Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) melancarkan kritik terhadap Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi yang memproses ijin proyek penempatan tambang tailing ke dalam laut atau deep sea mine tailings placement (DTSP) di Provinsi Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Sekjen Kiara, Susan Herawati mengatakan, proses ijin itu dilakukan untuk empat perusahaan pertambangan nikel, yaitu PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT QMB New Energy Material di Pulau Obi, yang berada di Kabupaten Halmahera Selatan.
Sedangkan di Provinsi Maluku Utara ada PT Huayue Nickel Cobalt (HNC) dan PT Sulawesi Cahaya Mineral di Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah.
Susan Herawati menyebutkan, jika Pemerintah benar-benar mengijinkan proyek DTSP tersebut, maka yang paling menderita adalah nelayan. Karena perairan yang merupakan kawasan tangkap akan hancur dan tercemar.
“Proyek ini jelas-jelas akan menghancurkan ruang hidup nelayan tradisional atau nelayan skala kecil yang menggantungkan hidupnya pada sektor perikanan di dua provinsi tersebut. Apa ini yang mau didengar Presiden Jokowi?” tutur Susan Herawati, Selasa (04/08/2020).
Susan melanjutkan, Pusat Data dan Informasi KIARA tahun 2020 mencatat, setidaknya ada 7.153 keluarga nelayan tangkap di Kabupaten Morowali yang akan terdampak proyek DTSP PT Huayue Nickel Cobalt (HNC) dan PT Sulawesi Cahaya Mineral.
Sementara itu, KIARA juga mencatat sebanyak 3.016 nelayan tangkap di Pulau Obi juga akan terdampak proyek DTSP PT Trimegah Bangun Persada (TBP) dan PT QMB New Energy Material.
Jumlah 3.016 nelayan terdiri dari 833 nelayan di kecamatan Obi Selatan, 491 nelayan di Kecamatan Obi, 348 nelayan di Kecamatan Obi Timur, dan 1.344 di kecamatan Obi Utara.
“Apa yang dapat dibanggakan dengan adanya investasi tambang nikel di Perairan Morowali dan Perairan Pulau Obi, jika laut tercemar dan ribuan kehidupan nelayan tradisional atau nelayan skala kecil hancur?” tanya Susan.
Menurut Susan, jika perairan di perairan Morowali dan perairan di Pulau Obi tercemar dan hancur, ke mana 10.169 nelayan di dua lokasi tersebut harus menangkap ikan?
“Inilah salah satu alasan kenapa proyek DTSP harus dibatalkan oleh Pemerintah, dalam hal ini oleh Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi,” imbuhnya.
Tak hanya itu, Susan mengatakan, alasan lain kenapa proyek DTSP harus ditolak, karena di antara alasan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi memproses ijin proyek ini sebabdi Sulawesi Tengah dan Maluku Utara adalah masih memiliki potensi gempa apabila dilakukan pembuangan limbah damn tailing di darat.
Membantah pandangan tersebut, Susan mengatakan bahwa Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi tidak membaca buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2017 oleh Pusat Studi Gempa Nasional Pusat Penelitian dan Pengembangan Perumahan dan Pemukiman Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Badan Litbang Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, yang bekerja sama dengan sejumlah lembaga dan universitas di Indonesia seperti LIPI, AIPI, BMKG, BNPB, UGM, UI, ITB, dan lain sebagainya.
“Di dalam buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia, dinyatakan bahwa potensi gempa tidak hanya ada di kawasan darat Morowali dan Pulau Obi, tetapi juga di kawasan lautnya. Alasan Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi hanya mengada-ada demi mempermudah proses perijinan,” ungkap Susan.
Susan mendesak proyek DTSP untuk tidak diberikan ijin karena hanya akan terus mengeksploitasi sumber daya alam dan memberikan dampak buruk bagi keberlanjutan lingkungan serta ribuan kehidupan nelayan.
“Kami mendesak Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi untuk mencabut ijin proyek DTSP ini,” pungkasnya.(JR)