Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H Laoly yang mengundurkan diri dari Kabinet Pertama Jokowi, dengan alasan sudah terpilih sebagai anggota DPR RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) untuk periode 2019-2024, tidak bisa ditolerir.
Pria yang belum lama ini memperoleh gelar Professor dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dianggap tidak bertanggungjawab terhadap tugas dan kewajibannya sebagai Menteri. Karena itu, Politisi PDIP ini harus diperiksa dan ditangkap oleh KPK.
Ketua Umum Barisan Rakyat Satu Juni (Barak-106) Marthin Laurel Siahaan mengatakan, sudah terlalu banyak anggota Kabinet Pertama Jokowi yang terbukti meninggal tugas dan tanggung jawabnya, tidak sampai selesai.
Selain beberapa di antaranya terkena kasus korupsi dan diciduk KPK, beberapa menteri dibiarkan masih melenggang tanpa bertanggungjawab. Salah satunya adalah Menkumham Yasonna H Laoly.
“Menkumham Yasona H Laoly mengundurkan diri dari kabinet karena sudah dapat kursi di DPR. Ini salah satu menterinya Jokowi yang paling tidak bertanggungjawab. Menteri ini banyak persoalan yang belum clear selama duduk di jabatannya. Menteri yang tak bertanggung jawab ini harus segera dipanggil dan diperiksa KPK,” tutur Ketua Umum Barisan Rakyat Satu Juni (Barak-106) Marthin Laurel Siahaan, di Jakarta, Sabtu (28/09/2019).
Ketidakbecusan dan ketidakbertanggungjawabannya Yasonna H Laoly sebagai Menkumham, menurut Marthin, sudah terlihat sejak lama. Mulai adanya persoalan para pengedar dan Bandar Narkoba yang bebas memasok dan bisnis narkoba di sejumlah lembaga pemasyarakatan (lapas), hingga proses-proses hukum yang tidak fair yang memakan korban rakyat kecil.
Bahkan, di saat sekarang tengah genting urusan pembahasan sejumlah perundang-undangan, yang sangat kontroversial, Yasonna Laoly malah mundur dan merasa entang meninggalkan tugas dan tanggung jawabnya sebagai Menkumham.
“Bukan hanya sanksi moral, sanksi sosial, sanksi politik yang harus ditegakkan kepada Menteri seperti Yasonna Laoly yang kabur dari tugas dan tanggung jawabnya. Sanksi hukum dan penegakan anti korupsi pun harus dilakukan kepadanya,” tutur Marthin.
Perlu diingat, lanjut Martin lagi, sampai saat ini, dugaan kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau e-KTP yang diduga melibatkan politisi PDIP Yasonna H Laoly itu masih menggantung di KPK. Hingga terpilih kembali sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024, Yasonna Laoly masih bebas melenggang kangkung.
“Seharusnya, sudah ditangkap dan diproses KPK. Juga, Presiden Joko Widodo seharusnya menindaktegas menteri-menteri yang tidak loyal, tidak beretika, yang tidak bertanggung jawab dan yang main kabur dari tugas dan tanggung jawabnya itu,” desak Marthin.
Martin mengingatkan, di periode kedua pemerintahan Joko Widodo, sebaiknya para politisi yang tidak bertanggung jawab seperti Yasonna H Laoly jangan dikasih posisi sebagai menteri, atau jabatan apapun di pemerintahan.
“Dan tetap harus diusut dan dikejar sampai ke liang kubur sekalian kasus-kasusnya harus dibongkar tuntas,” tutup Marthin.
Menkumham Yasonna Laoly resmi mengundurkan diri dari Kabinet Kerjanya Jokowi. Dia mengundurkan diri karena bakal dilantik sebagai anggota DPR RI 2019-2024 pada 1 Oktober 2019 mendatang. Pengunduran dirinya ini sontak menjadi sorotan publik.
Pada Pemilu Legislatif 2019 lalu, Yasonna menjadi calon legislatif PDI-P dari dapil Sumatera Utara I.
Yasonna sudah mengirim surat pengunduran diri kepada Presiden Joko Widodo per tanggal 27 September 2019.
Kepala Biro Humas Kemenkumham Bambang Wiyono membenarkan surat itu. “Ya, karena tidak boleh rangkap jabatan,” ujar Bambang, Jumat (27/9/2019) malam.
Dalam suratnya, Yasonna memohon pengunduran diri terhitung mulai tanggal 1 Oktober 2019, tepat saat ia akan dilantik sebagai anggota DPR.
Dalam surat itu ia juga menjelaskan bahwa tidak diperbolehkan rangkap jabatan sebagai anggota DPR dan menteri sesuai dengan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008.
Yasonna pun mengucapkan terima kasih kepada Jokowi atas kesempatan dan kepercayaan yang telah diberikan selama ini.
“Selain itu, saya juga meminta maaf apabila selama menjabat sebagai menteri terdapat banyak kekurangan dan kelemahan,” katanya.
Yasonna mundur di tengah kontroversi sejumlah rancangan undang-undang yang bermasalah. Salah satunya adalah revisi Undang-Undang tentang KPK.
Meski sudah disahkan menjadi UU dalam rapat paripurna 17 September lalu, namun protes dan penolakan terus disuarakan oleh masyarakat.
UU KPK hasil revisi ramai-ramai ditolak karena disusun secara terburu-buru tanpa melibatkan masyarakat dan unsur pimpinan KPK.
Isi UU KPK yang baru juga dinilai mengandung banyak pasal yang dapat melemahkan kerja lembaga antirasuah.
Misalnya, KPK yang berstatus lembaga negara dan pegawai KPK yang berstatus ASN dapat mengganggu independensi.
Dibentuknya dewan pengawas dan penyadapan harus seizin dewan pengawas juga bisa mengganggu penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan KPK.
Kewenangan KPK untuk bisa menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) dalam jangka waktu dua tahun juga dinilai bisa membuat KPK kesulitan menangani kasus besar dan kompleks.
Mahasiswa dan sejumlah elemen masyarakat lain di berbagai daerah bahkan turun ke jalan untuk menolak UU KPK hasil revisi.
Selain itu mereka menolak sejumlah rancangan undang-undang lain yang kontroversial seperti RKUHP dan RUU Pemasyarakatan.
Kericuhan tak terhindarkan yang membuat ratusan mahasiswa luka-luka, bahkan dua di antaranya meninggal dunia.
Untuk RKUHP dan RUU Pemasyarakatan, pemerintah dan DPR sudah sepakat agar menunda pengesahan kedua RUU tersebut.
Namun, untuk RUU KPK yang sudah terlanjur disahkan menjadi UU, pemerintah awalnya sempat bergeming.
Yasonna sempat menegaskan, Presiden tidak akan mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang ( Perppu) untuk mencabut UU KPK.
Presiden, kata Yasonna, meminta penolak UU KPK untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.
“Kan sudah saya bilang, sudah Presiden bilang, gunakan mekanisme konstitusional. Lewat MK dong. Masa kita main paksa-paksa, sudahlah,” kata Yasonna di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Rabu (25/9/2019).
Yasonna menilai tak ada kegentingan yang memaksa sebagai syarat bagi Presiden untuk menerbitkan Perppu.
Ia menilai demo mahasiswa yang berujung bentrokan dengan aparat di berbagai daerah juga tidak cukup untuk menjadi alasan mencabut UU KPK.
“Enggak, lah. Bukan apa, jangan dibiasakan, Irman Putra Sidin (pakar hukum) juga mengatakan janganlah membiasakan cara cara begitu. Berarti dengan cara itu mendeligitimasi lembaga negara. Seolah-olah enggak percaya pada MK,” tuturnya.
Namun, sehari setelahnya, Jokowi mengaku mempertimbangkan untuk menerbitkan Perppu. Hal itu disampaikan usai bertemu puluhan tokoh di Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (26/9/2019).
“Berkaitan dengan UU KPK yang sudah disahkan oleh DPR, banyak sekali masukan yang diberikan kepada kita, utamanya masukan itu berupa Perppu. Tentu saja ini kita hitung, kalkulasi dan nanti setelah itu akan kita putuskan dan sampaikan kepada senior-senior yang hadir pada sore hari ini,” kata Presiden Jokowi didampingi para tokoh yang hadir.
Beberapa tokoh itu di antaranya mantan pimpinan KPK Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD, serta pakar hukum tata negara Feri Amsari dan Bivitri Susanti.
“Akan kami kalkulasi, kami hitung, pertimbangkan, terutama dari sisi politiknya,” ujar Jokowi.
Keesokan paginya, Jumat (27/9/2019), Yasonna menghadap Jokowi bersama sejumlah menteri lain.
Namun Yasonna mengaku tidak tahu isi pertemuan itu dengan alasan ia datang terlambat.
Yasonna pun enggan berkomentar saat ditanya kemungkinan Jokowi menerbitkan Perppu KPK.
“Enggak tahu, saya terlambat tadi. Tanya Pak Presiden aja,” katanya. Pada hari itu juga, Yasonna mengirimkan surat pengunduran dirinya ke Presiden.(JR)