Indonesia yang dikenal sebagai negeri yang memiliki tanah subur, gembur dan kaya raya ternyata tidak sejalan dengan kehidupan para petaninya. Para petani kok terus masih hidup miskin.
Kaum muda perlu diberdayakan untuk bertani. Dengan konsep partisipatif, petani muda desa mandiri perlu menggerakkan perekonomian nasional. Sehingga para petani Indonesia tidak terus-terusan terpuruk dalam kemiskinannya.
Koordinator Nasional Pergerakan Tani Muda Indonesia (Petani) Muhammad Risal mengatakan, akar permasalahan kemiskinan pada petani banyak terjadi di desa.
Sebanyak 46% masyarakat Indonesia adalah masyarakat petani atau yang hidup dari pertanian. Sebanyak 42% angkatan kerja Indonesia hidup di sektor pertanian, sementara mayoritas petani hanya mengusai 0,5 hektar per orang.
Muhammad Risal yang juga Bendahara Umum Pengurus Besar Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Bendum PB PMII) itu mengatakan, Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mengisyaratkan setiap warga negara berhak memiliki tanah. Namun, hingga saat ini pemerintah tidak pernah mengeluarkan aturan untuk melaksanakan UU tersebut.
“Kita lihat dari fakta masih banyak tingkat penguasaan aset konvesional atas tanah petani oleh corporate atau perusahaan skala besar. Land reform yang menjadi acuan dalam program Nawa Cita hanya mampu menghasilkan bagi-bagi sertifikat tanah. Namun masih 0% atau 0% hektar lahan yang terdistribusi bagi petani,” tutur Muhammad Risal, di Jakarta, Kamis (24/10/2019).
Dia melanjutkan, problem kemiskinan petani di desa terlihat juga pada kualitas tingkat pendidikan petani yang masih rendah. Atau dibawa rata-rata. Kebanyakan adalah lulusan sekolah dasar. Bahkan tidak lulus sekolah.
Belum lagi, menurunnya rumah tangga petani serta potensi alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan non pertanian yang semakin luas, konflik agraria yang masih menjadi ancaman bagi petani.
“Juga dampak dari kebijakan impor pangan, membuat petani seakan diberi ruang kesulitan dan kemiskinan bertambah di tengah himpitan ekonomi lain yang semakin meneckik,” ujar Risal.
Begitu malang nasib petani di Indonesia. Tidak banyak pihak yang membela dan memperjuangkan hidup dan kesejahteraan petani.
“Kita lihat dimana, para sarjana zaman Belanda mendukung immobilitas masyarakat desa sementara para sarjana zaman kemerdekaan mendukung pendekatan kapitalistik dengan mengabaikan masyarakat petani hingga, pada zaman reformasi para sarjana menempatkan petani sebagai komoditas elit politik,” tuturnya.
Dari sederet problematika pada sektor pertanian di desa, lanjutnya, maka sektor pertanian dan pengembangan desa mandiri masih menjadi prospek kebijakan yang penting untuk ditinjau kembali dalam program kerja pemerintah ke depan.
Lima tahun pertama kabinet kerja Joko Widodo masih terdapat beberapa catatan penting yaitu mengenai idustrialisasi pertanian yang belum terealisasi sampai saat ini. Dimana pengembangan hulu hilir sektor pertanian belum mendapatkan hasil yang memuaskan.
Meski berdasarkan data BPS tahun 2019, income pada sektor pertanian masih menjadi sektor strategis yang mampu memberikan kontribusi pada Produk Domestik Bruto (PDB) Negara.
Belum lagi, masih terdapat sekitar 50% desa yang tergolong desa tertinggal sesuai data Dirjen PPMD Kemeterian Desa tahun 2019. Padahal desa dan pertanian adalah dua aspek yang tidak dapat dipisahkan.
“Tentunya dari sekian desa yang masih tertinggal, menjadi gambaran bahwa belum sepenuhnya perhatian pemerintah pada pengembangan desa pada sektor pertanian, sehingga tercapai desa mandiri,” ujar Risal lagi.
Oleh karena itu, katanya, diperlukan langkah cepat dan tepat untuk mengatasi problematika yang terjadi di desa dan sektor pertanian. Agar terjadi percepatan pertumbuhan ekonominya.
“Salah satunya dengan menumbuhkan minat dan motivasi bagi kaum muda terhadap sektor pertanian di desa. Karena dalam beberapa tahun terakhir, angka partisipasi dan minat generasi muda dalam bidang sektor pertanian masih cukup rendah,” ujarnya.
Kondisi ini pun sesuai pandangan Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Jenderal TNI (Purn) Moeldoko. Yang menyatakan, realitas saat ini, minat generasi muda yang berkecimpung di dunia pertanian semakin sedikit.
“Mengingat sektor pertanian masih dipandang belum menjadi sektor yang menjanjikan bagi generasi muda,” ujar Risal.
Mengacu pada paradigma pembangunan bebasis partisipatif, maka peran generasi muda sudah tepat ditempatkan sebagai penggerak ekonomi di desa.
Trend pertumbuhan ekonomi (Economic Growth) di desa yang baik akan mendukung penguatan terhadap kekuatan ekonomi nasional.
“Trend pertumbuhan ekonomi di desa harus dipacu dengan kulaitas SDM masyarakat. Terutama generasi mudanya,” ucapnya.
Hal itu, sesuai dengan visi SDM Unggul, Indonesia Maju dan pidato Presiden Joko Widodo tanggal 20 Oktober 2019 yang didalamnya tertuang 5 skala prioritas kerja. Yang mana salah satunya adalah penguatan SDM masyarakat Indonesia.
“Oleh karena itu, Desa dan pertanian harus menjadi tulang punggung pertumbuhan ekonomi nasional. Dengan partisipasi kaum muda sebagai penggeraknya terutama pada sektor pertanian,” tegasnya.
Perkembangan teknologi pertanian melalui mekanisasi alat pertanian yang tiap waktu berkembang pesat, lanjutnya, harus dibarengi dengan kesiapan kulaitas SDM.
Jika laju teknologi yang begitu cepat tidak dibarengi dengan laju SDM masyarakat, dampak yang terjadi adalah masyarakat hanya akan menjadi objek dari dinamika perkembangan. Apalagi masyarakat di desa yang rata-rata memiliki batasan terhadap pengusaan teknologi.
Olehnya itu, penguatan kapasitas SDM masyarakat desa harus dimulai dengan berbagai bimbingan dan pelatihan terkait teknologi yang mampu memberikan efek pada peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat desa. Melaui peningkatan produktivitas komoditas pertanian yang dikembangkan.
Dia menyarankan, yang perlu dilakakukan oleh pemerintah ialah menggandeng generasi muda untuk berpartisipasi dalam pembangunan desa, dengan fokus pengembangan sektor pertanian.
Prinsip Back to Rural (Kembali ke Desa) merupakan paradigma yang harus dibangun oleh pemerintah saat ini.
Generasi mudanya harus diajak untuk mengembangkan desa di sektor pertanian. Realisasi tujuan UUPA terkait distribusi lahan bagi petani, katanya, adalah modal pemerintah mengajak generasi muda yang memiliki konsen dan fokus pada pengembangan sektor pertanian.
“Karena salah satu problem pengembangan sektor pertanian bagi generasi muda saat ini adalah keterbatasan akses terhadap lahan pertanian,” ujar Risal.
Pemuda, tani dan desa, kata dia lagi, harus menjadi konsen bagi pemerintah kabinet Indonesi Maju. Dengan mendorong partisipasi pemuda lewat program-program unggulan.
Pemuda bukan lagi ditempatkan sebagai objek dari rangkaian dinamika pembangunan dan ekspolitasi politik semata, tetapi harus benar-benar ditempatkan menjadi subjek pembangunan di era kompetitif saat ini.
“Terutama pembangunan di kawasan pedesaan sebagai centrum ekonomi nasional. Pemuda sudah menunggu gebrakan kerja nyata pemerintah. Pemuda tani desa mandiri menjadi salah satu instrumen yang siap membantu program-program pengembangan desa dan pertanian berbasis partisipatif, inovatif menuju kemandirian ekonomi nasional,” tutupnya.(JR)