saat peristiwa Semanggi II, 24 September 1999.(JR)