Aparat penegak hukum didesak menindak tegas setiap pengembang atau delevoper perumahan nakal yang mencurangi warga masyarakat.
Sebelum kian banyak korban, pemerintah dan penegak hukum harus memastikan proses penindakan berpihak kepada masyarakat.
Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum Edukasi dan Advokasi Masyarakat Indonesia (LBH Lekasia) Charles Hutahaean menyampaikan, selama ini, hampir tidak terdengar ada proses hukum yang adil dan berpihak kepada para korban.
Seringkali, lanjut dia, keluhan dan protes konsumen hanya dianggap angin lalu, atau bahkan pengembang berkolaborasi dengan oknum aparat hukum untuk menekan balik atau malah mempermasalahkan si konsumen.
“Sudah banyak korban dari pengembang nakal. Sebelum kian banyak lagi korban, semua pengembang nakal harus ditindak dan dihukum dengan sanksi yang tegas,” tutur Charles Hutahaean, di Jakarta, Jumat (24/08/2018).
Tidak tanggung-tanggung, upaya lepas tangan dari pengembang membuat konsumen dizalimi. Bukan hanya konsumen yang merupakan warga biasa, sekelas masyarakat hukum seperti notaris dan atau Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) pun menjadi korban.
Charles mengungkapkan, di Tangerang Selatan (Tangsel) ada Notaris/PPAT yang menjadi korban kecurangan atau bahkan ditipu oleh pengembang.
“Kepada orang yang melek hukum saja pun dikorbankan, bagaimana pula dengan masyarakat awam? Akan habis diinjak-injak dong masyarakat atau warga biasa. Ini tidak boleh dibiarkan, pengembang nakal harus ditindak tegas,” ujarnya.
Notaris Fransiska Pamungkasari telah menjadi korban dari kecurangan yang dilakukan pengembang nakal yakni Intermark di Bumi Serpong Damai (BSD) Tangsel.
Merasa diperlakukan tidak adil, dia pun melaporkan persoalannya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Tangsel.
“Saya mengajukan KPA di Intermark BSD, tetapi karena tidak lolos KPA kok tanda jadi dan DP (uang muka) saya dihanguskan oleh pengembang? Saya mengadukan Intermark ke BPSK,” tutur Fransiska Pamungkasari, kemarin.
Dia menuturkan, pada tanggal 26 Desember 2017, pada awal show unit, dia tertarik dengan Unit yang ditunjukkan yaitu Nomor 9 dengan type 1+1 BR.
Saat itu, Fransiska mengaku bertemu dengan General Manager Sales And Marketing Intermark Adi Kristianto. “Dia mengatakan bahwa unit tersebut memiliki harga Rp 947.500.000, dengan luas 39.15 m2,” ungkap Fransiska.
Fransiska pun menyetujui pemesanan dengan sistem KPA 10-15 tahun. Saat itu, menurut Fransiska, Adi Kristianto memastikan, Intermark yang akan mencarikan Bank sampai lolos KPA Bank dan akan dibantu semaksimal mungkin.
“Kemudian kami melakukan pembayaran tanda jadi Rp 10.000.000,- dengan cara transfer ke rekening BCA kepada Intermark melalui Adi Kristanto, dan telah mendapat Surat Pesanan yang sudah ditandatangani di atas materai oleh kami sebagai pemesan,” tuturnya.
Namun, pada 5 Januari 2018, yakni selang 1 minggu lebih setelah surat pesanan, Adi Kristianto menginformasikan bahwa Unit nomor 9 tersebut memiliki harga Rp 1.186.580.000,- dengan luas 48.35 m2. Untuk ketersediaan Unit ada di Lantai no 9.
“Baik, kami memaklumi kesalahan yang disebutkan oleh Pak Adi Kristanto, meskipun kami sudah tandatangan di atas materai untuk harga pada poin 1,” ujarnya.
Fransiska tetap melanjutkan pemesanan dengan melakukan DP sebanyak 3 kali dan saat ini sudah lunas. Dia selalu membayar dengan cara transfer ke rekening BCA, sebelum tanggal 5 setiap bulannya. “Nah, tanggal 8 Februari, Pak Adi menghubungi kami untuk membayar DP ke 2, padahal kami sudah mentransfer sejak 3 Februari 2018,” ungkap Fransiska.
Pada, tanggal 17 Januari, Fransiska proses KPA ke bank BRI sesuai rekomendasi dari Intermark. “Sudah sampai tahap pengiriman berkas dan wawancara,” ujarnya.
Namun, pada anggal 15 Febuari, KPA dialihkan oleh Intermark ke bank BNI. “Yang menurut sebab yang disebutkan Pak Adi adalah karena dokumen kerjasama Intermark dengan BRI yang masih proses dan untuk mempercepat proses Intermark menggunakan BNI,” tuturnya.
Di tengah waktu tersebut, dia melanjutkan, pesanan Fransiska diganti ke lantai 10 unit 9, dengan tidak menyebutkan alasan yang jelas.
“Kami diajak survei ke lantai 10 room 9 oleh Pak Adi Kristanto dan Ibu Diana. Bahkan, Ibu Diana dengan seijin Pak Adi Kristianto pernah mengantar ke room tersebut waktu kami melakukan pengukuran ruang untuk pemesanan furniture dan pantry.Bahkan beliau berjanji akan memberikan contoh-conto exclusive design interior dan furniture,” tutur Fransiska.
Kemudian, pada 21 Juni 2018, Fransiska mendapat surat teguran dari Intermark yang baru diterima pada 26 Juni 2018. Surat teguran itu mengenai tidak dilakukannya kewajiban pembayaran yakni wanprestasi sejak 5 Maret 2018. “Sehingga surat pesanan dibatalkan sepihak oleh Intermark,” ujar Fransiska.
Keterlambatan tersebut pun menunjuk lantai 9 unit 9, padahal order sudah dipindah ke lantai 10 unit 9. “Mengenai surat itu, kami tidak mengerti letak kesalahan kami. Uang tanda jadi Rp 10.000.000,- dan DP 3 kali masing-masing sebesar Rp 59.020.000,- sehingga total menjadi Rp 187.060.000,- pun selalu kami bayar tidak pernah lewat tanggal yang ditentukan,” jelas Fransiska.
Pada 27 Juni 2018, Fransiska ke Intermark. Menurut dia, saat itu Diana mengatakan bahwa KPA Fransiska ditolak oleh Bank BNI. “Padahal kami tidak pernah mendapat surat penolakan dari Bank BNI sebagaimana yang dikatakan beliau,” ujarnya.
Akibat penolakan tersebut, maka Surat Pesanan Unit pun hangus. “Menurut Pak Adi Kristanto dan Ibu Diana telah terjadi miskomuniasi. Katanya akan dicari jalan keluar dan akan ada staff finance yang akan menghubungi. Namun, sampai 2 juli 2018 enggak ada yang menelepon kami,” ujar Fransiska.
Dijelaskan dia, Diana menyarankan agar Fransiska menambah DP atau mengubah angsuran ke Intermark dalam jangka pendek. “Kemampuan kami dari awal adalah KPA jangka panjang sebagaimana kesepakatan awal kok,” ujar Fransiska.
Fransiska merasa tidak terima dengan perlakuan pihak Intermark kepada dirinya. “Bagaimana mungkin kami bisa mendapatkan pembatalan sepihak sedangkan semua kewajiban telah kami penuhi? Malah kami belum menyepakati sistem pembayaran angsuran dan kepada bank mana harus kami bayar, Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) juga belum dibuat kok,” ujarnya.
Selanjutnya Fransiska kembali mendatangi Intermark untuk menanyakan kelanjutan. Di sana, dia bertemu dengan pihak legal Intermark Daniel Pela dan Adi Pranowo.
“Gagasan pemindahan dari lantai 9 room 9, menurut Pak Adi Kristanto berasal dari Ibu Diana. Kenapa di pertemuan pada 2 Juli 2018 Ibu Diana menyanggah. Dia menyatakan tidak tahu menahu mengenai pemindahan ke lantai 10 room 9 tersebut,” katanya.
Fransiska pun meminta, jika memang Intermark tidak dapat mencarikan bank, mohon tanda jadi dan DP sebanyak 3 kali yang sudah disetorkannya dikembalikan sepenuhnya.
“Kerugian kami adalah saat itu kami lepas logam mulia waktu harga sedang turun dan kami telah memesan sebagian furniture kamar dan pantry untuk unit apartemen tersebut,” ungkap Fransiska.
Pada 3 Juli 2018, Fransiska ke Intermark dengan didampingi Adi Kristanto untuk kembali meminta pengembalian dana. Saat itu, dijelaskan dia, mereka ditemui Adi Pranowo.
“Beliau menegaskan kenapa datang-datang lagi, bukannya persoalan sudah selesai kemarin sebagaimana dijelaskan oleh pihak legal apda 2 Juli 2018? Wah, makin gak jelas nih. Saat itu, deputy manager berhasil ditemui Pak Adi Kristanto namun menolak menemui kami,” ungkapnya.
Pada, 04 Juli 2018, Fransiska mengirikan surat permohonan pengembalian dananya. “Semula, mereka menolak memberikan tanda terima surat, setelah didesak baru diberikan tanda terima yang distempel,” ujarnya.
Atas persoalannya itu, Fransiska mengadu ke BPSK Tangsel. Pada Jumat 24 Agustus 2018, diagendakan sidang perdana di BPSK.
Ternyata, untuk persidangan perdana itu, dilanjutkan Fransiska, pihak pengembang mengirimi surat ke pihak BPSK terkait dirinya yang mereka nyatakan bukan konsumen, sehingga tidak berhak sidang di BPSK.
“Namun, ternyata pihak pengembang tetap datang ke BPSK mengikuti sidang, apapun keputusannya nanti. Mereka akan tetap berpendirian bahwa BPSK tidak berwenang. Tadi sih belum masuk ke pokok permasalahan,” pungkas Fransiska, usai keluar dari BPSK Tangel.(JR)