Jaksa Agung HM Prasetyo didesak memerintahkan anak buahnya di daerah segera menangkap Kepala Daerah yang terbelit kasus korupsi dan sedang berproses di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Manado.
Koordinator Aliansi Advokat Minahasa (AAM) Michael Rudolf Dotulong menegaskan, jaksa penyidik tidak bergerak menangkap bupati yang sudah terang-terangan terkuak di muka persidangan terlibat perkara korupsi.
Dia meminta Jaksa Agung HM Prasetyo bertindak tegas memerintahkan para jaksanya menangkap dan menahan bupati yang dalam proses pengusutan kasus selalu mangkir dari panggilan.
“Kami minta Pak Jaksa Agung segera memerintahkan jaksanya untuk menangkap Bupati Minahasa Utara, karena sudah begitu terang benderang terungkap di persidangan keterlibatannya. Tetapi beberapa kali dipanggil tidak datang. Malah Bupati sudah tak berkantor di Minut, sudah lebih banyak di Jakarta sekarang-sekarang ini,” ungkap Michael Rudolf Dotulong, dalam siaran persnya, Sabtu (19/05/2018).
Dia menjelaskan, dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Manado, Kamis (17/05/2018), Bupati Minahasa Utara (Minut) Vonnie Anneke Panambunan (VAP) seharusnya hadir kembali untuk diperiksa di muka persidangan.
Dalam persidangan itu, lanjut Michael, terungkap bahwa Bupati mempergunakan uang yang dikorupsinya untuk membayar sejumlah hutang pribadinya.
“Namun jaksa takkunjung menentapkan dia sebagai tersangka, dan beberapa kali harus dihadirkan tapi mangkir terus. Seharusnya dipanggil paksa dan ditangkap,” kata Michael.
VAP sudah dua kali dipanggil untuk menjadi saksi dalam sidang dugaan korupsi proyek pemecah ombak di Desa Likupang Dua, Kecamatan Likupang Timur, Minut.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Slamet Ryanto mengatakan, pihaknya sudah melayangkan pemanggilan secara layak dan patut, namun VAP tak datang.
“Ini sudah panggilan kedua dan bupati tidak datang. Berdasarkan keterangan penasihat hukumnya, beliau sedang ke luar kota. Selanjutnya kami akan melakukan pemanggilan ketiga,” ujar JPU, Slamet Ryanto.
Menurut Slamet, selain bupati, ada tiga saksi lain yang sudah tiga kali dipanggil untuk dimintai keterangan dalam sidang. Namun, tiga saksi masing-masing, Alex Panambunan (adik kandung Bupati), Mario Rompis dan Decky Lengkey, tidak datang.
Meski begitu, persidangan tetap berlangsung dengan JPU menghadirkan tiga orang saksi. Masing-masing, Vonny Veronika Zeon, seorang makelar; Meike Pantow yang tak lain orang kepercayaan Bupati VAP, dan Junjungan Tambunan, Direktur BNPB yang sudah menjadi tersangka dalam kasus ini.
Kepada Majelis Hakim, saksi Veronika mengaku meminjamkan uang sebesar Rp750 juta kepada bupati melalui tim suksesnya bernama Yopi pada 2015 lalu.
“Sekira Oktober atau November, teman-teman makelar saya menginformasikan bahwa Ibu Bupati mau pinjam uang, dengan anggunan akta jual beli atas nama Ibu Bupati. Saya dibawa Pak Yopi bertemu dengan Ibu Bupati di rumahnya. Ibu bupati mengatakan, bantu akang pa kita pinjam doi dan baku ator dengan Pak Yopi. Bupati berjanji dalam dua minggu akan dikembalikan serta diberikan bunga 25 sampai 35%. Dalam pemijaman tersebut juga dibicarakan akan membuat kwitansi peminjaman. Namun sampai saat ini tidak dibuatkan kwitansi peminjaman,” kata Zeon.
Kemudian, lanjut dia, dua minggu berikutnya, ia meminta tolong pada seorang bernama Roby Maokar untuk membantu komunikasi dengan bupati agar uang pinjaman dikembalikan.
“Sore menjelang malam Pak Roby menelepon saya. Dia mengatakan uang saya akan dikembalikan besok hari,” ujarnya.
Dan keesokan harinya, dia ditelepon lagi dan disuruh ke kantor bupati. Roby dan temannya datang ke Zeon di parkiran. Roby mengenalkan temannya tersebut bernama Alex Panampunan, adik dari Bupati.
“Dia langsung menyerahkan cek ke saya sambil mengucapkan terima kasih dan menyampaikan ucapan terima kasih dari ibu bupati,” ungkap Zeon.
Nah, saat Veronika hendak mencairkan cek tersebut di Bank Rakyat Indonesia (BRI) cabang Aermadidi, ia diarahkan ke BRI Manado.
“Jumlah cek yang akan saya cairkan waktu itu baru Rp700 juta. Masih kurang Rp50 juta dari total uang yang dipinjam ibu bupati. Sebenarnya jumlah yang dijanjikan yang akan saya terima lebih dari Rp750 juta. Namun sampai saat ini sisa uang Rp50 juta tersebut belum juga digantikan. Pernah saya dijanjikan oleh pak Roby akan membantu mengantikanya,” jelas Zeon.
Sementara, saksi Meike Pantow mengaku pernah mendengar tentang proyek tersebut dan diajak ke BRI Airmadidi untuk mengisi slip bernilai Rp2,5 miliar. “Saya tidak tahu tentang proyek ini. Namun saya pernah disuruh ibu bupati mengisi slip yang ada di BRI yang dituntun oleh ibu bupati dalam pengisian slip tersebut. Slip tersebut bernilai Rp2,5 miliar,” tandas Pantow.
Mengenai sumber uangya, saksi tidak tahu. Saksi cuma disuruh Bupati. “Pada saat pergi ke Bank BRI untuk pengisian slip tersebut saya bersama Pak Robby, Ibu Bupati dan pegawai bank. Slip yang disuruh tulis itu saya sudah tidak tahu bagaimana kelanjutanya,” kata Pantow.
Meike Pantow pun mengaku pernah beberapa kali berkunjung ke lokasi proyek beserta Bupati. “Kami bertemu dengan Pak Rio Permana. Setiap kali diajak Ibu Bupati ke lokasi proyek saya ikut. Dan juga setiap kali saya ke lokasi proyek pasti ada Bapak Rio Permana yang berjalan ke sana ke mari di lokasi proyek tersebut,” sambung Pantow.
Sementara, saksi Junjungan mengatakan, usulan proyek ini harus melalui Kepala Daerah. “Waktu lalu sudah pernah diusulkan namun tidak melalui prosedur yang berlaku. Harus sesuai dengan mekanismenya yang diagendakan terlebih dahulu. Harus ke kepala BPBD daerah dan bupati. Dan syaratnya harus ada SK permohonan dari bupati, kalau tidak ada SK, dana tidak akan dikucurkan,” kata Tambunan.
Dijelaskannya lagi, SK Permohonan tersebut dalam bentuk keadaan darurat bencana alam. Karena dalam undang-undang mengatakan, jika suatu daerah mengalami bencana itu adalah tangung jawab pemimpin daerah.
“Dengan adanya SK darurat tersebut, tim kami pergi mengecek keadaan lokasi pengajuan proyek tersebut. Dalam pengecekan itu didampingi pemerintah daerah. dalam hal ini dari PU dan BPBD daerah. Dikatakan daerah tersebut sebagai darurat bencana alam, harus ada aktivitas atau komunitas orang,” jelas Tambunan.
Dia mengatakan, sekali lagi, untuk disetujui pengeluaran dana tersebut syaratnya harus ada proposal dan SK siaga gawat darurat dari bupati. Bila tidak darurat jangan dipaksakan untuk dikeluarkan dana.
Menurutnya, untuk prosedur pencairan dana proyek dilakukan oleh BNPB di Jakarta dan harus mendapat disposisi kuasa pengguna anggaran BNPB, Dodi Ruswandi.
Dengan dasar itu baru Kepala Biro Keuangaan BNPB, Rivai mencairkan dana proyek tersebut. Pencairannya, boleh lewat rekening Pemkab Minut atau cek.
Dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019, Kabupaten Minut dalam peta masuk zone merah yaitu masuk wilayah resiko bencana tinggi.
Adapun, sidang yang diketuai Vincentius Banar, didampingi anggota Arkanu dan Hakim Adhoc Wenny Nanda, akan kembali dilanjutkan pekan depan, masih dengan agenda mendengar keterangan saksi.
Sebelum menutup persidangan, Ketua Majelis Hakim, Vincentius Banar mengatakan agar para saksi-saksi yang sudah memberikan keterangan dalam sidang sebelumnya, dipanggil lagi.
“Karena ada saksi yang berkaitan keterangan saksi yang lainnya. Itu dipertemukan lagi dengan saksi yang belum bisa dihadirkan,” pungkas Banar.
Sedangkan, Michael Rudolf Dotulong yang juga sebagai penasihat hukum terdakwa dr Rossa mengatakan, dari fakta persidangan telah terungkap bahwa ternyata uang proyek dipakai untuk membayar utang Vonnie Anneke Panambunan.
Menurut dia, ini membuktikan bahwa dr Rosa bukan pelaku utama dari timbulnya kerugian negara Rp8 miliar lebih dalam proyek itu.
“Kami masih meminta supaya saksi dalam BAP yaitu Vonnie Anneke Panambunan, Kombes Rio Permana, Alex Panambunan, Mario Rompis dan Decky Lengkey dihadirkan jaksa dalam persidangan, arena kesaksian mereka sangat penting untuk pembelaan klien kami,” jelas Dotulong.(JR)