Menteri Kelautan dan Perikanan (MKP) Susi Pudjiastuti diminta segera mewujudkan program-program pro nelayan dan menjamin kedaulatan di wilayah perairan Indonesia.
Sepak terjang Menteri Susi yang dianggap membuat gerah para maling ikan Negara asing karena menangkap dan menenggelamkan kapal para pencuri ikan di wilayah perairan Indonesia, cukup fenomenal. Selain itu, belakangan perseteruan yang mencuat terkait pengelolaan Blok Natuna, pun sempat membuat Menteri Susi mengeluarkan ancaman akan mengundurkan diri dari kursi kabinet jika dirinya diperlakukan tidak adil dalam menjalankan tugas-tugas dan kewenangannya.
Koordinator Bidang Energi dan Sarana Prasarana DPP Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Siswaryudi Heru menyampaikan, Menteri Susi harus membuktikan berjalannya program-program kelautan dan perikanan yang telah dirintis dan dijalankannya. Dengan mengedepankan kedaulatan Indonesia, sektor kelautan dan nelayan harus tetap menjadi prioritasnya.
Sejauh ini, menurut Siswaryudi, tidak ada alasan bagi pihak Indonesia untuk tidak mempercayakan pengelolaan sektor kelautan dan perikanan Negara ini kepada Susi Pudjiastuti.
“Sejauh ini, semua program yang dirancang dan yang sudah sedang dijalankan, masih dalam alur Nawacitanya Pak Presiden Jokowi. Menteri Susi juga masih terus melakukan upaya revolusi mental di sektor kelautan dan perikanan. Memang masih banyak yang belum terealisasi, namun kita percaya, Menteri Susi akan menjalankannya, dan menjamin kedaulatan Indonesia di sektor kelautan dan perikanan,” papar Siswaryudi Heru, di Jakarta, Minggu (14/08/2016).
Selain menguasai persoalan kebijakan kelautan dan perikanan hingga ke soal-soal teknis, Menteri Susi juga dianggap sebagai salah seorang Menterinya Jokowi yang berani melawan kepentingan asing yang hendak merangsek ke sektor kelautan dan perikanan Indonesia.
Jadi, lanjut Siswaryudi, secara teknis pun Menteri Susi bertanggung jawab terhadap pelaksanaan dan perwujudan program nelayan yang sedang dirancang dan maupun yang sedang berjalan.
“Misalnya, program pengadaan listrik yang terjangkau bagi pulau-pulau dan nelayan kecil di seluruh Indonesia. Itu harus tetap dilakukan, jangan terpengaruh oleh gonjang-ganjing masuknya kepentingan asing ke Indonesia. Tetap harus mengutamakan kebutuhan dan kedaulatan nelayan Indonesia,” papar Siswaryudi.
Bahkan, investasi di sektor kelautan dan perikanan yang sedang dirancang Menteri Susi harus berwujudnyata dan berdayaguna secara langsung bagi nelayan Indonesia.
Misalnya, kata dia, Menteri Susi bisa segera melakukan akselerasi dan serius mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia serta perwujudan penerangan listrik 35 ribu Megawatt.
Apalagi, anak-anak bangsa kini dinilai sudah mampu menciptakan Mini Terminal Liquefied Natural Gas (LNG) atau gas alam cair. Terminal ini pun sudah bisa dioperasikan di pulau-pulau dan daerah-daerah terpencil di seluruh Indonesia, terutama di basis-basis nelayan kecil.
Siswaryudi Heru menyampaikan, nelayan kecil dan masyarakat Indonesia yang menghuni dan beraktivitas di pulau-pulau kecil dan terpencil, sudah bisa segera diterangi listrik.
Dengan mengembangkan dan memenuhi kebutuhan listrik penduduk nelayan di pulau-pulau, akan memperkuat posisi dan daya tahan Indonesia, untuk menjaga keutuhan wilayah NKRI, sekaligus untuk menghadapi persaingan Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang sedang berlangsung.
Biaya mewujudkan ketersediaan listrik ini pun, lanjutnya, tidak mahal. Sebab dengan ukuran kapal-kapal terapung untuk listrik yang terjangkau, mobilitasnya juga baik untuk menjangkau pulau-pulau.
Menurut Heru, pemerintah bisa mewujudkannya dengan meminta Perusahaan Listrik Negara (PLN), bekerja sama dengan penduduk nelayan, dan pihak-pihak yang sudah memiliki potensi untuk mewujudkannya segera.
“Listrik sekarang sangat terjangkau. Hanya sekitar Rp 63 per watt. Jepang saja mau membantu Indonesia dengan cuma-cuma, agar listrik bagi nelayan di pulau-pulau terpencil bisa terpenuhi. Jepang mau menyediakan mesin listrik milik mereka. Banyak investor yang akan bantu kok. Sekarang, tinggal bagaimana pemerintah kita mewujudkannya,” ujarnya.
Sebagai contoh konkrit, terang Heru, saat ini di Pulau Benoa, Bali, sudah dioperasikan listrik dengan menggunakan kapal terapung, Floating LNG Storage Power Plant berkapasitas 200 MegaWatt. Pengerjaannya dilakukan atas kerja sama PT Pelindo 3 (Persero) dengan Indonesia Power.
“Bila hal serupa bisa dilakukan di pulau-pulau terpencil, tentu akan mudah mewujudkan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia, karena ketersediaan listrik bagi nelayan di sana sudah bisa diwujudkan,” ujarnya.
Lagi pula, menurut Heru, dengan ketersediaan listrik di pulau-pulau, nelayan Indonesia bisa mewujudkan pengembangan industri perikanan yang lebih baik. Sebab misalnya, untuk menyimpan ikan hasil tangkapan, nelayan butuh listrik di gudang-gudang es. Demikian pula untuk membuat es, perlu listrik. Nelayan juga bisa membuat air bersih untuk kebutuhan mereka.
Tak cuma itu, dengan ketersediaan listrik, nelayan bahkan bisa mengembangkan jenis industri olahan perikanan dan hasil laut lainnya, mulai dari bisnis rumahan atau usaha perikanan menengah atas. “Akan mengurangi pengangguran, terciptanya padat karya,” ujarnya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti menyatakan, bentuk investasi di sektor kelautan dan perikanan saat ini sudah tepat dan tidak lagi seperti investasi zaman sebelumnya yang mengakibatkan penangkapan ikan secara ilegal.
“Sekarang pemerintah membuat investasi penangkapan ikan tertutup untuk asing dan membuka investasi pengolahan diperbolehkan sampai dengan 100 persen untuk asing. Karena inilah yang benar dan sesuai dengan misi pemerintah menjadikan laut Indonesia adalah masa depan bangsa,” katanya dalam catatan Suara Susi Pudjiastuti Untuk Anak Bangsa yang diterima redaksi.
Menurut dia, hampir dua dekade perusahaan modal asing diperbolehkan investasi 100 persen di perikanan tangkap tetapi malah membuat pro-illegal fishing karena mereka membawa kapal, membuat pabrik abal-abal, menangkap ikan dan transhipment di tengah laut.
Selain itu, lanjut Susi, hasil tangkapan di kawasan perairan Indonesia dahulu malah dibawa pergi ikan ke negeri mereka masing-masing dengan menggunakan kapal trumper atau pengangkut yang bisa berukuran antara 1.000 hingga 10.000 gross tonnage (GT).
“Yang terjadi adalah 1.300 izin kapal tangkap diduplikasi, realita lebih dari 10.000 kapal ikan dari negara-negara tetangga tangkap ikan di laut kita. Beberapa ribu kapal bahkan tanpa izin sama sekali,” katanya.
Dengan model investasi dahulu, dia berpendapat bahwa lautan Indonesia telah menjadi zona bebas mengeruk uang tunai dari komoditas ikan dan udang serta menjadi tempat penyelundupan dari tekstil, minuman beralkohol, dan narkoba.
Akibatnya, ia mengungkapkan sektor perikanan Indoensia pada periode 2003 hingga 2015 telah kehilangan 115 pabrik pengolahan yang tutup atau bangkrut karena tidak ada bahan baku, serta rumah tangga nelayan berkurang 50 persen dari 1,6 juta menjadi sekitar 800 ribu.(JR)