Kontestasi pemilihan umum kepala daerah untuk calon gubernur DKI Jakarta dirasakan kian memanas dan bisa berujung pada konflik horizontal. Karena itu, semua penyelenggara pemilu, termasuk para pendukung pasangan calon yang bertarung harus mengedepankan proses demokrasi yang damai di Ibukota.
Hal itu disampaikan Ketua Umum Forum Diskusi Menteng (Fordim) Ivan Parapat dalam deklarasi ‘Menciptakan dan Mengawal Pilkada Jakarta Yang Aman, Damai dan Demokratis’ di Gedung Joeang 45, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (26/01/2017).
Ivan menyampaikan, dalam kontestasi pilkada DKI Jakarta kali ini, semua isu dimainkan dan cenderung mengarah pada konflik sosial.
“Kita dapat mengamati dan mengukur sikap dan juga ucapan maupun tindakan masing-masing pendukung pasangan calon yang terus-terusan memanas. Baik di media sosial, di pertemuan-pertemuan warga, di kelompok-kelompok diskusi dan alat-alat komunikasi sosial, tidak ada yang menahan diri, semua mengarah pada mempertahankan dukungannya mati-matian, seolah-olah Pilkada ini segala-galanya,” tutur Ivan Parapat.
Kondisi seperti ini, lanjut dia, menggambarkan sikap dan perilaku para pendukung masing-masing pasangan calon yang sudah mempersiapkan dirinya untuk berbenturan dan merasa siap dengan konflik sosial nantinya.
“Ini sangat berbahaya. Harus ada upaya mengerem diri dan juga mendasarkan proses pilkada yang aman, damai dan demokratis,” ujar Ivan.
Bagaimana pun, lanjut dia, jika terjadi konflik horizontal dan sosial dikarenakan Pilkada, yang sangat dirugikan adalah masyarakat itu sendiri.
Karena itu, sikap fanatisme yang berlebihan yang dipertontonkan oleh para pendukung pasangan calon harus diminimalisir dalam konteks demokratisasi yang kondusif, aman dan damai.
“Tidak perlu sepertinya mati-matian menunjukkan dukungan berlebihan kepada pasangan calon yang didukungnya. Membela pasangan calonnya dengan model mati-matian seperti itu malah merusak demokrasi dan menimbulkan konflik,” ujarnya.
Bahkan, lanjut dia, keretakan sosial dan juga perseteruan yang tidak sehat kian mengerucut.
“Bahkan sudah mengarah ke pengabaian nilai-nilai persaudaraan dan mengebiri makna demokrasi itu sendiri,” ujar Ivan.
Dia mengingatkan, nilai-nilai demokrasi yang aman, damai dan demokratis harus ditegakkan.
“Bahwa pilkada bukan segala-galanya, maka harus ditempatkan secara rasional dan obyektif dan tetap menjaga persatuan dan kesatuan serta persaudaraan yang baik di Jakarta,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Ketua Dewan Pembina Fordim, Imam Bogie Yudhaswara mengingatkan, saat ini, bukan hanya di Jakarta situasi memanas. Hampir di semua daerah yang sedang menghadapi kontestasi Pilkada terjadi pergesekan yang tidak sehat.
“Nampaknya bukan hanya Jakarta yang terlihat kurang ramah, tetapi juga Indonesia mulai tak ramah,” ujar Bogie.
Dia mengingatkan, Jakarta sebagai pusat ibukota, pusat pemerintahan, pusat Indonesia menjadi barometer dunia, harus dijaga agar aman, damai dan demokratis.
“Jakarta bahkan jadi barometer dunia, sebab lebih 128 embassy (kedutaan besar negara sahabat) ada di Jakarta,” ujarnya.
Bogie mengharapkan, penyelenggara Pemilu juga bertindak fair dan juga bersikap adil. “Jangan malah menimbulkan konflik,” ujarnya.
Tokoh Pemuda Dody Rahmadi Amar menyampaikan, masyarakat Jakarta sudah sangat cerdas. Karena itu, dia berharap, dalam pilkada kali ini, kecerdasan itu jangan disalahgunakan menjadi ajang konflik.
“Masyarakat yang cerdas tidak semata-mata hanya cerdas bicara, namun harus bertindak cerdas menjaga dan menjalankan demokrasi yang aman dan damai,” ujar Dody.
Pemuda, lanjut dia, juga jangan terjebak pada gerakan emosional yang malah bisa memperkeruh proses pilkada. “Mesti komitmen menjaga dan melaksanakan proses demokrasi yang bahagia bagi semua orang,” ujarnya.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPUD Jakarta Pusat) Wahyu mengakui, ada sejumlah titik persoalan yang bisa memicu konflik dalam Pilkada DKI Jakarta kali ini.
“Ada banyak isu yang menjadi potensi konflik, seperti urusan pendaftaran pemilih, urusan kepemilikan KTP elektronik dan KTP reguler, hingga ke proses pencoblosan. Banyak benturan yang terjadi dan malah menimbulkan konflik,” ujar Wahyu.
Namun, dengan komitmen KPUD Jakarta untuk mewujudkan pilkada yang jujur dan adil, semua pihak diharapkan menjaga diri dan memenuhi persyaratan yang sudah ditetapkan oleh Undang Undang.
“Tagline Pilkada Jakarta kali ini adalah Pilkada DKI Jakarta Gembira. Jadi semua ketentuan ya hendaknya dipenuhi dengan gembira juga,” ujarnya.
Bahkan nantinya ke urusan rekapitulasi atau perhitungan suara, konflik mengancam Pilkada. “Semua itu rawan konflik. Dan, semua itu sudah ada dan diatur di dalam Undang Undang dan peraturan KPU. Ya kita berharap semua pihak mengikuti aturan main yang sah itu saja,” ujarnya.
Pengamat Politik UI Wawan Purwanto menyampaikan, segala persoalan Pilkada hendaknya diselesaikan dengan pembuktian pada mekanisme hukum yang berlaku.
Menurut Wawan, persoalan yang timbul juga jangan diselewengkan atau malah dibuat merembet pada persoalan lain.
“Kalau ada satu persoalan ya selesaikan persoalan itu. Biarkan proses pembuktiannya secara hukum berjalan, jangan malah ditarik-tarik atau malah dibuat menjadi persoalan lain,” ujar Wawan.
Selain itu, dia meminta setiap pasangan calon tidak malah berposisi sebagai sumber konflik. Sebab, menurut Wawan, kebanyakan konflik bisa terjadi karena ulah elit atau pasangan calon itu sendiri.
“Pembuktian itu harus dihormati dan dituruti. Itu solusinya. Calon jangan malah menjadi sumber konflik. Sebab seorang calon pemimpin harus siap digoyang kiri kanan dan kena benturan, tetapi harus tetap adem dan obyektif. Kalau tidak, ya ngapain mencalonkan diri kalau tidak siap menyelesaikan konflik,” pungkas Wawan.(JR)